Tak mengherankan, jika banyak orangtua mendapati anaknya kini lebih banyak berdiam diri di kamar daripada keluar rumah dan bermain dengan teman-temannya. Jika dulu, orangtua selalu berupaya menyeret anaknya untuk pulang cepat, sekarang, banyak orangtua yang kebingungan ketika anaknya justru hanya berdiam diri di kamar.
Mengapa demikian?
Gadget dan sosial media.
Kehidupan di sana rasanya jauh lebih menarik dibandingkan kehidupan di dunia nyata, yang mengharuskan diri untuk berpanas-panasan, mengunjungi rumah teman, dan meminta izin kepada orangtua teman untuk diizinkan keluar bermain dengan anaknya. Itu yang dapat dirasakan pada masa lalu.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan yang terjadi saat ini. Orangtua sudah terlihat jarang di rumah, dan gadget selalu ada akses internet, sehingga apapun bisa dilakukan. Termasuk bermain game dan menyelami sosial media. Tak perlu keluar rumah, untuk menyapa teman. Tak perlu keluar rumah, untuk bermain, berinteraksi, dan mengetahui informasi dari orang lain. Jika dulu, kita harus mengejek teman saat bermain di luar, saat ini, kita cukup duduk/berbaring di kasur sambil mengejek teman sampai kemudian terbawa perasaan alias baper.
Inilah yang membuat perbedaan masa kini dengan masa lalu. Di mana interaksi yang terlalu luas, ternyata tidak bisa diimbangi dengan kesiapan mental. Mereka yang belum siap mentalnya---dan belum bisa berpikir luas, akhirnya baper karena hasil obrolan lewat sosial media. Lalu, mengetahui kehidupan orang lain yang sengaja terekspos sedemikian rupa, dan itu nyaris selalu berhasil membuat pikiran kita terpengaruh dan baper.
Bagaimana tidak baper, ketika melihat teman bisa asyik bernarsis-narsisan dengan teman atau pacarnya, lalu diunggah di laman sosial medianya. Begitu pula, ketika melihat teman dapat jalan-jalan keluar kota dengan keluarganya saat liburan lalu foto-fotonya diunggah di laman sosial media. Sampai melihat kucing saja hidup nyaman dengan fasilitas pakian, toilet, serta bacaan yang berkualitas tinggi. Wow! Bayangkan jika memang ada kucing yang seperti itu.
Ya, kegagalan dalam memahami kehidupan di sosial media, membuat penanggapan sikap terhadap apa yang dilihat di sosial media menjadi merusak diri sendiri.
Hasilnya?
Depresi.
Karena, melihat orang lain (terlihat) hidup enak, penuh kecukupan---bahkan berlebih, selalu tersenyum dan tertawa (seolah-olah) bahagia. Sedangkan, hidup pada diri sendiri terasa tidak nyaman, makan tak bisa kenyang, tidur tak bisa nyenyak, hidup pun dirasa penuh masalah.
Ya, itulah yang sedang terjadi pada orang-orang saat ini, dan sedihnya, mereka yang mengalami deperesi adalah generasi yang masih muda, yang seharusnya masih memiliki semangat untuk menggapai cita-citanya.
Jika dulu, orang depresi adalah orang-orang yang kehilangan suami/istrinya, anaknya, orangtuanya, atau pekerjaannya. Maka sekarang, orang depresi karena melihat kehidupan orang lain TERLIHAT lebih mudah daripada kehidupannya sendiri.
Wow!
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
CLOSE your social media!*
OPEN your real window, dan rasakan sensasi kehidupan yang nyata.
Bahwa, kehidupan memang penuh masalah. Bagi siapapun itu.
Hanya, kita (sebenarnya) tidak saling tahu-menahu kehidupan orang lain. Kita hanya bisa melihatnya, melalui apa yang ingin diperlihatkan oleh kamera, bukan dari mata kita.
Jadi, apakah kita masih mau 'mati' hanya karena melihat kehidupan di depan layar milik orang lain?