Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesuksesan Tak Pernah Berangkat dari Kesenangan

19 Desember 2018   18:26 Diperbarui: 19 Desember 2018   18:45 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi depresi. (Alinea.id/Andry Waseso)

"Bersakit-sakit dahulu, Bersenang-senang kemudian"

Dewasa ini, kasus depresi bukan lagi hal yang langka dan tabu. Bahkan, semakin banyak orang yang mengalaminya. Mengapa?
Tingginya tuntutan dalam standar hidup yang semakin menaik dan peran sosial media membuat banyak orang yang masih belum cukup pemikirannya menjadi 'gila'.

Mari kita bedah keduanya secara terpisah.

Pertama, tentang standar hidup.
Manusia hidup dengan keharusannya mencukupi kebutuhan hidupnya. Awalnya hanya makan-minum, tidur dan membentuk keluarga.
Seiring berjalannya waktu, evolusi dan revolusi yang telah membuat manusia terus berupaya meningkatkan standar kehidupannya dengan meningkatkan pula standar kebutuhannya. Berawal dari keinginan di masa lalu, kini menjadi kebutuhan.

Contohnya adalah gadget.
Siapa yang dapat memperkirakan bahwa sekarang masing-masing orang memiliki fasilitas menelpon?
Jika ditarik ke masa kelahiran akhir generasi milenial dan awal generasi Z (1990-an sampai 2000-an), masyarakat, khususnya di Indonesia, sarana telepon adalah sebuah sarana elit.

Artinya, tak bisa semua orang mampu memiliki telepon di rumahnya masing-masing. Untuk itulah, ada warung telepon atau yang disingkat dan dikenal saat itu dengan istilah WARTEL.

Siapa yang tahu dan dengar istilah itu saat ini?

Hanya beberapa generasi yang mengetahuinya dan mungkin ada beberapa yang nyaris lupa dengan istilah tersebut. Kita memang masih cukup tahu dengan telepon umum, tapi bagaimana dengan wartel?

Bahkan ada wartel terakhir di pusat sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur---kebetulan merupakan tempat tinggal penulis, punah dan diganti dengan sebuah apotik. Padahal sebelumnya, tempat itu (mungkin) jadi wartel terakhir yang masih bertahan.

Artinya, perkembangan zaman juga tak hanya memunahkan makhluk hidup seperti flora-fauna langkanya namun juga teknologi---dan sarananya.
Ketiadaan wartel dapat disebabkan oleh keberhasilan masyarakat dalam menggapai standar hidup yang baru. Yaitu, memiliki gadget, baik itu personal computer (PC) maupun handphone (hp) atau kini dikenal sebagai smartphone.

PC berperan besar dalam meningkatkan standar pekerjaan dewasa ini. Nyaris semua tenaga kerja dan angkatan kerja diwajibkan untuk memiliki kemampuan Intelectual Technology (IT) dengan pengoperasian perangkat lunak (software) di PC.

Begitu pula dengan hp atau telepon seluler (ponsel). Keberadaan benda elektronik satu ini dapat membuat kebutuhan terhadap komunikasi antar individu dapat berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Awalnya memiliki telepon rumah adalah hal berat. Karena pemasangan dan biaya administrasinya tidak sedikit. Hal ini berbanding terbalik dengan ponsel yang tak hanya dapat dibeli oleh satu keluarga (satu keluarga satu ponsel), namun juga bisa dibeli untuk masing-masing anggota keluarga.

Kemudahan dalam akses komunikasi di ponsel kemudian ditambah dengan kehadiran ponsel model baru, yang disebut smartphone. Sesuai namanya, ponsel pintar ini yang pada akhirnya membuat masyarakat semakin cepat menuju perkembangan dan perubahan.

Tidak hanya menawarkan fasilitas komunikasi, namun juga informasi.
Sebenarnya sama seperti PC yang dapat disambungkan dengan internet yang kemudian membuat kita dapat mengakses informasi. Namun, dengan keberadaan smartphone, kita tak perlu ke mana-mana membawa PC hanya untuk membaca berita di website. Cukup dengan smartphone, kita bisa melakukan (nyaris) segalanya.

Keberadaan smartphone inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya banyak perkembangan dan perubahan khususnya pada situasi sosial dan individual.

