Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Indonesia Tetap "Menarik"

28 November 2018   16:22 Diperbarui: 29 November 2018   05:07 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Statistik Persaingan Klub Liga 1 2018. (Line Today)

"Benarkah MAFIA sedang 'mengurung' sepakbola Indonesia?"

Kabar negatif selalu menghiasi setiap berita tentang sepakbola Indonesia. Seolah-olah tak ada kabar dari lapangan hijau yang dapat membuat kita bisa nyaman saat duduk dan menyeruput secangkir teh (tanpa gula) hangat di pagi hari. Segala permasalahan muncul dari Sabang-Merauke untuk menunjukkan betapa kita tidak bisa menganggap remeh olahraga terbesar sejagad ini. 

Namun, kabar dari lapangan hijau setidaknya lebih 'menghibur' daripada kabar dari jagad hiburan yang seringkali malah membuat kerusuhan di kalangan emak-emak dan netizen pemburu gosip gimmick.

Sepakbola Indonesia kembali tertunduk lesu, setelah diisi oleh kabar kerusuhan suporter yang menimbulkan korban jiwa. Lalu disambung dengan kegagalan timnas di segala levelnya dalam keikutsertaan di semua kompetisi yang digelar tahun 2018 ini. 

Asian Games, Piala AFF dan Piala AFC kelompok umur, sampai yang terbaru adalah kegagalan timnas Indonesia senior di ajang satu kampung Asia Tenggara, Piala AFF. Ibaratnya Piala Dunia adalah kompetisi level kota, Piala Asia adalah level kecamatan, sedangkan Piala AFF adalah level kelurahan. Jadi masih di level kelurahan, namun performa kita masih belum stabil. Apalagi mau bertanding di level kecamatan?

Di Piala AFF tahun ini terlihat betul bagaimana sempoyongannya timnas kita saat ini. Padahal, jika ditelisik dari susunan pemainnya, ini adalah susunan pemain yang 85% the dream team. Dari penjaga gawang nomor satunya (walau tidak menggunakan nomor punggung 1) adalah penjaga gawang yang sudah paling pengalaman dan paling konsisten performanya di level sepakbola profesional Indonesia saat ini. 

Lalu di duet bek tengahnya ada dua bek dengan postur tubuh ideal dan dalam usia yang masih dapat memperkuat timnas dua sampai empat tahun lagi---dengan catatan performa yang stabil dan lebih baik lagi dalam membangun koordinasi. Sepasang fullback yang sudah langganan berseragam timnas ini juga masih dapat diyakini kemampuannya dalam bertahan dan membantu serangan. Termasuk di skuad cadangannya, stok fullback Indonesia sangat mantap betul (mantul).

Lalu, kita memiliki lini tengah yang menggabungkan antara jebolan U-19 yang juara Piala AFF tahun 2014 dengan pemain-pemain berpengalaman di kompetisi internasional seperti Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly dan mengorbitkan pemain baru seperti Febri Hariyadi, Irfan Jaya dan Riko Simanjuntak. 

Soal lini depan, kita tentu sangat mengharapkan pundi-pundi gol timnas kembali gahar seperti tahun 2010. Ketika lini depan timnas diisi oleh pemain naturalisasi asal Uruguay, Cristian Gonzales. Delapan tahun kemudian, kita akhirnya memiliki pemain naturalisasi baru di lini penyerang utama, yaitu Alberto Goncalves atau yang akrab dipanggil Beto ini.

Usia penyerang yang berkampung halaman di Brazil ini saat mengenakan seragam Merah-Putih sebenarnya juga tak jauh berbeda dengan usia Gonzales saat berseragam timnas Garuda saat itu. Berada di usia senja, namun dengan performa yang masih cukup stabil bukan menjadi penghalang bagi Beto untuk dapat membanggakan ratusan juta penduduk Indonesia. 

Sang pertiwi seolah-olah tak keberatan untuk menerima putra bangsa baru dari tanah lain yang jauh dari tanah khatulistiwa ini. Performanya yang cukup mengesankan saat Asian Games 2018, seolah-olah membangunkan asa bagi masyarakat Indonesia untuk menggelorakan namanya di setiap laga di kompetisi dua tahunan ini.

