Istilah merger klub di Indonesia memang bukanlah hal baru. Begitu pula dalam pembelian klub ataupun pengambil-alihan klub. Karena klub yang berlaga di kompetisi, apapun levelnya, pasti sudah memiliki lisensi. Status itulah yang kemudian membuat klub selevel Liga 3 pun masih dapat memiliki 'harga' di mata para pemilik dana atau saham besar di dunia perbisnisan yang kemudian merambah ke industri sepakbola.
Ya, sepakbola sudah bukan lagi hanya sekadar olahraga, namun juga dapat menjadi industri. Karena, di sana sudah ada istilah produksi (pemain dan segala macam hal yang berkaitan dengan sebuah klub) dan konsumsi (keterlibatan suporter atau fans dari setiap klub terhadap klub dan kompetisi).
Dari sinilah, kita bisa melihat Pelita Jaya, kemudian Pelita Bandung Raya (PBR) yang keduanya pernah bersaing sengit di kompetisi tertinggi Indonesia dengan materi pemain yang bisa disebut kuat saat itu.
Meski kemudian mereka tak lagi mampu berbuat banyak, dengan berbagai faktor. Namun, contoh-contoh nasib klub ini, rupanya tak membuat orang-orang berduit dan memiliki pengaruh besar terhadap sepakbola Indonesia gentar untuk mendirikan atau membuat klub baru---dan uniknya langsung berlaga di kompetisi tertinggi.
Lisensi dan kondusivitas keuangan tim memang biasanya dapat menjadi pemulus untuk berlaga di kompetisi tertinggi. Karena, hal ini juga terjadi di sepakbola manca negara.
Ambil contoh, AC Parma di Italia yang seringkali naik-turun karena faktor keuangan tim yang tak stabil. Ketika tim tersebut tidak dapat mengamankan keuangannya, maka, degradasi dan berlaga di kasta terendah (menjadi amatir) bukan hal yang mustahil. Walaupun, mereka sebenarnya memiliki nama besar. Inilah yang kemudian membedakan sepakbola manca dengan Indonesia.
Regulasi yang seringkali dapat 'dibobol' dengan keseganan atas nama orang-orang tertentu, pada akhirnya klub-klub yang masih hijau bisa langsung berkompetisi di level tinggi karena mampu menebus lisensi klub yang sedang pailit, dan mampu menunjukkan kekuatan finansialnya dengan keberadaan pemain-pemain top.
AC Parma bisa menjadi contoh bagi klub-klub di Indonesia, bahwa sepakbola itu adalah kehidupan. Artinya, ada proses, dan proses itu harus dilalui secara bertahap. AC Parma bisa kembali berkompetisi di Serie A juga karena berangkat dari status promosi dari Serie B.
Jika mengingat proses ini, kita bisa melihat adanya klub Indonesia yang melakukannya juga. Yaitu Persebaya. Mereka berlaga di kompetisi di bawah Liga 1 yang kemudian mampu promosi (2018) dan kini, mereka (dengan skuatnya saat ini) bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk juara Liga 1 2019.
PROSES. Sejarah dan manajemen memang vital bagi klub sepakbola. Namun, kemauan untuk menjalani proses, itulah yang terbaik dan terindah dari sepakbola. Mungkin masih ada beberapa klub Indonesia seperti Persebaya.