Secara sosial, kita dapat melihat bersama bahwa, segala informasi terkini tentang apapun dapat diketahui masyarakat secara cepat. Artinya, ada perkembangan efisiensi waktu terhadap penyaluran informasi dari penyaji informasi ke pembaca informasi tersebut. Apalagi bagi masyarakat kota dan kaum muda yang dewasa ini, hampir tak pernah melepas smartphone dari tangan dan jangkauan mata.

Sedangkan secara individual, kehadiran smartphone memudahkan masing-masing penggunanya untuk dapat mengakses segala hal yang dibutuhkan dan diinginkan.

Lalu, bagaimana dengan perubahannya?

Ada positif dan negatif.

Positifnya, kita tidak perlu menghabiskan waktu lama mengantri di wartel atau telepon umum untuk menghubungi teman, saudara jauh, orangtua (jika sedang merantau), dan orang-orang penting yang perlu dihubungi melalui layanan komunikasi suara langsung.

Saat ini, kita tinggal membeli pulsa---bahkan sudah banyak penjual pulsa elektrik di setiap tempat dan perkampungan, setelah itu kita tinggal menghubungi orang lain dengan mencari nomornya yang sudah tersimpan sebelumnya di memori smartphone tersebut.

Masih tentang komunikasi, bahwa saat ini kita tak perlu harus menelpon dengan pulsa biasa, melainkan dapat melalui pulsa data yang tersambung internet dengan mengakses sebuah aplikasi obrolan (chatting). Praktis, dan sangat memudahkan bagi semua orang untuk tidak ketinggalan informasi dari orang-orang terdekat maupun ketika membutuhkan bantuan dari orang lain.

Termasuk dengan pemanfaatan media informasi, yang biasanya harus mengaksesnya dengan membeli majalah atau koran yang terbit dan diedarkan oleh news-deliver atau yang biasanya dipanggil tukang koran.

Kini, para pembaca berita harian terbaru, tak perlu repot-repot menunggu penjual koran lewat di depan rumah pagi-pagi dan harus mengeluarkan 5000-8000 rupiah untuk satu atau dua jenis koran/majalah. Kita hanya cukup dengan membuka smartphone kita, menyalakan data dan membuka aplikasi penyedia berita terbaru. Lebih banyak, beragam, dan bisa kapan saja membacanya.

Lalu bagaimana dengan negatifnya?
Secara sosial, kehadiran smartphone memusnahkan telepon umum, wartel, memangkas jumlah penjual koran/majalah, hingga menipiskan peluang fotografer dan studio pemotretan untuk dapat tetap eksis. Bagi studio pemotretan, memang masih ada sampai saat ini. Namun, biasanya studio tersebut adalah studio yang memiliki level cukup tinggi dan biasanya hanya akan menerima sesi pemotretan dari agensi permodelan, prewedding, dan perayaan wisuda.

Tidak lagi banyak keluarga yang mengunjungi studio tersebut untuk foto bersama. Apalagi seorang ibu/bapak yang mengantarkan anaknya untuk hanya sekadar melakukan pemotretan untuk pas foto sekolah. Mungkin sudah tidak ada. Karena, dengan keberadaan smartphone yang tak hanya menyediakan layanan komunikasi dan informasi, juga dapat menyediakan fitur hiburan, termasuk fotografi.

Keberadaan kamera yang tersemat di smartphone yang dewasa ini semakin meningkat kapasitas megapikselnya---kualitas kamera, membuat para pengguna dapat dipastikan mampu melakukan pemotretan yang bahkan menyerupai hasil pemotretan dari seorang fotografer profesional.
Banyak jenis pekerjaan yang mulai tersisihkan karena keberadaan smartphone, kurang lebih seperti yang sudah disebutkan tersebut.

Lalu, adakah yang lebih negatif lagi?

Ada.

Yaitu, pengaruh keberadaan smartphone yang membuat para individu mulai 'menyingkir' dari kerumunan sosial.

Smartphone menyebabkan banyak individu menjadi antisosial?

Bisa dikatakan demikian, namun bukan berarti sebelum ada smartphone, di lingkungan sekitar kita tidak ada orang yang antisosial. Pasti ada, namun tidak akan semudah saat ini untuk ditemukan atau bahkan semakin mudah bagi kita untuk men-cap orang di sekitar kita dengan sebutan itu ketika kita mengetahui orang tersebut jarang keluar dari rumah apalagi kamarnya---di rumahnya.

Jikalau itu adalah menyangkut kehidupan anak kost dan juga merupakan mahasiswa, mungkin masih wajar jika orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya di kost-nya. Mungkin, karena harus mengerjakan tugas kuliahnya atau mungkin juga karena sehabis kuliah dan juga berkegiatan di kampus, tentu perlu waktu untuk beristirahat.

Antisosial sejauh ini masih cukup menjadi perhatian, baik bagi lembaga yang peduli terhadap kehidupan personal masyarakat, maupun masyarakatnya sendiri. Bahkan, cukup diperlukan adanya sosialisasi terhadap bahayanya orang-orang yang kemungkinan menjadi antisosial. Selain karena nantinya akan ada sesuatu hal yang negatif---baik terjadi bagi orang tersebut maupun ke orang sekitarnya, juga untuk kebaikan dari kesehatan.

Kesehatan di sini bukan hanya berbicara soal medis, namun juga psikis. Bahkan, kesehatan psikis jauh lebih penting sebelum mengarah ke kesehatan medis. Mengapa?

Jika orang mengalami gangguan psikis, maka besar kemungkinan kesehatan tubuhnya juga terganggu. Contohnya adalah sakit liver/hepatitis (gangguan fungsi hati), yang ternyata dapat disebabkan oleh stress dan kegagalan dalam membangun interaksi dengan orang lain guna memperoleh media untuk mengungkapkan apa yang sedang mengganggu pikiran dan perasaannya.

Selain itu, penyakit jantung juga dapat disebabkan oleh kebiasaan was-was yang berlebihan. Seringnya merasa takut jika terjadi sesuatu sebelum mengalaminya, membuat orang tersebut bisa terkena serangan jantung jika kemudian ada sesuatu yang dapat mengejutkannya dan menerornya.

Pola hidup yang tak baik---begadang dan makan kurang teratur, juga dapat mengakibatkan kesehatan secara medis terganggu dan ini semua bisa jadi memiliki garis yang dapat sejalur dengan adanya perubahan yang disebabkan oleh kemunculan gadget, khususnya smartphone yang ternyata tak semuanya dapat berakibat baik terhadap penggunanya.

---

Setelah membahas tentang standar hidup, dan sudah menyerempet tentang smartphone dan apa yang sudah dihasilkan dari keberadaan gadget populer tersebut. Kini, kita melangkah ke sosial media.

Mari kita lihat terlebih dahulu tentang suatu fakta dari adanya pengaruh negatif smartphone dewasa ini. Yaitu, dengan adanya fenomena-fenomena sosial yang seringkali viral di sosial media dan semakin merajalela akhir-akhir ini. Bahkan, viral-viral tersebut tak hanya untuk menjadi bagian dari informasi namun juga dapat memberikan pengaruh terhadap sikap pengguna smartphone yang nahasnya harus mengetahui viral tersebut.

Seperti viral pernikahan dan perceraian gimmick yang kemudian membuat banyak orang---masyarakat-net, menghabiskan banyak waktunya untuk menghujat sosok-sosok yang sedang diviralkan tersebut. Konyol. Suatu hal yang tidak penting, tapi dihebohkan. Buang-buang waktu, bukan?

Begitu pula dengan ekspos berlebihan terhadap gaya hidup seseorang di sosial media. Omong-omong tentang sosial media, bahwa sosial media ini hadir sebagai bentuk dari adanya perkembangan terhadap smartphone yang kemudian punya andil besar terhadap perubahan sosial dewasa ini.

Sosial media kemudian menjadi kehidupan dan surga bagi mereka yang mungkin disebut antisosial. Namun, dengan keberadaan sosial media, mereka justru menghabiskan banyak waktunya untuk menyelami 'kehidupan' di dunia maya dan juga 'nyemplung' di sosial media.

Tak mengherankan, jika banyak orangtua mendapati anaknya kini lebih banyak berdiam diri di kamar daripada keluar rumah dan bermain dengan teman-temannya. Jika dulu, orangtua selalu berupaya menyeret anaknya untuk pulang cepat, sekarang, banyak orangtua yang kebingungan ketika anaknya justru hanya berdiam diri di kamar.

