Alhasil, si pemain akhirnya tidak bisa menunjukkan performa ataupun sumbangsih yang sama seperti saat di klub. Karena, jelas sekali bahwa setiap pelatih, apalagi yang sudah banyak pengalamannya, pasti akan memiliki karakter atau filosofi bermain tersendiri. Inilah yang kemudian patut dipertimbangkan lagi. Yaitu, soal 'ajian mepet-mepet'.
Federasi sejak belum terlalu kacau---walau sejak lama tidak pernah kondusif---sampai saat ini yang sedang kacau, selalu dihadapkan pada situasi yang tidak bagus dalam mempersiapkan skuad; waktu yang ideal.Â
Sebulan-dua bulan adalah waktu yang seolah-olah sudah cukup untuk mempersiapkan 23 pemain. Sehingga, ketika melihat timnas tidak kunjung berprestasi, yang disalahkan adalah masa persiapannya. Padahal sudah sangat jelas bahwa kalender turnamennya kapan dan tuan rumahnya siapa. Namun, timnas dan federasi seperti justru disibukkan dengan permasalahan internalnya; masih keteteran menghidupi sepakbola di dalam negeri.
Kunci utama sebenarnya di federasi. Bagaimana federasi mampu membuat timeline yang jelas terhadap kompetisi sepakbola nasionalnya (liga dan piala liga), lalu menengok jadwal kompetisi antar klub sebenua (AFC Champions League dan AFC Cup), sampai kemudian jadwal turnamen timnas dari segala umur dan cabang (pria dan wanita). Termasuk ketika adanya kompetisi pramusim dan perhelatan politik seperti pemilu. Artinya, perlu adanya kemampuan yang besar terhadap membuat jadwal. Walau patut diakui bahwa ini memang bukan perkara mudah, namun jika dilakukan dengan ketegasan (negosiasi tuntas dengan segala pihak) dan kejelasan (transparansi dengan berbagai pihak), maka, tidak menutup kemungkinan bahwa ada ruang dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan timnas.
Libur kompetisi (panjang) atau jeda kompetisi (singkat) juga bisa digunakan untuk training camp. Artinya, pemain sepakbola, apalagi yang sudah pasti memiliki kualitas mumpuni dan berprospek bagus untuk timnas, harus dapat dipastikan untuk dipanggil dengan agenda timnas. Bisa melalui agenda laga ujicoba, maupun training camp biasa (menggelar simulasi pertandingan secara internal). Sehingga, persiapan itu ada walau tidak harus spesifik ke tujuan (untuk turnamen).
Melalui cara seperti itu, kemungkinan, timnas dapat terbebas dari keluhan jadwal persiapan yang singkat dan padat. Sehingga, para pemain juga tidak tertekan secara berlebihan terhadap turnamen tersebut---target. Termasuk meminimalisir adanya cedera-cedera akibat program latihan yang dikemas padat dan berat. Jika, waktu persiapannya ideal, maka, program latihan pasti akan lebih manusiawi dan dapat dijalankan dengan tenang namun penuh konsentrasi.
Ini yang sebenarnya perlu diperhatikan dari hasil pencapaian juara timnas U-22 ini. Walau ini hanya merupakan turnamen ujicoba untuk Piala Asia U-23 nanti, namun, tetap saja turnamen ini sebenarnya perlu dipersiapkan lebih baik lagi. Memang jika ini digunakan sebagai tolok-ukur untuk persiapan kualifikasi Piala Asia U-23 akan terlihat bagus. Namun, jika ini dilihat sebagai murni untuk turnamen U-22, ini masih belum ideal. Hasilnya memang trofi, namun, tidak selamanya kita dapat mengagungkan persiapan mepet dengan hasil yang terlihat nyata. Karena, pasti ada faktor-faktor lain yang membuat hasilnya bisa sebagus itu.
Jika dicermati lebih dalam, juaranya timnas U-22 di turnamen non-kalender FIFA ini adalah:
Faktor pelatih.
Faktor peserta.
Faktor pemain timnas.
Di faktor pelatih, kita bisa mensyukuri kembalinya Indra Sjafri untuk melatih timnas kelompok umur. Karena, Indra Sjafri memiliki pengalaman membawa timnas U-19 menjadi juara di Piala AFF 2013.Â
Di turnamen itu juga sebenarnya sang pelatih memiliki banyak kendala dalam mempersiapkan tim. Namun, beruntung bahwa atmosfer Indonesia saat itu sangat mendukung pagelaran turnamen tersebut.Â
Digelarnya AFF U-19 di Indonesia tentu memberikan kekuatan yang besar bagi timnas saat itu. Selain itu, patut diakui bahwa timnas bermain bagus dan lebih dewasa dibandingkan pemain timnas lainnya, dan ini tentu tidak lepas dari taktik yang dimiliki oleh Indra Sjafri.