Secara skuad timnas, memang ini sudah cukup untuk membicarakan target kembali bersaing memperebutkan juara. Tapi, berbicara soal skema permainan, kita harus pelan-pelan mundur dan menengok sisi kanan-kiri kita. 

Ini memang bukan untuk menilai kemampuan pelatihnya, tapi ini membicarakan standar kompetisi dan siapa pesaing kita dan bagaimana mereka dalam menyusun timnya untuk berburu gelar. Kita tidak bisa berangkat dengan asal optimis tapi tidak membawa perbekalan yang cukup. Kita tidak bisa asal bonek, jika kita bukan terlahir untuk menjadi bonek---bukan BONEK (nama kelompok suporter Persebaya).

Kita bisa menengok Singapura yang mencoba membuat tim dengan materi yang berbeda dari biasanya---tanpa pemain naturalisasi. Lalu, ada Malaysia yang terus memperkuat liga profesionalnya dengan regulasi pemain asingnya yang dapat membuat liga berjalan kompetitif dan menumbuhkan semangat berkompetisi yang tinggi bagi pemain lokalnya. Kita juga tidak bisa melupakan dua negara yang kini terlihat sejajar, yaitu Filipina dan Thailand.

Filipina yang kini seperti Singapura-nya 2004-2016 yang diisi oleh pemain naturalisasi ini semakin berkembang menjadi tim nasional yang patut diperhitungkan di level kompetisi AFF ini. Negara ini sangat terlihat keseriusannya dalam membangun wajah sepakbolanya untuk dapat dilihat dan layak dijepret kamera dunia. 

Mereka tak hanya membentuk skuadnya, namun juga memberikan fasilitas penting untuk timnasnya, yaitu stadion sepakbola yang layak standarisasi AFC dan FIFA. Suatu hal yang sudah dimiliki Indonesia dan diakui dunia bahkan sudah sejak 90-an atau mulai diakui kelayakannya sejak 2000-an bersama Stadion Gelora Bung Karno (GBK). 

Bahkan di Indonesia, terdapat banyak stadion standar internasional. Seperti Stadion Jakabaring di Palembang (Sriwijaya FC), Stadion Haji Imbut di Tenggarong (Mitra Kukar), Stadion Mandala di Jayapura (Persipura), Stadion I Wayan Dipta di Denpasar (Bali United), Stadion klasik Andi Matalatta Matoangin di Ujung Pandang (PSM Makassar), dan beberapa stadion baru di Pulau Jawa. Artinya, Indonesia sudah lebih dahulu membangun sepakbolanya bersama fasilitasnya.

Soal skuad Filipina, mereka sudah memperkenalkan wajah uniknya sejak 2010. Maka kita sudah tidak perlu lagi kaget dan grogi saat menghadapi The Azkals. Anggap saja kita sedang bertanding melawan sebuah timnas dari Eropa yang kebetulan ada di kampung sendiri. Artinya, kita sudah bisa mengimbangi kekuatan skuad dengan skuad kita yang juga sudah cukup kompleks dalam mengisi ruang kebutuhannya.

Namun, yang menjadi berbeda adalah permainannya. Filipina bersama pelatih barunya yang sudah sangat kenyang dalam pertarungan sepakbola internasional, Sven Goran Eriksson, kini telah memainkan sepakbola yang taktis. Mampu membuat tempo permainan sendiri dan dapat menyesuaikan permainan lawan---mencari anti strategi terhadap lawan. Suatu hal yang justru tidak dimiliki oleh Indonesia yang padahal memiliki pemain-pemain yang sangat paham dengan strategi yang tepat untuk permainan Indonesia. 

Namun di 4 laga yang dijalani timnas Indonesia, termasuk melawan Timor Leste dan Filipina---hanya melawan kedua tim ini yang menghasilkan poin. Timnas bermain seperti tanpa melihat jarum kompas. Kalaupun melihat, mereka hanya tahan menggunakan arahan kompas tersebut selama beberapa menit. Karena, setelah tim lawan berhasil membangun permainannya, maka permainan Indonesia menjadi ikut pola permainan lawan.

Fakta ini menjadi kemirisan bagi timnas Indonesia yang sudah lebih dahulu berkibar di sepakbola Asia Tenggara dan Asia---dibandingkan Filipina dan Timor Leste, namun justru terlihat kurang nyali untuk bertarung sesuai dengan permainan yang sebenarnya. Permainan timnas sebenarnya yang seperti apa? Permainan yang seperti era Ivan Kolev, Peter Withe, dan yang paling fenomenal adalah eranya Alfred Riedl.

