Harapan Ada di Daerah
       Jika bicara soal adat seringkali di benak orang  hanya pada budaya, bahasa dan istiadat, sedikit sekali menyentuh pada persoalan krusial yang sebenarnya yakni pengakuan hak pengelolaan masyarakat adat (hak ulayat) UU No. 5 Tahun 1960 tentang  Peraturan  Dasar  Pokok-Pokok  Agraria  (UUPA).  Bila  dilihat  rujukan konstitusionalnya, UUPA sebetulnya dimaksudkan sebagai turunan atau pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya tentang implementasi dari hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam.Â
Dalam konteks inilah UUPA menegaskan, bahwa walaupun pada prinsipnya bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara, namun keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dihilangkan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, hak ulayat masyarakat hukum adat diakui sepanjang kenyataannya masih ada.
       Ketentuan ini terdapat secara khusus dalam Pasal 3 UUPA sebaga berikut:Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
       Persoalan utama yang dihadapi masyarakat adat adalah pewarisan dari zaman kolonial  mengenai domain verklaring (hak negara atas tanah yang tidak dapat dilakukan pembuktian sevara formal) memberi implikasi yang sangat besar bagi pengelolaan tanah-tanah adat oleh masyarakat adat, bahkan di NTT terdapat Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1 (3) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan "tanah" ialah tanah bekas pengusaan masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1) dinyatakan "tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat, terbitnya peraturan tersebut sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas tanah ulayat di bawah penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu, dan berpindah menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah.
       Dengan perkembangan regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini,        beban pengakuan terhadap masyarakat adat terletak pada pemerintah daerah melalui pembentukan peraturan daerah, meski di satu pihak memunculkan persoalan bahwa  sebagian besar pemerintah daerah tidak siap baik karena alasan anggaran, alasan ketidaktahuan tentang perubahan hukum yang tengah berjalan, maupun alasan-alasan yang bersifat politis.
      Masih minimnya implementasi Permendagri No. 52 Tahun 2014 di daerah terkait dengan pemberian tugas kepada pemerintah daerah untuk mempercepat pengakuan terhadap masyarakat adat. Menteri dalam negeri mengeluarkan peraturan menteri dalam negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Permedagri ini merupakan kelanjutan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 552/8900/SJ mengenai pemetaan sosial masyarakat hukum adat yang ditandatangani pada 20 Desember 2013. Permendagri ini pada pokoknya berisi perintah kepada Gubernur, Bupati/Walikota membentuk panitia masyarakat hukum adat (PMHA). Panitia ini bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi, untuk selanjutnya mengusulkan penetapan masyarakat adat oleh Gubernur, Bupati/walikota. Permendagri ini menyediakan prosedur baru dalam melakukan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
      Menjadi sangatlah penting kerjasama multi stakeholder untuk melakukan Advokasi perda inisiatif,  Mengingat masyarakat hukum adat Sumba yang  heterogen model regulasinya bisa dilakukan dengan membentuk Perda Penetapan, sebagaimana best practice yang telah dilakukan oleh kawan-kawan AMAN di wilayah lain di bagian Indonesia. Tidu cukup sampai di situ, untuk beberapa daerah  kesatuan masyarakat hukum adatnya sebagai desa adat, sebagai dimaksud UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mendorong regulasi Perda Pembentukan Desa Adat.
Selain itu, persoalan tata kelola air menjadipersoalan krusial di Sumba, mendorong perda hingga perdes mengenai tata kelola air, termasuk Advokasi pemantauan Tata Kelola Hutan,  Lahan termasuk  kawasan pesisir. hal ini akan lebih optimal jika  dibarengi dengan Advokasi Pemetaan partisipatif  wilayah adat (hutan dan pesisir) untuk sinergisitas Indonesia satu peta.
       Hal ini pula diungkapkan oleh Rato (kepala Suku) Nono Buni Kose di Kampung Tabera -Sumba Barat-NTT  yang menyampaikan pesan kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat. Masyarakat Adat Sumba berharap pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota ikut serta mendorong pengakuan wilayah masyarakat adat Sumba secara nyata sesuai ketentuan perundang-undangan.