Mohon tunggu...
Deddy Kristian Aritonang
Deddy Kristian Aritonang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Medan

Pecinta Bahasa, Pendidikan, Sosial dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Karena Bumi Telah Begitu Baik

6 Februari 2024   10:25 Diperbarui: 6 Februari 2024   10:54 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gazing through the window at the world outside (Menatap pada dunia luar lewat jendela)

Wondering will mother earth survive (Berpikir apakah bumi akan bertahan)

Hoping that mankind will stop abusing her sometime. (Berharap suatu saat nanti manusia akan berhenti menyiksanya).

Penggalan lirik lagu berjudul Dreamer milik Ozzy Osbourne di atas adalah gambaran bagaimana keadaan bumi kian tidak baik. Bencana alam, polusi udara, perubahan iklim dan emisi karbon---untuk sebatas memberi contoh---menjadi momok yang sangat menakutkan. Pelakunya siapa lagi kalau bukan kita, manusia, yang sering kita klaim sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Selama berabad-abad manusia telah mengambil begitu banyak dari alam hingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang begitu parah. Jangan lagi berdiam diri. Sudah saatnya  kita mengambil tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Semua demi anak-anak dan cucu-cucu kita sebagai pewaris bumi di masa yang akan datang.

Gaya Hidup Sustainable Ala Pandemi Covid-19.

Masa pandemi Covid-19 memang menyisakan sejumlah cerita kelam. Banyak dari kita yang kehilangan sanak saudara. Ada yang bahkan tidak punya kesempatan untuk memakamkan anggota keluarga yang meninggal dunia akibat terpapar Covid. Tak sedikit pula dari antara kita yang kehilangan mata pencaharian. Dipecat dari tempat bekerja atau usaha yang harus gulung tikar. Anak-anak sekolah pun turut terkena imbasnya karena mengalami learning loss.

Orang-orang tua dulu sering berpesan: 'selalu ada hikmah di balik setiap bencana.' Di balik cerita-cerita sedih karena virus corona, pada sisi berbeda, pandemi Covid-19 sebetulnya pernah membawa kita kepada cara-cara hidup yang mendatangkan kebaikan pada semesta.

Saat berbagai negara melakukan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSSB) sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona, saat itu pula ramai berseliweran foto-foto di jagad maya yang menampilkan langit yang sangat biru dan bersih. Termasuk di sejumlah kota besar di Indonesia.

Tak hanya langit biru nan cerah. Data AirVisual pada 07 April 2020 menunjukkan indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) di Jakarta berada di angka 37 alias bagus. Padahal, seperti yang kita ketahui, Jakarta adalah salah satu kota yang selama ini sangat tercemar udaranya. Sebagai informasi, rentang skor 0-50 bermakna kualitas udara bagus, 51-100 berarti moderat, 101-150 berarti udara tidak sehat bagi orang yang sensitif, 151-200 artinya tidak sehat, 201-300 maknanya sangat tidak sehat dan 301-500 ke atas menunjukkan keadaan yang berbahaya.

Birunya langit dan membaiknya kualitas udara selama masa pandemi diakibatkan oleh rendahnya tingkat mobilitas manusia khususnya dari segi penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak. Artinya, walaupun dengan keadaan terpaksa, ternyata kita mampu memperbaiki kerusakan alam---sesuatu yang selama ini kita anggap pekerjaan maha sulit!

Non-Motorized Transportation

Memang harus diakui, kebijakan lockdown atau PSSB punya konsekuensi. Keduanya harus dibayar mahal dengan tersendatnya roda perekonomian masyarakat. Rasanya agak mustahil jika semua kembali diterapkan 100%. Akan tetapi, setidak-tidaknya, masih ada yang bisa kita pertahankan yang akan sangat berguna bagi perbaikan lingkungan.

Kita bisa memulai aksi nyata dengan mengurangi kebiasaan menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak. Ini bukan hal yang mustahil. Selama pandemi khususnya ketika memasuki era new normal, demi meningkatkan imunitas tubuh agar tidak mudah terpapar virus corona, kita mulai melakukan rutinitas olahraga.

Jalan kaki dan bersepeda adalah dua aktivitas yang paling sering dilakukan. Laman-laman media sosial dipenuhi dengan postingan data dari smartwatch tentang jarak tempuh dan kalori yang dibakar. Ada yang mampu berjalan 5 hingga 10 kilometer. Ada pula yang sanggup bersepeda belasan hingga puluhan kilometer. Semua dilakukan hampir setiap hari. Dan tak sedikit orang yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi menuju tempat bekerja ketika fase new normal mulai berlaku demi menghindari kerumunan saat naik transportasi umum.

Sayangnya sekarang kebanyakan dari kita mulai menghentikan kebiasaan-kebiasaan baik itu. Berjalan kaki dan bersepeda dapat dikategorikan sebagai non-motorized transportation. Keduanya sudah pasti ramah lingkungan karena tidak bermesin dan tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

Di samping bisa menghemat ongkos transportasi dan biaya membeli BBM, berjalan kaki dan bersepeda sangat bermanfaat bagi kesehatan karena meningkatkan pergerakan tubuh. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa aktivitas fisik orang Indonesia, terutama di kota-kota besar masih begitu rendah. Itulah sebabnya mengapa banyak orang yang menderita penyakit non-infeksi seperti stroke, diabetes, hipertensi dan jantung.

Beralih ke Kendaraan Berbasis Listrik

Bersepeda atau berjalan kaki ke tempat kerja, ke kampus atau sekolah---untuk sebatas memberi contoh---tentu kurang realistis bila jarak tempuh terlalu jauh. Produktivitas dan efektivitas kinerja akan terganggu.

Selama ini, demi mengurangi polusi udara, himbauan menggunakan alat transportasi publik cukup marak disuarakan. Akan tetapi mengingat lapisan ozon yang kian menipis---jaraknya kini hanya tinggal 15-35 km di atas permukaan bumi (kompas.com)---kampanye pemakaian transportasi publik harus ditinjau ulang. Pasalnya, angkutan umum yang banyak beroperasi masih didominasi oleh kendaraan konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Data Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang lebih dari 50 persen emisi karbon di Indonesia (Seminar Nasional IKAXA 2023).

Opsi beralih ke kendaraan berbasis listrik (KBL) merupakan sebuah keniscayaan. Sepeda listrik, sepeda motor listrik, mobil listrik dan bus listrik sudah bukan pemandangan yang asing. KBL juga terbukti ramah lingkungan karena tidak menggunakan BBM sehingga sangat ideal untuk mendukung strategi-strategi Pemanfaatan Energi Berkelanjutan.

Selain demi mengurangi emisi karbon, penggunaan KBL punya keunggulan dari segi penghematan biaya charging. Sekadar memberi ilustrasi, untuk jarak tempuh 50 kilometer, sebuah sepeda motor listrik membutuhkan 1,2 kilowatt hour (kWh) atau setara dengan biaya charging sebesar Rp.2.500. Dengan jarak yang sama, sepeda motor konvensional memerlukan 1 liter BBM dengan biaya sekitar Rp.13.000. Jika dihitung-hitung, terdapat penghematan biaya mencapai 80 persen.

Meski demikian, harga KBL secara umum masih lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan berbasis BBM. Untuk menarik minat masyarakat, ada baiknya pemerintah memberikan insentif seperti kemudahan akses kredit sehingga konsumen mau beralih dari kendaraan konvensional. Selain itu, pemerintah dan pihak terkait harus berupaya agar baterai sebagai komponen utama KBL dapat diproduksi secara masal. Pasalnya, salah satu penyebab tingginya harga unit sebuah KBL adalah pada baterai.

Menghitung Jejak Karbon

Aspek yang tidak kalah penting yang setiap orang bisa lakukan adalah menghitung jejak karbon. Hari ini dengan kecanggihan internet, beranekaragam website menyediakan kalkulator karbon. Setiap rutinitas kita yang berkaitan dengan peralatan listrik seperti penggunaan AC, bola lampu, rice cooker, hair dryer---untuk sebatas menyebut contoh---dapat dihitung jumlah emisi karbon yang dihasilkan.

Dengan cara ini, kita bisa mengidentifikasi data jejak karbon yang kita hasilkan baik dalam kurun waktu per hari, per minggu atau per bulan. Data yang diperoleh dapat dijadikan bahan untuk melakukan refleksi bahwa, sadar atau tidak sadar, kita telah ikut merusak alam. Data itu juga akan membantu kita melakukan diet energi---mengurangi emisi karbon dengan mengurangi durasi pemakaian alat-alat listrik atau menggantinya dengan peralatan yang rendah emisi alias ramah lingkungan.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, data atas perhitungan jejak karbon juga memungkinkan untuk melakukan upaya tebus karbon (carbon offset) demi mengganti emisi karbon yang telah kita hasilkan. Ini sangat tepat bukan hanya dari segi per orangan tapi juga pada skala industri. Artinya dari jumlah emisi karbon yang selama ini telah dikeluarkan, kita bisa mendapatkan gambaran harus menanam berapa jumlah pohon untuk menebusnya. Bayangkan ketika pabrik-pabrik pada sektor industri diwajibkan untuk melacak emisi karbon mereka, lalu dibuat aturan hukum yang mewajibkan mereka untuk menanam pohon sebagai pengganti, bukankah bumi akan semakin hijau?

Kerusakan lingkungan disebabkan oleh ulah kita bersama. Oleh karena itu kita jugalah yang harus bergandengan tangan dengan kesadaran dan komitmen kolektif untuk memperbaikinya. Kita pasti bisa!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun