"Kejayaan yang tak bisa abadi, memukul telak manusia untuk menyingkir atau belajar kembali"
Antara setuju dan tidak, ketika mendengar kabar perpisahan Jose Mourinho dengan Manchester United (MU) (18/12). Perpisahan yang disinyalir karena kekalahan MU 3-1 saat bertandang ke markas Liverpool dalam lanjutan kompetisi Premier League. Sebuah kekalahan besar atas tim rival yang sedang berpacu di jalur juara. Artinya, semakin jauh jarak antara MU dengan rival-rival di atasnya, maka semakin sulit langkah Antonio Valencia dkk untuk dapat berada di zona Liga Champions untuk musim depan.
Selain itu, kekalahan dengan Jurgen Klopp, semakin menegaskan bahwa ada yang kurang bagus bagi MU dalam menerapkan taktik dari Jose Mourinho. Lalu, apakah hasil buruk ini hanya karena faktor taktik dan gaya kepelatihan dari juru taktik yang sering disapa "Mou" ini?
Mourinho datang ke Liga Inggris bukan baru-baru ini. Dia adalah orang lama yang kembali lagi bersaing dengan pelatih lama dan baru yang selalu mewarnai kompetisi tanah Ratu Elizabeth ini dengan beragam strategi dan filosofi bermainnya. Begitu pula pada Mou yang datang kembali dengan rekam jejak barunya, setelah membawa dua klub beda liga berada dalam masa yang cukup bagus.
Apalagi saat di Inter Milan, yang mana di masa akhir karirnya di klub kota mode ini, dia berhasil membawa Diego Milito dkk menjuarai tiga kompetisi sekaligus di musim 2009-2010. Salah satu gelar juaranya adalah Liga Champions, yang sekaligus mengukuhkan predikat Mourinho sebagai salah seorang pelatih yang sukses membawa klubnya meraih prestasi tertinggi di benua Biru---dengan dua gelar Liga Champions yang diberikan kepada FC Porto pada 2004 dan Inter Milan 2010.
Sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh pemenang duel Merah tempo hari, Jurgen Klopp. Bahkan, Mauricio Pochettino, Unay Emery, apalagi Maurizio Sarri, belum pernah mengisi CV kepelatihannya dengan trofi Liga Champions. Satu-satunya pelatih yang dapat menandingi CV Liga Champions milik Mou, adalah Josep 'Pep' Guardiola. Pelatih Manchester City ini dapat mempersembahkan gelar Liga Champions saat berjaya bersama klub profesional pertamanya di masa kepelatihan; FC Barcelona.
Jadi, siapakah pelatih di Liga Inggris yang bisa memberikan filosofi bermain yang kuat untuk bertanding tak hanya di Liga Inggris, namun juga di Liga Champions selain Mourinho dan Guardiola?
Unai Emery memiliki pengalaman meraih gelar Liga Europa bersama Sevilla, namun cukup kesulitan saat menukangi klub yang jauh lebih kuat dari Sevilla, Paris Saint Germain saat berkompetisi di Liga Champions. Bahkan, Unai Emery juga tak mampu mengalahkan Jose Mourinho saat keduanya berduel di sebuah laga Premier League---yang mempertemukan MU vs Arsenal. Artinya, Mourinho (sebenarnya) masih tak mudah untuk dikalahkan.
Lalu, apa yang membuat perpisahan ini harus terjadi?
Pertama, persaingan di Liga Inggris yang terlihat kurang mampu diikuti oleh konsistensi hasil pertandingan yang positif bagi The Red Devils.
Kedua, taktik Mourinho yang dinilai negatif (sebut parkir bus) ketika bertemu dengan klub-klub besar dan juga susah menaklukkan klub-klub kelas menengah dan ke bawah (inkonsistensi).
Ketiga, isu ketidakakuran antara Mou dengan beberapa pemainnya, salah satunya adalah Paul Pogba. Konon, hal ini menyebabkan ruang ganti dan sesi latihan tak dapat berjalan kondusif bagi persiapan tim menghadapi setiap pertandingan.
Tiga hal yang sebenarnya wajar terjadi bagi setiap klub sepakbola, namun menjadi tidak biasa ketika hal ini terjadi pada sebuah klub sebesar Manchester United. Namun, ada suatu kerugian ketika Manchester United sudah tak bersama Mourinho saat ini.
Yaitu, kehilangan seorang pemilik mental juara.
Setenarnya taktik parkir bus di pikiran gibolers saat ini, namun, jika dilihat apa yang telah dihasilkan oleh Mourinho dari masa awal kepelatihannya sampai musim lalu, adalah gelar juara. Tak tanggung-tanggung, gelar juara domestik di Portugal, Inggris, Italia, dan Spanyol telah berhasil dipersembahkan kepada Porto, Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid. Begitu pula dengan kompetisi level Eropa dan Dunia. Bahkan di klub yang sudah berpisah dengannya saat ini; MU, telah diberikan pula gelar Liga Europa (2017) yang sekaligus menjadi tiket ke Liga Champions di musim selanjutnya---2017/18.
Artinya, di balik permainan pragmatisnya, pria Portugal ini dapat membuktikan diri sebagai salah seorang pelatih hebat sampai saat ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah sudah tepatkah MU berpisah dengan Mourinho saat ini? Di saat musim kompetisi baru berjalan nyaris setengah musim, dan MU masih berada di kompetisi elit Liga Champions.
