Artinya, agama sudah menjadi hasil pengolahan pemikiran yang matang yang kemudian menjadi pilihan tanpa lagi terikat oleh ras dan suku.
Begitupula seharusnya yang terjadi, ketika kita telah menjumpai adanya perayaan dari semua agama di Indonesia. Yaitu, toleransi.
Jika cinta dan pernikahan menumbuhkan toleransi dan penyatuan, Â maka, seharusnya status kita sebagai masyarakat Indonesia yang sudah tersahkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)---apalagi jika terlahir dan besar di tanah Indonesia---juga dapat membimbing kita untuk dapat memaklumi terhadap rasa kebahagiaan dari sesama yang sedang merayakan hari besar agamanya dengan toleransi.
Artinya, sudah saatnya kita tidak lagi berdebat tentang bolehkah kita turut bergembira dengan saudara kita yang berbeda agamanya yang sedang merayakan hari besarnya?
Bolehkah kita mengucapkan selamat terhadap perayaan hari besar tersebut?
Dan bolehkah-bolehkah lainnya, yang masih memperlihatkan bahwa kita masihlah sangat kaku untuk menerima adanya perbedaan di sekitar kita. Padahal, menyatukan perbedaan dengan cinta dan pernikahan itu lebih sulit dibandingkan hanya sekadar memberikan ucapan selamat.
Apa sulitnya dan dosanya ketika kita memberikan ucapan selamat kepada teman yang berbeda agama dibandingkan saat kita terus menggunjing orang lain tentang keburukannya---apalagi jika yang digunjing adalah yang seagama.
Lebih berdosa mana, mempergunjing keburukan orang yang seagama dengan memberikan ucapan selamat kepada orang yang berbeda agama?
Masihkah takut mengucapkan selamat kepada yang berbeda agamanya, padahal itu tidak akan mengurangi iman dan ketakwaan kita terhadap agama yang dianut?
Masihkah berpikir bahwa mengucapkan selamat itu akan menggoyahkan iman kita terhadap ajaran agama yang (biasanya) telah dianut sejak kecil?
Bagaimana dengan perilaku menggunjing dan menjelek-jelekkan orang lain tanpa peduli dia siapa dan dari mana---apalagi jika digunjing berdasarkan perbedaan agama, suku, dan rasnya?