Tidak buruk, tapi kurang greget. Itulah yang bisa disebutkan ketika menyaksikan permainan dari klub asal Tangerang. PERSITA. Memiliki pelatih sekaliber Widodo C. Putro jelas memberikan keuntungan bagi Persita untuk mulai membangun pondasi tim yang kuat dan dapat berbuat banyak di kompetisi---khususnya di Liga 1 2019.
Seperti klub Indonesia lainnya yang akan bertarung di Liga 1 musim depan, Persita juga ambil bagian di turnamen pra-musim untuk mencari penjajakan yang bagus antara pelatih dengan pemain. Menariknya, di turnamen ini, Persita berisi pemain-pemain lokal tanpa satupun pemain asing. Bukan suatu hal yang buruk, justru bagus. Karena akan memberikan banyak kesempatan bagi pemain lokal untuk mencari jam terbang dengan atmosfer pertandingan yang tidak jauh berbeda dibandingkan Liga 1.
Bersama 100% pemain lokal, Widodo C. Putro tidaklah pesimis dalam memberikan taktik yang bagus. Gaya permainan menyerang tetap diusung Persita---seperti Bali United dan Persela di tangan Widodo, walau mereka tidak memiliki pemain asing yang biasanya mengisi posisi-posisi penting. Seperti bek tengah, playmaker, dan striker. Namun, Persita tetap memiliki kepercayaan diri tinggi untuk meladeni permainan level tinggi saat bertemu tim-tim yang sudah sangat berpengalaman di Liga 1. Sebut saja Arema FC, Persela Lamongan, dan Barito Putera---kebetulan Persita Tangerang satu grup dengan ketiga klub tersebut.
Melawan Persela Lamongan di laga pertama Piala Presiden 2019, Persita awalnya cukup alot dalam memberikan perlawanan terhadap skuad asuhan Aji Santoso. Pertemuan kedua tim seperti pertemuan penyerang vs bek. Hal ini bisa dilihat dari karakter dan peran kedua pelatih di antara dua klub tersebut yang dulunya merupakan penyerang (Widodo C. Putro) dan bek sayap kiri (Aji Santoso) di timnas Indonesia. Walau Persita Tangerang memiliki kemampuan menyerang yang atraktif dan cukup bagus, mereka tetap tidak bisa menang ketika harus menghadapi tim yang materi skuadnya jauh lebih bagus.
Persela dengan beberapa pemain asing dan pemain-pemain lokal kelas atas, jelas lebih siap untuk memenangkan duel di segala lini. Selain itu, ada satu hal penting dalam upaya memenangkan pertandingan yang dimiliki Persela dibandingkan Persita. Yaitu, mampu mencetak gol. Sepakbola tidak hanya bicara soal kemampuan dalam mengkreasikan serangan. Karena, hal ini tidak akan cukup untuk menghasilkan kemenangan jika tidak mampu mencetak gol. Inilah yang kemudian menjadi nilai minor terhadap permainan Persita saat itu.
La Viola-nya Indonesia ini sangat krisis dalam kemampuan mengeksekusi peluang untuk menjadi gol. Tendangan tidak akurat, kurang bertenaga, dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, seperti menggambarkan tipikal pemain Indonesia yang belum memiliki pengalaman banyak dalam bermain di level tinggi.
Walau sebenarnya, kita tidak bisa menutup mata begitu saja, ketika Persita masih mempunyai beberapa pemain lokal yang memiliki kemampuan yang cukup bagus dan juga pengalaman tinggi di level kompetisi tertinggi di Indonesia. Sebut saja Egy Melgiansah yang merupakan playmaker dan kapten tim yang dulu moncer saat membela Pelita Jaya Karawang. Lalu, ada mantan pemain timnas, Mohammad Robby di posisi bek tengah. Amarzukih yang memiliki pengalaman bermain di duo Jakarta (Persitara Jakarta Utara dan Persija Jakarta). Ade Jantra yang juga kita kenal memiliki skill individu yang bagus. Namun, tetap saja, Persita sangat butuh pemain yang memiliki naluri tinggi dalam mencetak gol.
Banyaknya pemain pekerja keras dan kreatif di Persita akan menjadi mubazir ketika tidak ditemukan pemain yang sanggup menuntaskan kreasi serangan itu menjadi gol. Memang Persita memiliki Kito Candra dan pemain lainnya di lini depan Persita. Namun, pemain-pemain yang notabene baru 'muncul' tersebut, belum terasah kemampuannya untuk bersaing dan berduel dengan pemain-pemain belakang sekaliber Arthur Cunha-Hamka Hamzah di Arema FC misalnya. Sehingga, akan sulit bagi Persita jika memang akan tetap mengandalkan pemain-pemain tersebut (tidak menilai buruk terhadap pemain lokal) di kompetisi Liga 1 yang kemungkinan akan kick-off setelah Pilpres digelar.
Jika memang Persita lebih memprioritaskan pemain lokal untuk dapat berlaga secara kompetitif di Liga 1, maka tim manajemen harus mampu menggaet pemain-pemain lokal kelas atas. Memang cukup sulit untuk dapat merekrut pemain bintang lokal. Namun, dengan keberadaan Widodo C. Putro yang pernah melatih banyak klub top. Salah satunya adalah Bali United. Maka, bisa dibuka peluang untuk merayu pemain berteknik bagus dan penuh pengalaman, seperti Yabes Roni dan Ilija Spasojevic untuk memperbaiki kualitas penyerangan dan ketajaman di lini depan.
Sulit, namun patut dicoba bagi Persita untuk merayu pemain lokal rasa asing lainnya, yaitu Guy Junior. Pemain naturalisasi ini di PSM kurang mendapatkan tempat untuk bermain reguler. Sehingga, jika Guy diberikan iming-iming menit bermain banyak---walau si pemain akan mengorbankan kesempatan untuk tampil di AFC Cup---maka, ada peluang bagi Persita untuk merekrutnya.
Di lini belakang, Persita juga harus memiliki tandem yang sepadan dengan Mohammad Robby. Hal ini penting, karena jika si pemain ini absen, maka, Persita akan kehilangan tembok kokoh yang tentunya sangat dibutuhkan untuk berduel dengan pemain depan lawan yang biasanya merupakan pemain asing. Jika bek muda Indra Mustafa tidak memiliki kesempatan bermain banyak di Persib, maka, Persita harus mencoba untuk merayu si pemain untuk menyeberang dari Biru ke Ungu.
Langkah ini memang berat, mengingat Persita adalah klub promosi yang tidak seperti Kalteng Putra yang secara finansial lebih baik. Namun, jika memang budget mereka hanya mampu untuk merekrut pemain lokal. Mereka tetap harus menaikkan standarnya sesuai dengan kompetisi yang mereka ikuti. Liga 1 bukanlah Liga 2. Liga 1 adalah standar utama di Indonesia yang harus tinggi. Karena di situlah titik terakhir pengukuran kualitas sepakbola Indonesia untuk dapat bersaing di level Asia (minimal di Piala AFC).
Sehingga, Persita harus mulai bergerak cepat, cermat, dan serius dalam melakukan perekrutan pemain. Agar mereka tidak menjadi bulan-bulanan lawan seperti di Piala Presiden. Apalagi Liga 1 adalah kompetisi panjang, maka, akan sangat sulit bagi sebuah tim untuk tetap berada di level maksimal, jika tidak memiliki skuad utama yang bagus. Klub yang memiliki tim utama bagus saja juga akan cepat 'aus' ketika mereka tidak memiliki kedalaman skuad yang setara dengan tim utamanya. Jadi, hasil di Piala Presiden ini sangat penting bagi Persita untuk segera berbenah, sebelum terlambat dan mengorbankan pelatihnya untuk dipecat.
Karena, tim yang tidak kompetitif, belum tentu disebabkan oleh kualitas pelatihnya. Namun, bisa disebabkan pula oleh kualitas pemainnya. Kita bisa melihat PSMS yang musim lalu memecat pelatih sekelas Djajang Nurjaman, dan apa hasilnya? Nihil.
Memecat pelatih seolah kini menjadi tren dan solusi akhir bagi tim yang sedang terseok-seok di liga. Padahal, belum tentu faktor utamanya adalah pelatih. Namun, pelatih memang akan menjadi sorotan pertama ketika tim bermain buruk. Begitu pula seharusnya ketika tim tersebut bermain baik. Pelatih tetaplah menjadi sorotan pertama. Namun, di sepakbola, hasil bagus akan lebih cepat mengudarakan pemainnya, bukan pelatihnya. Sedangkan, ketika hasilnya buruk, pelatihnya menjadi perbincangan hangat. Termasuk di Indonesia.
Jadi, selamat bekerja, manajemen PERSITA.
Semoga menjadi klub yang kompetitif di Liga 1 2019! (
Malang, 14 Maret 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H