Permasalahannya adalah perundungan adalah praktik kekerasan yang acapkali tidak seimbang. Itulah yang kemudian membuat perundungan tidak bisa diselesaikan seperti perkelahian. Karena si dominan akan tetap dominan, yang inferior akan tetap inferior.
Namun, ada suatu hal yang menarik dari korban perundungan.
Yaitu, ketika si korban dapat survive, maka, dia dapat melakukan hal yang lebih baik daripada si pelaku perundungan. Mereka yang survive pada akhirnya dapat membuktikan diri bahwa dirinya bisa lebih baik dari diri sebelumnya dan juga daripada orang lain---termasuk yang mem-bully dirinya.
Namun, bagaimana bagi yang tak bermental baja?
Kasus bunuh diri akibat perundungan tidaklah sedikit.
Biasanya ini akan menjadi 'solusi pamungkas' bagi mereka yang sudah terlambat untuk ditolong. Satu hal yang biasanya dapat terjadi pada orang calon pembunuh-diri ini adalah ketidakmampuannya menceritakan permasalahannya ke orang lain. Bukan 100% karena dia susah bercerita, namun, kesulitannya untuk menemukan orang yang dapat dipercaya dan mampu menjadi 'ember yang tertutup'. Sehingga, apa yang mungkin menjadi aib, tidak akan terkuak dan kemudian malah memalukan orang tersebut.
Artinya, kasus perundungan ini cukup kompleks.
Tidak seperti perkelahian biasa yang dapat dilerai dan diawasi. Sedangkan perundungan bisa terjadi setiap saat dan tanpa mampu diawasi setiap saat. Bahkan, perundungan selalu terjadi di lingkungan sekolah yang padahal di situ terdapat banyak orang dewasa yang berprofesi sebagai guru maupun penjaga sekolah. Bahkan pemilik kantin sekolah saja kadangkala perlu menjalankan perannya sebagai pengawas dari interaksi anak-anak/adik-adik sekolah tersebut.
Perundungan harus ditekan.
Menghapuskan perundungan dari ruang interaksi manusia itu sangat susah. Bahkan perundungan juga kini bisa merambah ke media online. Sehingga, muncullah cyber bullying. Perundungan online ini bahkan disebut-sebut memiliki tingkat tekanan yang lebih berat kepada orang yang mengalaminya. Kenapa?
Karena, dewasa ini, kita nyaris sulit untuk pergi dari lingkup media sosial. Nyaris setiap hari dan setiap jam, kita akan menyempatkan diri untuk membuka ponsel pintar kita untuk 'bertemu' dengan teman ataupun teman online. Lalu, bagaimana jika di ranah online tersebut juga terdapat perundungan?
Cara pertama yang logis adalah membuat akun ganda. Biasanya akun ganda itu digunakan untuk alternatif. Satunya untuk tetap ada di sana (yang ada praktik perundungan), sedangkan yang satunya lagi adalah untuk membuka ruang komunikasi dengan orang baru. Ini adalah cara paling mudah dan cukup tepat untuk tidak terlalu tertekan dan bisa melupakan secara perlahan tekanan itu. Manusia secara alami sebenarnya mampu menyembuhkan penyakitnya.
Cara kedua dan cukup frustrasi adalah menghapus akun media sosial. Dewasa ini, tidak banyak yang mampu melakukannya. Karena, media sosial semakin menjadi kebutuhan dalam berinteraksi. Manusia adalah makhluk sosial, bukan?
Cara ketiga adalah seimbangkan kehidupan berjejaring di media sosial dengan kehidupan berinteraksi secara nyata dengan orang-orang sekitar ataupun teman-teman. Biasanya, perundungan dapat teratasi ketika kita justru sering bertemu dengan pelaku perundungan. Seperti yang sudah tertulis di bagian 1, bahwa perundungan harus dilawan, bukan hanya dihindari. Apapun caranya, perundungan harus dilawan.
Salah satu contohnya adalah berprestasi.
Jadikan diri sebagai orang yang memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, termasuk si pelaku perundungan. Buat diri dapat sejajar bahkan lebih baik dari orang tersebut. Dari situlah, secara perlahan namun pasti, perasaan tertekan atau inferior tidak lagi terjadi.
Sebenarnya perundungan itu seperti gosip.
Mereka akan termakan oleh waktu.
Jadi, akan sedikit konyol jika perundungan tidak dihadapi dengan kesabaran dan usaha yang tepat untuk melawannya. Petisi online memang adalah salah satu cara. Namun, ketika media serba online itu belum ada, apa yang dilakukan oleh masyarakat saat melihat adanya perundungan?
(nyaris) Tidak ada.