Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagian 2 | Viralnya Audrey di Antara Keuntungan dan Kerugian

16 April 2019   10:10 Diperbarui: 16 April 2019   11:03 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perundungan. (News.detik.com)

Apa sih?

Kenapa bisa viral?

Itu adalah pertanyaan yang segera terlintas saat melihat adanya tagar JusticeforAudrey di media sosial dan merambah ke ruang obrolan (chat room). Petisi kemudian muncul dan semua berbondong-bondong menurunkan jempolnya untuk mengisi kolom-kolom yang ada di laman petisi online tersebut. Bagus. Karena, semua orang mencoba menunjukkan kepeduliannya kepada sesama. Tapi, benarkah kita sudah peduli terhadap sesama?

Animo masyarakat terhadap kasus Audrey ini bisa menjadi tonggak bagi si anak SMP itu untuk bangkit dari keterpurukan fisik dan mentalnya. Namun, perhatian yang berlebih dari masyarakat dapat menjadi bumerang negatif bagi dirinya saat beranjak dewasa nanti. Bahkan, itu bisa terjadi saat dia keluar dari rumah sakit nanti.

Perhatian.
Ya, perhatian masyarakat yang terlewat berlebihan bisa membuat kehidupannya tak lagi 'normal' seperti anak seusianya yang masih bisa berbuat 'semau gue'. Karena, dia pasti akan mulai berhati-hati dan setiap tindak-tanduknya akan mendapatkan sorotan. Sehingga, dia akan kehilangan ranah privasinya. Sesuatu yang tidak menguntungkan bagi masyarakat biasa alias non figur publik apalagi bukan selebritis.

Beda cerita jika itu yang memang dia inginkan. Maka, keikutsertaan ranah publik masuk ke kehidupannya akan dia jalani dengan suka cita. Siapa tahu selepas viral ini, dia menjadi selebritis. Lalu, dapat berakting di ftv atau sinetron. Artinya, kehidupan Audrey akan semakin dekat dengan ranah publik dan itu adalah konsekuensi dari apa yang terjadi saat ini.

Perundungan.
Seperti yang ditulis di artikel sebelumnya (bagian 1), bahwa perundungan itu pasti ada sejak dulu kala sampai detik ini. Bahkan, perundungan pasti akan terjadi lagi dan lagi. Karena itu memang bagian dari kehidupan manusia yang pada hakikatnya ingin menjadi terbaik. Baik itu untuk memperbaiki kualitas dirinya sendiri maupun kualitas orang lain.

Perundungan selayaknya pertengkaran.
Hanya, perundungan akan terlihat tidak imbang alias hanya searah. Siapa yang dominan, dia yang akan dapat melakukan perundungan terhadap yang lain, dan ini sudah terjadi di setiap tempat dan setiap masa. Bahkan, perundungan juga bisa berkedok pada upaya banyolan atau bercanda. Namun, pada akhirnya perundungan bisa menjadi tekanan bagi individu-individu yang merasa bahwa itu adalah (murni) penghinaan.

"Sudah tua kok belum nikah. Nikah sana, nanti jadi perjaka/perawan tua loh."

Contoh semacam itu bisa terjadi kapan saja saat itu menjadi kebiasaan untuk mencairkan suasana. Namun, seiring berjalannya waktu, ini bisa merusak mentalitas orang yang menjadi sasarannya. Tidak semua orang bisa menerima candaan atau sesuatu yang mencoba menggali ketidakmampuan orang. Sehingga ketika hal ini terus terjadi, dan tanpa perlawanan, maka perundungan akan tetap terawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun