Sebuah harapan yang semoga masyarakat adat dapat mengelola wilayahnya sendiri agar tetap lestari, juga tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang dianggap melanggar UU kehutanan meskipun Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014 mengubah ketentuan tindak pidana kehutanan serta capaian penting untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan yang selama ini mengelola dan mempertahankan wilayahnya.  Dalam putusantersbut mengubah pasalPasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan menjadi "Setiap orang dilarang:
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
 i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang,  kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;"Â
Meskipun demikian, masyarakat adat masih memerlukan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah. Berharap hal ini segera direalisasikan oleh pemerintah daerah di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Deddy Febrianto Holo
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H