Perpisahan Mourinho dengan MU seperti perpisahan antara Arsene Wenger dengan Arsenal. Perpisahan yang berdasarkan kelelahan dalam melihat permainan sebuah tim besar yang tak kunjung memberikan hasil positif dan konsisten sampai akhir musim kompetisi. Perpisahan yang kemudian menjadi solusi paling logis agar suporter dan fans klub tersebut menjadi berharap terhadap adanya perubahan---segera. Sedangkan, perubahan tidak akan selalu dapat berjalan dengan baik.
Guardiola perlu beradaptasi, Antonio Conte (saat itu di Chelsea) perlu beradaptasi, bahkan Jose Mourinho juga perlu beradaptasi ketika kembali ke Chelsea. Namun, dengan adanya kata adaptasi, seperti ada pemakluman bahwa sebuah klub terlihat masih (boleh) tertatih-tatih. Suatu hal yang terjadi pula di Arsenal di musim ini---musim pertama kalinya The Gunners mengganti pelatihnya setelah sekitar dua dekade bersama seorang pelatih yang sama.
Hal ini yang kemudian terjadi pada MU. Sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson, MU sepertinya kesulitan menemukan pelatih yang tepat untuk menjadi suksesor terbaik figur asal Skotlandia tersebut. Namun, selama ini, siapakah pelatih terbaik yang berada di kursi kepelatihan MU?
MOURINHO.
Namun, selayaknya sebuah makanan yang awalnya terasa lezat dan menyehatkan, namun pada akhirnya harus menuju ke masa kedaluarsa.
Mungkin, hal ini juga terjadi pada seorang profesional di sepakbola. Masa-masa keemasan akan mulai memudar seiring berjalannya waktu menuju perubahan yang baru dan gagal diimbangi dengan perubahan pendekatannya---tidak mempelajari hal yang baru dan relevan. Hal ini, tak hanya terjadi pada pemainnya, namun juga dapat dialami oleh para pelatihnya. Seperti masanya Arsene Wenger di Liga Inggris yang (sebenarnya) sudah (lama) memudar, dan mungkin kini, tongkat estafet itu dipegang oleh Jose Mourinho yang mau tidak mau harus mendapatkan gilirannya.
Kedatangan pelatih-pelatih baru yang penuh enerji dan adanya filosofi positif thinking---pasti menang---walau skor sementara tertinggal terlebih dahulu, mungkin sedang menjadi tren bagi persepakbolaan masa kini. Artinya, saat ini filosofi bermain yang memiliki potensi kemenangan terbaik adalah menguasai permainan (seperti di Man.City), memainkan taktik yang dinamis (Liverpool), dan tidak pantang menyerah menyerang sampai laga berakhir (Arsenal) adalah yang sering terlihat pada permainan dewasa ini di Liga Inggris.
Hal ini, yang sepertinya tidak ada di MU saat ini. MU seperti bermain biasa saja dan cenderung menunggu apa yang sedang dimainkan oleh lawannya, baru meresponnya. Sebuah taktik lama yang dulu juga dimainkan oleh Arsene Wenger---membiarkan tim lawan dapat mencuri keunggulan dan kemudian mencoba merespon.
Namun, taktik yang seperti ini akan menjadi boomerang negatif ketika bertemu dengan klub-klub yang bermain dengan pelatih yang memiliki pendekatan yang berbeda (tidak hanya baru). Khususnya, seperti Klopp dan Pochettino. Dua pelatih yang cenderung fleksibel dalam memainkan pertandingan. Mereka tidak serta-merta harus dominan, atau sebaliknya. Mereka memainkan semua strategi---bertahan dan menyerang yang seimbang dan maksimal. Itulah yang menjadi sorotan penting terhadap evaluasi bagi MU saat ini.
Uniknya, evaluasi tersebut adalah perpisahan antara MU dengan Mourinho yang akhirnya tak terelakkan---walau sudah terprediksi jauh-jauh hari.
Salah satu catatan akhir pada perjalanan Mou-MU di sini adalah budaya bersaing sengit di Liga Inggris seringkali membutakan persepsi terhadap bagaimana cara menilai kualitas seorang pelatih.
Namun, di sisi lain, memberikan suatu fakta yang sulit disanggah. Bahwa, roda kehidupan senantiasa berputar. Sehingga, siapa saja bisa merasakan situasi menyenangkan saat berada di atas, dan di sisi lain, harus mau dan siap jika sewaktu-waktu akan berada di bawah; bersama aspal yang panas dan berdebu atau tanah yang berlumpur.
Pilihannya ada dua saat berada di bawah. Mau kembali ke atas, atau tetap berada di sana. Pilihan paling logis adalah berada di tengah. Yaitu, mencari sesuatu yang berbeda namun bisa kembali memberikan bukti bahwa seseorang tersebut tidak/belum habis.
Bagi seorang pelatih sepakbola yang hebat di klub profesional, biasanya akan mencoba memulai perencanaan untuk sedikit bergeser ke wadah yang baru---sebelum dirinya benar-benar 'meredup'. Yaitu, melatih sebuah tim nasional (timnas). Entah, timnas yang mana, tapi bisa jadi, itu adalah destinasi yang bagus bagi seorang pelatih hebat seperti Mourinho.
---
Terimakasih Mourinho atas warna yang kau berikan pada sepakbola Eropa, dan semoga segera mendapatkan destinasi baru yang lebih menyenangkan, serta membangkitkan kembali optimisme untuk juara.
Malang,
20 Desember 2018
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H