Berbekal pengalaman pernah memberikan gelar juara tersebut, maka, Indra Sjafri mengetahui formula yang tepat untuk membawa timnas setidaknya dapat lolos ke fase semifinal di turnamen kali ini. Artinya, Indra Sjafri sudah memiliki cara untuk membuat tim bermental pemenang. Hal inilah yang membuat timnas U-22 dapat terhindarkan dari kekalahan dan walau terlihat tidak mulus perjalanannya saat di fase grup. N
amun, Indra Sjafri sudah tahu bagaimana caranya untuk dapat bermain aman dan menang. Main aman tanpa menang tentu bukan pilihan yang bagus. Namun menang tanpa pernah bisa main aman, juga tidak akan bagus. Karena, sewaktu-waktu, tim juga dapat dikalahkan dengan tim lain, ketika lawan sudah tahu titik lemahnya (timnas Indonesia). Faktor pelatih inilah yang kemudian menjadi kekuatan utama di timnas U-22 dan berada di sektor internal.
Lalu, di faktor kedua adalah peserta. Peserta di U-22 ini tidak semuanya berisikan pemain-pemain terbaik di kelompok usia tersebut. Vietnam dan Thailand dikabarkan menurunkan pemain-pemain yang seharusnya justru tampil di level U-19.Â
Di Thailand, hanya memunculkan pemain yang sangat berpengalaman pada kaptennya yang sudah memiliki klub profesional. Sedangkan Vietnam banyak menurunkan pemain-pemain berusia 18-19 tahun. Memang beberapa sudah memiliki klub profesional, namun secara menit bermain tentu akan lebih sedikit dibandingkan pemain berusia 20-an tahun. Namun faktanya memang inilah yang dilakukan oleh mereka. Apakah ini buruk? Tidak juga. Karena, dengan kesegeraan mereka memainkan pemain yang lebih muda dari kelompok usia yang sebenarnya. Maka, akan menghasilkan siklus regenerasi yang cepat dan ini akan memudahkan pelatih untuk mencari opsi A, B, C dan D ketika sudah memasuki level turnamen yang sebenarnya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa turnamen U-22 ini hanya ujicoba.
Lalu, sebenarnya apa sih perbedaannya antara timnas yang memainkan pemain dengan usia sesuai level turnamen (U-22) dengan yang belum sesuai dengan level tersebut (U-19)? Apakah perbedaannya signifikan?
Jika ditanya soal ada/tidaknya perbedaan, jawabannya adalah jelas ada perbedaan. Salah satunya adalah pengalaman bermain. Ketika di level U-19, pengalaman pemain akan minim di level profesional. Mereka akan lebih banyak berkompetisi di kelompok umur.Â
Memang secara kuantitas (menit bermain) pemain tersebut sudah 'merasakan rumput lapangan', namun secara kualitas, mereka belum dapat berbuat banyak. Kualitas di sini bukan hanya berbicara soal kemampuan individu pemain, namun juga kemampuan team-working-nya. Artinya, di level junior, permain setiap pemain selalu lebih menonjol di kualitas individu.Â
Terbukti, jika melihat permainan tim junior pasti akan banyak melihat para pemain lebih berani merangsek masuk sendirian (menujukkan skill individu), dibandingkan permainan tim senior yang selalu mengutamakan kerja sama antar pemain untuk dapat masuk ke area pertahanan lawan. Artinya di sini adalah kematangan visi bermain, dan ini sangat jarang dimiliki oleh pemain level U-19---baik secara tim maupun individunya.
Memang masing-masing timnas dapat mengandalkan pelatih bagus. Namun, pelatih bagus tanpa didukung pemahaman individu pemain (intelijensia dan pengalaman), juga akan kesulitan dalam hal penerapan taktik. Akhirnya yang terjadi adalah pelatih harus menyesuaikan taktik dengan karakter pemain, bukan pemahaman pemain untuk mempraktekkan instruksi dan mengolahnya dengan permainan kolektif. Ini yang kemudian membedakan antara timnas yang menurunkan banyak pemain yang masih belasan dengan pemain yang sudah berusia 20 tahun dan 21 tahun. Atau bisa disebut sudah memiliki izin bermain di klub profesional.
Maksudnya dari perbedaan ini adalah ketika pemain masih belasan, yang diutamakan adalah misi pelatih menguatkan kemampuan pemain---kemampuan pemain dimaksimalkan. Sedangkan di level yang sedikit di atas itu adalah misi pelatih membuat tim ini harus mulai mampu menjalankan taktik, instruksi, maupun ide dari pelatih. Artinya, pemain harus mampu menginterpretasikan taktik dari pelatih ke dalam diri masing-masing dan kemudian dikomunikasikan ke rekan setim.Â
Jika pemain sudah memiliki setidaknya semusim-dua musim di level profesional, hal ini akan sering dilakukan. Sehingga, kemampuan bermain pemain tidak lagi hanya mengembangkan skill individu namun juga mentalitas dan team-working.