Mengapa demikian?
Gadget dan sosial media.
Kehidupan di sana rasanya jauh lebih menarik dibandingkan kehidupan di dunia nyata, yang mengharuskan diri untuk berpanas-panasan, mengunjungi rumah teman, dan meminta izin kepada orangtua teman untuk diizinkan keluar bermain dengan anaknya. Itu yang dapat dirasakan pada masa lalu.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan yang terjadi saat ini. Orangtua sudah terlihat jarang di rumah, dan gadget selalu ada akses internet, sehingga apapun bisa dilakukan. Termasuk bermain game dan menyelami sosial media. Tak perlu keluar rumah, untuk menyapa teman. Tak perlu keluar rumah, untuk bermain, berinteraksi, dan mengetahui informasi dari orang lain. Jika dulu, kita harus mengejek teman saat bermain di luar, saat ini, kita cukup duduk/berbaring di kasur sambil mengejek teman sampai kemudian terbawa perasaan alias baper.

Inilah yang membuat perbedaan masa kini dengan masa lalu. Di mana interaksi yang terlalu luas, ternyata tidak bisa diimbangi dengan kesiapan mental. Mereka yang belum siap mentalnya---dan belum bisa berpikir luas, akhirnya baper karena hasil obrolan lewat sosial media. Lalu, mengetahui kehidupan orang lain yang sengaja terekspos sedemikian rupa, dan itu nyaris selalu berhasil membuat pikiran kita terpengaruh dan baper.

Bagaimana tidak baper, ketika melihat teman bisa asyik bernarsis-narsisan dengan teman atau pacarnya, lalu diunggah di laman sosial medianya. Begitu pula, ketika melihat teman dapat jalan-jalan keluar kota dengan keluarganya saat liburan lalu foto-fotonya diunggah di laman sosial media. Sampai melihat kucing saja hidup nyaman dengan fasilitas pakian, toilet, serta bacaan yang berkualitas tinggi. Wow! Bayangkan jika memang ada kucing yang seperti itu.

Ya, kegagalan dalam memahami kehidupan di sosial media, membuat penanggapan sikap terhadap apa yang dilihat di sosial media menjadi merusak diri sendiri.

Hasilnya?

Depresi.
Karena, melihat orang lain (terlihat) hidup enak, penuh kecukupan---bahkan berlebih, selalu tersenyum dan tertawa (seolah-olah) bahagia. Sedangkan, hidup pada diri sendiri terasa tidak nyaman, makan tak bisa kenyang, tidur tak bisa nyenyak, hidup pun dirasa penuh masalah.

Ya, itulah yang sedang terjadi pada orang-orang saat ini, dan sedihnya, mereka yang mengalami deperesi adalah generasi yang masih muda, yang seharusnya masih memiliki semangat untuk menggapai cita-citanya.

Jika dulu, orang depresi adalah orang-orang yang kehilangan suami/istrinya, anaknya, orangtuanya, atau pekerjaannya. Maka sekarang, orang depresi karena melihat kehidupan orang lain TERLIHAT lebih mudah daripada kehidupannya sendiri.
Wow!

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
CLOSE your social media!*
OPEN your real window, dan rasakan sensasi kehidupan yang nyata.
Bahwa, kehidupan memang penuh masalah. Bagi siapapun itu.
Hanya, kita (sebenarnya) tidak saling tahu-menahu kehidupan orang lain. Kita hanya bisa melihatnya, melalui apa yang ingin diperlihatkan oleh kamera, bukan dari mata kita.
Jadi, apakah kita masih mau 'mati' hanya karena melihat kehidupan di depan layar milik orang lain?

Malang,
19 Desember 2018
Deddy Husein S.

Catatan:
*: Lakukanlah ketika Anda merasa Sosial Media tak memberikan dampak yang positif. Namun jika, Anda mendapatkan dampak yang positif karena aktivitas di Sosial Media, kenapa tidak untuk tetap berada di sana?
Maaf, jika ada penggunaan beberapa patah kata dengan bahasa asing. Karena, ada beberapa hal yang terasa cukup sulit saat menyampaikan maksud yang sedemikian rupa dengan bahasa Indonesia---bukan untuk terlihat keren. Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun