"Menantikan duet maut Repsol Honda di MotoGP musim 2019."
Sesuatu yang besar selalu menjadi perdebatan, "apakah bisa sesuatu yang sama dimasukkan ke wadah yang sama?"
Tak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti, karena memang semua bergantung pada keadaan. Manusia tak pernah lepas dari reaksinya terhadap keadaan. Jika keadaannya baik, maka sikap manusia juga baik. Begitu pula, jika sikap manusia baik, keadaan juga akan baik. Artinya, manusia bisa memberikan dampak, juga akan merasakan dampak.
Hal ini bisa terjadi di dunia olahraga, yang mana setiap orang berpacu dengan keadaan dan sesama (kompetitornya) untuk dapat menunjukkan diri sebagai yang terbaik. Karena olahraga identik dengan siapa yang menang, kalah dan yang terbaik. Pemenang belum tentu terbaik. Tapi siapa yang terbaik, itu berasal dari yang dapat meraih kemenangan.
Olahraga melahirkan juara, pembuktian dan legenda. Termasuk di dunia balap motor seperti Moto GP yang setiap musimnya menghasilkan juara dunia, baik itu pebalapnya maupun timnya. Pebalap itulah yang kemudian menjadi ikon yang dapat menjadi bukti bahwa dirinya dapat menjadi yang terbaik---yang pada akhirnya menjadi legenda di akhir perjalanannya (pensiun).
Berbicara soal Moto GP, kita tak akan pernah asing dengan nama Valentino Rossi. Betul, dia adalah salah seorang legenda balap yang masih aktif membalap dan masih diperhitungkan untuk dapat menjadi calon juara dunia di setiap musimnya. Berkarir panjang di dunia balap motor dan juga memiliki rentetan juara yang cukup panjang, membuat siapapun penikmat salah satu olahraga populer ini tak bisa menutup mata terhadap kehadiran pebalap asal Italia ini.
Nomor 46 dan bendera warna kuning dengan simbol matahari tak pernah absen menghiasi bagian tribun penonton di setiap seri balapan. Di sirkuit Asia, Eropa, Amerika, semua ada fans The Doctor (julukan Valentino Rossi). Mereka juga berasal dari berbagai negara seluruh benua di dunia ini, dan semua mengakui kualitasnya. Mengingat sejarahnya dan keberadaannya yang masih ada sampai generasi yang lahir di tahun 2000-an masih bisa melihat kelihaiannya menyalip pebalap-pebalap lain yang usianya masih 20-an tahun dan masih di level MotoGp---kelas di atas Moto2 dan Moto3 yang ada di ajang Moto GP.
Di kelas MotoGp ini terhitung hanya tinggal beberapa pebalap yang usianya sudah kepala tiga selain Rossi. Sebut saja Jorge Lorenzo, Andrea Dovizioso, Carl Cruthclow, Thomas Luthi, dan pebalap yang baru saja menyatakan pensiun di akhir musim 2018, Dani Pedrosa. Artinya, sosok seperti Valentino Rossi adalah langka. Tidak banyak yang bisa melakukan hal seperti Valentino Rossi---menjaga semangat yang sama untuk tetap berada di lintasan dengan level kejuaraan yang masih tinggi.
Tak hanya pendukungnya saja yang menghargai keberadaannya, pebalap lain dan pendukung pebalap lain juga menghargai eksistensinya. Karena tak banyak pebalap yang dapat meregenerasikan 'dirinya' ke lintasan balap motor Moto GP. Kita bisa melihat dirinya berhasil mendirikan sekolah balap yang pada akhirnya dapat mendirikan SKYVR46. Sebuah tim balap yang ada di Moto3 dan Moto2. Keberadaan tim ini juga bukan sekedar tim 'hore', melainkan juga turut berupaya mengejar prestasi berupa titel juara dunia melalui pebalapnya.
Di kelas Moto2, akhirnya tim SKYVR46 ini berhasil menyabet juara dunia bersama Francesco Bagnaia. Bagnaia yang juga merupakan anak didik langsung dari Rossi ini juga pada akhirnya naik kelas ke MotoGp dan akan satu trek balap bersama sang guru musim depan (2019). Pebalap yang juga berasal dari Italia ini akan menggunakan motor Italia dari Ducati bersama tim Pramac.
Keberadaan Bagnaia sebagai juara dunia di Moto2 menunjukkan bukti eksistensi yang lain dari Rossi. Bahwa Rossi tidak akan pernah 'cuci nama' dari ajang balap motor.Â
Dirinya akan eksis meski tidak akan harus selamanya di trek balap dengan berpacu kecepatan mengejar podium. Waktu balapnya memang akan semakin menipis, namun namanya akan selalu terselip di setiap ocehan dari komentator balap yang akan selalu mengaitkan keberadaan pebalap Italia yang ada kaitannya dengan si 46 tersebut. Termasuk juga dengan keberhasilan prestasi tim balap yang didirikan oleh The Doctor.
Sebelum Moto GP akan kehilangan sosok Valentino Rossi di lintasan balap, publik penikmat balap ini sudah perlahan namun pasti mulai mengakui bahwa Moto GP dengan kelas MotoGp-nya masihlah tetap seru. Hal ini tak lepas dari keberadaan pebalap-pebalap yang lebih muda dari Rossi yang ternyata mampu menunjukkan dirinya sebagai salah satu yang terbaik.
Kita tak bisa memungkiri kehebatan Casey Stoner bersama Ducati dan Repsol Honda 2007 dan 2011 saat itu. Lalu, ada pebalap Honda lainnya yang lebih lama bersama tim Repsol yaitu Dani Pedrosa. Walau belum pernah menyicipi gelar juara dunia di kelas 'para raja', namun keberadaan pebalap ini selalu diperhitungkan di setiap musim balap.Â
Memang kenyataannya konsistensi performa pebalap nomor 26 itu harus menjadi kendala utamanya yang membuat dirinya selalu gagal merengkuh emas di akhir musim, termasuk di musim 2018 yang berakhir tanpa prestasi---juara seri. Namun The Little Spaniard masih sangat layak disebut legenda pasca pensiun.
Termasuk ketika menurunnya performa Rossi rupanya tak serta merta membuat tim Yamaha Factory kehilangan sosok pemenang di setiap serinya. Karena ada pebalap hebat lainnya yang dimiliki tim Garpu Tala ini pada diri Jorge Lorenzo. Pebalap yang kini identik dengan nomor 99 ini akhirnya dapat memberikan tiga gelar juara dunia untuk dinikmati oleh kubu biru Jepang.
Tiga gelar itu pula yang seolah-olah menjadi kenang-kenangan bagi Yamaha selepas menurunnya performa motornya yang membuat kedua pebalapnya cukup tak berkutik di musim 2016 sampai akhirnya mengharuskan Jorge Lorenzo pergi dan berlabuh ke Ducati. Tim merah yang kemudian terlihat bangkit di musim 2017 dan kembali menunjukkan kekuatan dan konsistensi dalam mencari kemenangan di musim 2018.Â
Dua musim yang hebat dari Ducati untuk menunjukkan adanya andil dari keberadaan pebalap yang masih berbicara cukup banyak di lintasan pasca era kejayaan Valentino Rossi yang menariknya justru menular ke pebalap Repsol Honda (lagi) yang mengaku mengidolakan sosok nyentrik dan kharismatik asal Italia tersebut. Benar, Marc Marquez adalah pewaris kejayaan dari Valentino Rossi di masa kini.
Keberadaan pemilik nomor 93 ini pada akhirnya menjadi raja yang sah sejak musim 2013, 2014, dan tiga musim berturut sampai 2018 ini. Artinya, hanya ada nama Jorge Lorenzo yang merusak dominasi runtutan juara dunia dari The Baby Alien. Meski, secara peta persaingan, kejuaraan MotoGp menyebar ke beberapa pebalap, termasuk Andrea Dovizioso yang akhirnya benar-benar mencuat ke permukaan di musim 2017 dan 2018 ini.
Bertandem dengan juara dunia tiga kali, bukan lagi waktunya untuk hanya sekedar menjadi pebalap medioker bersama motor hebat. Itulah yang membuat Dovi kini sangat patut untuk diperhitungkan di musim balap 2019 nanti. Karena, dirinya sudah bukan lagi pebalap medioker, melainkan pebalap yang tangguh dan siap untuk merengkuh juara dunia.Â
Namun, kepergian tandem kuat seperti Jorge Lorenzo juga patut dipertanyakan tentang kelanjutan dan penampilan impresif pemilik nomor 04 ini. "Apakah bisa kembali masuk 2 besar atau tidak?"
Sesuatu yang dinantikan publik penikmat Moto GP pada 2019 adalah, "Apa yang akan terjadi pada tim Repsol Honda dengan bergabungnya Jorge Lorenzo?"
Keberadaan dua pebalap perengkuh juara dunia sejak 2010-2018* di dalam satu tim tentu bukan suatu hal yang pernah terjadi di tim MotoGp selain Yamaha. Terbukti, Yamaha akhirnya kewalahan menangani dua juara dunia dalam satu garasi. Lalu, bagaimana dengan Honda? Mampukah menjadikan atapnya sebagai penampung dua kepala pemilik ego besar untuk selalu meraih kemenangan dan mencari peluang juara dunia yang sama besarnya?
Melihat fenomena Honda di musim 2019 seperti melihat sebuah galaksi yang memiliki 2 matahari. Tak terbayangkan bagaimana kecerahan galaksi tersebut. Namun, juga perlu dibayangkan bagaimana panasnya dunia di galaksi tersebut.Â
Hal inilah yang akan dinantikan publik. Sekaligus harus menjadi persiapan yang matang bagi tim Repsol Honda untuk tidak sampai membuat kedua pebalap ini kecewa dan menurunkan performa tim asal Jepang ini. Jangan sampai ada "drama tembok penyempit garasi tim jilid dua".
Apakah hal seperti itu bisa terjadi lagi?
Kemungkinannya 50-50.
Bagaimana bisa demikian?
Kita bisa melihat faktor yang mirip dengan apa yang terjadi pada Rossi dan Lorenzo di masa kejayaan keduanya. Rossi saat itu sedang berada di usia yang matang.Â
Dirinya juga masih bisa berjaya dengan gelar juara dunia di 2008 (musim debut Jorge Lorenzo dari kelas 250cc) dan 2009, kemudian hal ini terusik dengan keberhasilan Jorge Lorenzo dalam beradaptasi dengan motor Yamaha dan situasi kejuaraan yang kemudian membuat pemuda Spanyol ini mengembangkan potensinya untuk dapat menjadi calon juara dunia---yang pada akhirnya terealisasi pada musim 2010.Â
Meski Yamaha tak absen berjaya di MotoGp, namun menaiknya keinginan Jorge Lorenzo untuk disetarakan dengan rekan setimnya, membuat tim ini kelabakan dan akhirnya gagal mengatasi permasalahan dari pertumbuhan dan persamaan ego yang besar dari kedua pebalapnya.
Sesuatu yang kemudian menjadi persepsi umum bahwa matahari hanya satu di sebuah galaksi, sedangkan yang berpijar di sekelilingnya hanya gugusan bintang---sama-sama bisa bersinar atau bercahaya tapi tidak seterang dan sejelas matahari. Jadi, apakah matahari hanya harus satu saja untuk menerangi sebuah galaksi? Bagaimana jika dua matahari berada di satu galaksi? Apakah tidak mungkin?
Honda memungkinkannya dengan mengetahui segala konsekuensi positif dan negatifnya---berkaca pada tim rivalnya Yamaha. Di sini, faktornya juga sama dan bahkan lebih kompleks. Karena posisi Rossi saat itu sama seperti Lorenzo saat ini, yaitu sebagai pebalap yang matang. Apalagi dia telah berangkat dari dua tim yang berbeda dengan latar belakang mesin yang berbeda, sehingga proses adaptasi sudah bukan lagi hal baru dalam karir Lorenzo di kelas MotoGp.Â
Di sinilah tantangan Honda akan lebih kompleks dibandingkan Yamaha yang baru kewalahan menghadapi bintang baru pada diri Jorge Lorenzo muda, sedangkan di sini Honda menghadapi kematangan Lorenzo dan bersama dengan pebalap mudanya yang sudah berhasil menjadi juara dunia lima kali (younger and full experiences).
Namun, ada keuntungan Honda kali ini dibandingkan Yamaha kala itu adalah Por Fuera (julukan Jorge Lorenzo) datang dengan kematangan dan kedewasaan. Dia telah berhasil mengatasi segala problematika dengan lebih tenang dibandingkan dirinya yang masih ekspresif saat dua musim pertamanya di Yamaha.Â
Artinya, akan ada hal yang berbeda pada apa yang dibawa Lorenzo kali ini saat harus menghadapi rekan duet yang sama-sama hebat sepertinya, dan itu tentu sudah diperhitungkan oleh pebalap pengoleksi tiga kali podium juara bersama Ducati di 2018---musim kedua sekaligus pamungkasnya bersama Ducati ini, saat memutuskan untuk bergabung dengan tim Satu Sayap ini.
Artinya, di sini ada kemungkinan bahwa Honda akan baik-baik saja. Konsistensi juga akan lebih baik lagi, karena secara tim, mereka tidak hanya akan bergantung pada Marquez untuk mendulang banyak poin konstruktor---suatu ketakutan yang benar-benar terjadi di 2018. Sekaligus membuat sebuah fakta bahwa tak ada tim lain yang memiliki duet maut yang berimbang seperti Honda.
Yamaha hanya memiliki pengalaman pada Rossi (konsisten namun performa/agresivitas menurun), dan masih menunggu konsistensi dan kematangan dari Maverick Vinales. Ducati yang pasti bakal 85% fokus pada Andrea Dovizioso, sedangkan Danilo Petrucci akan dijadikan sebagai pengganggu konsentrasi pebalap lain di lintasan.Â
Lalu, ada Suzuki kini bakal mencoba menumbuhkan pebalap tangguh pada diri Alex Rins yang mungkin akan dapat menjadi pesaing masa depan Marquez, bersama Vinales, duet KTM (Johann Zarco dan Pol Espargaro) dan pebalap Italia muda seperti Franco Morbidelli dan Francesco Bagnaia.
Artinya, tak ada tim yang benar-benar matang komposisi pebalapnya. Semua masih perlu mencoba dan mempelajari. Sedangkan di Honda---meski Lorenzo perlu adaptasi dan tak sebentar, mereka memiliki dua pebalap yang sudah sangat tahu apa yang akan dilakukan. Lorenzo sebagai pendatang pasti adaptasi adalah fokus utama, namun berangkat dari keberhasilannya menaklukkan Ducati di musim 2018 adalah bukti sahih bahwa dia bukan pebalap kemarin sore yang tidak 'mau' diberi 'hadiah' baru. Dia akan mencoba menggunakan pengalamannya dalam menaklukan Ducati untuk menaklukan Honda.
Sedangkan bagi Marc, konsentrasinya hanyalah menjaga konsistensi dalam menjaga peluang juara dunia lagi. Dia tak lagi berhadapan dengan dua pebalap hebat dari Ducati yang musim 2018 nyaris selalu berhasil membuat Marc takluk side by side. Jorge Lorenzo kini sudah ada di timnya, dan sedang masa adaptasi---walau tetap perlu diwaspadai.Â
Namun di kubu seberang, semua pebalapnya rata-rata masih berjuang sendiri-sendiri---tidak main keroyokan seperti Ducati yang dapat mengirim 3-4 pebalap di depan (bersama tim Pramac Ducati). Artinya, peluang untuk juara dunia masih berada di dekat jangkauannya. Tinggal apakah Marc dapat mendekatinya atau tidak.
Di sinilah kemudian membuat publik penikmat Moto GP akan kembali merasakan keseruan dari persaingan para jago balap sedunia ini.
Mampukah Honda terus melanjutkan pesta juaranya?
Atau justru Ducati yang mampu pecah telur juara dunia setelah 12 tahun puasa gelar?
Atau mungkin gebrakan ala bangkit dari kuburnya versi Yamaha dapat membuat gelar juara dunia kembali, entah melalui Rossi yang memimpikan gelar ke-10 atau gelar pertama bagi Maverick Vinales.
Tanpa meragukan kompetitor pabrikan yang lain. Namun, ketiga tim pabrikan ini masihlah yang terdepan untuk diperbincangkan oleh khalayak penikmat adrenalin balap kuda besi Moto GP.
Mana yang akan jadi juara dunia versimu? Dan mengapa?
Malang, 1 Desember 2018
Deddy Husein S.
Catatan:
2010-2018* : musim kompetisi Moto GP kelas MotoGp yang dimenangkan oleh Jorge Lorenzo dan Marc Marquez (hanya diselingi oleh Casey Stoner yang sudah pensiun).
2010: Jorge Lorenzo (Yamaha)
2011: Casey Stoner (Honda)
2012: Jorge Lorenzo (Yamaha)
2013: Marc Marquez (Honda)
2014: Marc Marquez (Honda)
2015: Jorge Lorenzo (Yamaha)
2016: Marc Marquez (Honda)
2017: Marc Marquez (Honda)
2018: Marc Marquez (Honda)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H