Beberapa waktu lalu, masyarakat penggila sepak bola Indonesia telah mendapatkan kabar dari PSSI tentang penunjukan resmi pelatih tim nasional (timnas) sepak bola dari tim utama putra dan putri sampai tim kelompok usia junior.
Satu nama yang kemudian menyita banyak perhatian adalah Simon McMenemy. Pelatih sepak bola yang pernah menukangi skuad timnas Filipina pada 2010 lalu, rupanya kembali berhasil menemukan kursi kepelatihan di timnas lagi tepatnya di timnas Indonesia.
Bersama tim Merah Putih, Simon McMenemy akan kembali menunjukkan kemampuannya dalam meracik strategi dan bersaing dengan pelatih-pelatih sarat pengalaman di kubu timnas lainnya di Asia Tenggara maupun Asia.
Pertanyaan paling mendasar yang mengikuti awal berpijaknya kaki Simon di kubu Garuda adalah, mampukah membawa timnas kebanggaan rakyat Indonesia ini bangkit dari keterpurukan?
Jika, dibandingkan dengan pelatih sebelumnya, jelas kualitas taktik Simon akan sangat berbeda. Jam terbang pria Skotlandia ini juga sudah cukup terasah dalam bersaing sengit dengan pelatih-pelatih penuh pengalaman seperti Robert Rene Albert, Rahmad Darmawan, Jacksen F. Thiago, maupun mantan pelatih timnas Indonesia saat Piala AFF 2010, Alfred Riedl.
Artinya, secara mentalitas, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mendorong para pemain menjadi maksimal dalam setiap pertandingan.
Satu hal yang menjadi pertimbangan adalah kenapa harus Simon?
Apakah karena pengalamannya berkompetisi di sepak bola Indonesia membuat dirinya punya modal cukup untuk mengenal permainan para pesepak bola Indonesia?
Satu hal lagi, benarkah kabar yang dihembuskan oleh Peter Butler tentang Simon yang belum memiliki lisensi kepelatihan pro?*
Jika kabar kenihilan lisensi tersebut terbukti, apakah lagi-lagi PSSI melakukan kesalahan?
Namun, jika kabar tersebut tidak terbukti, maka kita bisa mencoba langsung fokus menerka apa yang akan dilakukan Simon terhadap skuad timnas Indonesia ini.
Berbicara soal strategi, Simon McMenemy sedikit mirip dengan filosofi bermain sepak bola Inggris, cepat dan tajam. Aliran bola untuk menyerang akan sangat cepat dan biasanya sangat bergantung pada pemain flank yang dapat merangsek masuk ke lini pertahanan lawan.Â
Suatu langkah yang tepat, mengingat timnas Indonesia memiliki banyak stok pemain cepat dan penuh skill dalam menguasai bola di sisi sayap. Sebut saja Andik Vermansyah, Riko Simanjuntak, Irfan Jaya, Saddil Ramdani, Febri Hariyadi, dan pemain-pemain lainnya yang masih belum mendapatkan panggilan timnas namun kualitasnya cukup mumpuni.
Soal taktik bermain secara umum, Simon sepertinya (dari rekam jejaknya di Filipina, Mitra Kukar, dan Bhayangkara FC) tidak menginginkan cara bermain bertahan. Meski, taktik ini terkadang cukup ampuh untuk menjebak lawan agar sedikit terlena dengan barisan pertahanan ketika mereka sedang asyik menyerang.Â
Di sinilah, akan ada kebutuhan khusus untuk melatih para pemain timnas untuk belajar mengasah kemampuan transisi dari bertahan ke menyerang. Soal transisi ini, biasanya tak akan lepas dari peran pemain depan yang dipasang sebagai target man tunggal yang mampu menjaga bola dan menunggu pergerakan rekannya untuk menerobos masuk membongkar celah pertahanan yang lowong.
Di sini, peran pemain yang kuat berduel 1 lawan 1 seperti Ilija Spasojevic mungkin akan sangat dibutuhkan. Pemain naturalisasi asal Eropa ini tentu tidak asing dengan gaya permainan yang demikian.Â
Namun, akan menjadi sedikit berbeda, jika Simon menggunakan Beto Goncalves. Karena, pemain ini lebih cenderung mobile mencari ruang untuk memanfaatkan konsentrasi bek lawan yang lebih fokus terhadap penguasaan bola dari pemain tengah---rekan setim Beto.
Hal ini terlihat akan berbeda dari kebiasaan pemain naturalisasi asal Brazil ini jika harus bermain dengan cara duel satu lawan satu, atau menjadi tembok bagi pemain lini kedua.
Jika ingin menggunakan pemain depan sebagai tembok atau pemantul bola, mungkin mantan pemain timnas yang sudah uzur seperti Cristian Gonzales akan terlihat sangat cocok.
Pemain bertipe demikian cukup jarang ditemukan di Indonesia. Mengingat tidak banyak pemain depan timnas yang memiliki postur tinggi besar seperti penyerang timnas Prancis Olivier Giroud---pemain yang sangat dikenal dengan cara mainnya sebagai pemantul bola.
Jika ingin sedikit berspekulasi, mungkin pemain depan yang menyerupai atau setidaknya dapat menggantikan peran Spaso atau Beto jika tidak maksimal, adalah Lerby Eliandri. Pemain depan klub Borneo FC ini memiliki postur yang ideal untuk berduel dengan pemain belakang lawan yang biasanya bertubuh tinggi besar.
Namun, yang menjadi halangan adalah ketajamannya yang tidak begitu konsisten---meski ini juga disebabkan dengan minimnya menit bermain.Â
Jika dibandingkan dengan sesama penyerang lokal, maka, Simon lebih disarankan untuk memainkan Samsul Arif Munip daripada Lerby Eliandri. Karena, torehan gol di kompetisi Liga 1, Samsul Arif sangat meyakinkan dengan koleksi 14 gol.
Ini semua akan kembali pada taktik yang diinginkan sang pelatih. Pendekatan permainannya tentu akan menyesuaikan filosofinya. Tinggal dibutuhkan adanya support dan semangat dari pemain yang telah mendapatkan kepercayaan untuk mengenakan seragam berlambang Garuda di dada.
Lalu, bagaimana dengan formasi yang mungkin akan digunakan oleh Simon di timnas?
Simon McMenemy bukan sosok pelatih yang sangat keras terhadap bentuk formasi---memiliki pakem formasi khusus yang tidak bisa diubah. Jika menilik rekam jejaknya sebagai pelatih, khususnya di kompetisi sepak bola Indonesia pria British ini dapat menggunakan formasi 4-1-2-3, 4-2-3-1, dan 4-3-3.
Jika melihat potensi dan stok pemain untuk timnas Indonesia dalam kurun waktu dua tahun ke depan ini---sesuai dengan kontrak Simon bersama timnas---akan terlihat dominan menggunakan 4-1-2-3 dan 4-3-3.
Mengapa? Karena pertama, stok lini tengah timnas sangat melimpah. Kedua, dengan penggunaan formasi lini tengah yang padat, jalinan kerjasama atau aliran bola akan cukup lancar.Â
Mengingat timnas masih akan bergantung pada kaki Evan Dimas untuk menjadi dirijen permainan tim, maka, dirinya perlu mendapat support lebih untuk membangun serangan daripada sibuk menambal keloyoan dalam bertahan lini tengahnya yang biasanya hanya bergantung pada Zulfiandi sebagai penyaring serangan lawan.
Bersama 3 pemain yang (walau) tidak sejajar, namun terlihat cukup dekat antara satu pemain dengan pemain lain, akan membuat aliran bola saat sedang menguasai permainan, tidak akan terhambat.Â
Sedangkan dua pemain di belakang penyerang tunggal, akan berperan sebagai pengganggu konsentrasi pertahanan dengan pergerakan mereka yang lebih cair dan salah satu pemainnya akan berani melebar, sedangkan pemain satunya akan mendukung penyerang tunggal untuk menjadi penyerang bayangan. Sehingga, dalam mode menyerang, timnas akan memiliki dua pemain permanen yang berada di kotak penalti lawan.Â
Hal ini akan sedikit seperti bermain dengan formasi 4-1-2-3 (dua pemain depan di dalam kotak penalti, dan satu pemain melebar---pemain ini dapat berganti tugas dengan pemain lainnya yang berperan sebagai pendukung striker utama).
Lalu, bagaimana jika timnas menghadapi tim yang jauh lebih kompleks bermainnya, seperti Thailand? Formasi 4-2-3-1 dapat digunakan untuk bertahan. Namun, biasanya untuk menghadapi tim yang dapat mendominasi permainan, dapat dikejutkan dengan pola menyerang pragmatis melalui formasi 4-3-3.Â
Di sini, peran pemain tengah akan sangat kompleks, karena tak cuma menghalau serangan lawan, namun juga harus mendukung serangan. Tingkat kerapatan 3 pemain tengah juga sangat krusial.
Sejauh ini, hanya Inter Milan di era Jose Mourinho yang dapat mempraktekkan formasi ini. Karena mereka memiliki banyak gelandang petarung dan penyerang sayap (winger) yang rajin naik-turun mendukung permainan tim. Serta, ada striker tunggal yang kuat dalam berduel satu lawan dua, seperti Zlatan Ibrahimovic.
Formasi 4-3-3 juga cukup dekat dengan gaya permainan Eropa dan Britania Raya, tinggal bagaimana ramuannya Simon dalam mencocokkan formasi yang seperti itu dengan karakter bermain pemain Indonesia yang lebih nyaman memainkan bola umpan pendek dari kaki ke kaki seperti filosofi bermain timnas Spanyol dan Barcelona.
Indonesia akan memasuki era baru, bersama pelatih baru, filosofi baru (walau ada filosofi bermain Filanesia yang digagas Danurwindo dan disahkan oleh PSSI), dan harapan lama. Yaitu, menjadi penguasa Asia Tenggara.
Mampukah Simon McMenemy memikul beban dari harapan semua orang di Indonesia untuk dapat melihat kembali timnasnya bermain garang dan pantang menyerah?
Mampukah Garuda kembali terbang?
Malang, 26 Desember 2018
Deddy Husein S.
Tambahan:
*Ada kabar, jika Simon McMenemy belum berlisensi Pro. Silakan klik di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H