 Era yang membukakan mata kita dan para pemain sepakbola profesional Indonesia, bahwa untuk menjadi pesepakbola yang sukses bersama timnas adalah dengan kedisiplinan. Talenta nanti, yang harus ada adalah kemauan untuk bekerja keras---dalam bentuk apapun. Itulah yang menjadi suatu penekanan dari Alfred Riedl kala itu guna membangkitkan aura haus kemenangan dan membuka pintu yang lebar untuk meraih trofi yang harus direngkuh, trofi juara Piala AFF.

Sesuatu yang kini kembali jauh dari tangan kita, setelah dua tahun sebelumnya nyaris berhasil memeluknya. Seandainya ini film atau sebuah cerita serial di dalam tv, mungkin kita bisa mengandaikan timnas kita seperti tokoh utama yang sedang berupaya bertahan dalam setiap kegagalan untuk mengungkapkan kebenaran. Tapi sayangnya, ini di dunia nyata, dan artinya kita bukan tokoh utama. Kita sama seperti yang lain, timnas kita sama seperti timnas lain, seperti Thailand, Vietnam, Filipina dan para tetangga lainnya. Kita sama-sama harus berjuang secara SERIUS untuk memenangkan kompetisi.

Hal ini sama seperti apa yang terjadi di Liga 1---liga profesional level tertinggi di Indonesia. Ketika semua klub yang berlaga berupaya dengan serius untuk memenangkan liga, maka mereka berupaya sangat keras untuk mewujudkannya. Bahkan saking kerasnya upaya tersebut, bisa menggunakan cara-cara yang tidak profesional dan fairplay. Tapi selama itu hanya terjadi di atas lapangan, tanpa ada behind the scene dari pihak ketiga, keempat, kelima dan keseratusnya, maka hal itu masih dapat dianggap sebagai hanya bagian dari drama sepakbola saja.

Namun, jika itu terjadi dengan keterlibatan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan tidak diperlukan untuk persaingan perebutan gelar juara bagi klub tersebut, maka itu sudah menjadi penyimpangan terhadap nilai fairplay dan profesionalitas dalam sepakbola. Apalagi jika sepakbola yang merdeka atas nama keolahragaannya dicampur-adukkan dengan politik dan pemerintahan. Maka semua hal yang terjadi di sepakbola akan serba bias dan tidak akan dapat dinikmati lagi perjuangan dan semangat pertandingannya di atas lapangan. Karena sepakbola yang ternodai politik dan pemerintahan akan kehilangan kejujurannya.

Di politik, semua ingin merasakan kemenangan dan segala cara dilakukan. Di sepakbola, semua ingin juara dan selamat dari jeratan degradasi. Namun, hasil ditentukan dari peracikan strategi dari pelatih dan komposisi skuad yang dimiliki. 

Bukan dari hasil lobbying sana-sini. Apalagi kalau sampai harus menyentuh ranah kepemimpinan wasit yang tugasnya menjadi pengadil namun justru seringkali dicap sebagai pemutus sepihak atas dasar kerjasama dengan pihak lain. Parahnya, hal ini diketahui oleh masyarakat umum yang dikenal mudah mengeluarkan praduga tak bersalahnya ke pihak-pihak terkait yang kemudian membuat segala hasil pertandingan yang terjadi seperti sinetron. "Semua sudah ada yang ngatur."

"(Lhoh lhoh lhoh), kok bisa begitu?"

Tapi bagaimana jika memang terjadi seperti itu?

Jika tidak demikian, mengapa sejak federasi dipegang oleh orang berlatarbelakang militer, mulai muncul klub sepakbola basis militer? Dan mengapa klub yang juara tahun lalu adalah klub yang berbasis keamanan rakyat---polisi? Jika memang itu karena sesuai dengan hasil di lapangan, mengapa ada aturan yang membuat publik menaikkan sebelah alisnya terhadap penentuan posisi di tabel klasemen---yang membuat sebuah klub yang seharusnya juara menjadi tidak juara?

Lalu, mengapa jabatan ketua umum federasi dapat dirangkap dengan jabatan politik dan pemerintahan?

Mengapa pula pengurus federasi adalah orang-orang yang masih bergerak penting untuk klub-klub di peserta liga? Apakah tidak ada orang lain yang dapat dipercayai menggerakkan kapal federasi sepakbola di Indonesia, selain mereka?

Mantan pemain sepakbola di Indonesia banyak, mereka juga berlatih untuk mendapatkan lisensi di segala bidang penting di sepakbola pasca gantung sepatu. Namun, mengapa mereka belum bisa mendapatkan kursi di federasi untuk menjadi bagian dari pengelolaan sepakbola Indonesia?

Mengapa para mantan pemain justru banyak yang menjadi penggerak akar rumput, atau malah menjadi bagian dari akar rumput terhadap sepakbola Indonesia? Bukankah mereka seharusnya yang lebih berkompeten dalam sepakbola berada di posisi yang lebih baik---tak hanya sekedar jadi pengamat, bukan?

Apakah kendalanya adalah karena kemampuan pengelolaan suatu sistem makro tidak bisa dimiliki dan dijalankan oleh orang sembarangan?

Jika demikian, mengapa mantan sekretaris jenderal (sekjen) federasi di era kepemimpinan ketua umum sebelumnya tidak naik jabatan saja? Bukankah itu lebih logis? Pengalaman dan pengetahuannya tentu lebih baik daripada ketua umum (ketum) yang terpilih dengan mencomot penduduk dari rimba seberang, sedangkan penduduk dari rimba sendiri masih ada yang dapat mengemban jabatan tersebut.

Melihat situasi di federasi sepakbola Indonesia, seperti melihat sebuah praktek pemerintahan dengan politik boneka (meski tidak menuduhnya demikian). Seperti ada pihak yang memiliki kuasa besar namun tidak ingin berada di depan publik. Maka perlu mencari sosok yang dapat dijadikan tameng untuk menutupi kehebatannya. Hal itu sebenarnya sudah bukan hal yang aneh atau tabu (jika dibicarakan di ranah politik dan pemerintahan), namun menjadi lucu jika boneka yang dipilih tak mampu menutupi ketidakmampuannya dalam memahami hukum rimba yang sedang dia huni. Situasi ini akan semakin menjadi lelucon di publik dunia, jika kita tidak segera mawas dan antisipasi dengan segera. Agar fenomena sepakbola kita tidak semakin mengocok perut mereka yang hanya masuk gedung pertunjukan dan duduk di kursi VVIP namun gratis. Sudah gratis, boleh bawa jajan dan minuman sendiri. Ironis!

Lalu, apakah kita siap untuk menonton tontonan sepakbola kita yang (sebenarnya) masih menyajikan aksi-aksi yang menarik?

Penilaian menarik atau tidak, itu terserah siapa yang menonton.

Dan sampai hari ini, kita sebenarnya masih diberikan tontonan yang menarik di sepakbola tanah air kita. Yaitu, persaingan merengkuh gelar juara Liga 1 masih sengit antara PSM Makassar dan Persija Jakarta, dan saat ini sudah mencapai beberapa meter lagi dari garis finish. Siapapun yang juara, seharusnya kita patut merayakannya---terlepas apakah itu klub dukungannya atau bukan.

Mengapa?

Karena, yang menjadi juara nantinya adalah sebuah klub pemilik sejarah panjang dalam mengarungi kompetisi sepakbola nasional. Kedua klub klasik ini tentunya sudah teramat fasih dalam menikmati kompetisi yang berliku dan mereka memang sangat pantas untuk meraihnya. Sebuah hadiah yang manis demi basis suporternya masing-masing yang sangat besar. 

Setidaknya, kalimat "KAMI RINDU* JUARA" itu lebih pantas digelorakan di stadion tempat kedua klub ini bertanding, daripada di stadion tempat timnas bertanding---juara apa yang bisa dirindukan bersama timnas (senior)? Di situlah, kita harus senang dan menikmati cerita (yang masih panjang) dari sepakbola kita yang masih menarik dan menggelitik.

Malang,
28 November 2018
Deddy Husein S.

Catatan:
*) Rindu: perasaan yang tercipta terhadap keinginan untuk dapat bertemu/melihat/memiliki sesuatu yang pernah sebelumnya ada untuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun