Mohon tunggu...
Deddy Kristian Aritonang
Deddy Kristian Aritonang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Medan

Pecinta Bahasa, Pendidikan, Sosial dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menanti Heroisme Sensus Pertanian 2023

16 Juni 2023   14:40 Diperbarui: 16 Juni 2023   15:11 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat berbagai industri strategis seperti pariwisata, maskapai penerbangan, manufaktur dan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) terjun bebas di masa pandemi Covid-19, industri pertanian muncul sebagai pahlawan ekonomi nasional. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal pertama di tahun 2020, sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebanyak 2,2%. Tren positif itu berlanjut di kuartal kedua, ketiga dan awal kuartal keempat masing-masing pada angka 2,16%, 2,59% dan 2,95%.

Jauh sebelum pandemi, kejadian mirip pernah terjadi pada krisis 1998. Amatilah data saat itu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13, 68%. Krisis perbankan begitu akut. Jumlah masyarakat miskin meningkat tajam. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat lemah. Namun, sektor pertanian tetap berdiri kokoh. Dan ibarat diguyur hujan emas, harga pangan di pasar internasional ketika itu melambung tinggi.

Dua fenomena ini---meski tak sepenuhnya identik---harus membuat kita sadar akan satu hal. Nyawa negeri ini ada di sektor pertanian! Ini bukan isapan jempol semata. 

Sejarah menjadi saksi bagaimana ngototnya Belanda dan Jepang menjajah dan tak mau melepaskan ibu pertiwi. Semua karena lahan pertanian kita yang tidak hanya luas tapi juga begitu subur. Maka tak berlebihan ketika Koes Plus dalam lagu 'Kolam Susu' memuji kekayaan alam Indonesia lewat penggalan lirik "Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan batu jadi tanaman."

Dengan kondisi geografis yang sangat menguntungkan itu seharusnya Indonesia bisa menjadi negara adidaya. Sayangnya kita belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 

Betapa tidak, sampai hari ini kita bahkan masih terus mengimpor beras---untuk sekadar memberi satu contoh sederhana dari kompleksnya masalah pertanian kita. 

Jumlahnya pun tak main-main: 2 juta ton untuk tahun 2023. Yang lebih ironis, impor beras terbesar Indonesia berasal dari dua negara tetangga: Thailand dan Vietnam. Luas wilayah kedua negara itu secara berturut-turut adalah 513, 120 km2 dan 331, 690 km2. Bandingkan dengan luas wilayah nusantara yang mencapai 1.922.570 km2. 

Sejumlah Masalah

Ada yang salah dengan tata kelola pertanian selama bertahun-tahun. Persoalan pertama misalnya perihal industri pertanian yang mengalami pertumbuhan positif di saat ekonomi terkontraksi -2,07% di masa pandemi. 

Saat itu, bahkan terjadi lonjakan penyerapan tenaga kerja pertanian hingga mencapai kisaran angka 5 juta jiwa. Masalahnya, ketika pandemi berakhir dan ekonomi berangsur-angsur pulih, jumlah tenaga kerja tadi menurun sebanyak 1,65 juta pada Agustus 2021. Kembalinya orang-orang yang sempat banting setir menjadi petani kepada profesi lama mereka ditengarai menjadi penyebab.

Fenomena ini semakin menguatkan sinisme terhadap pertanian. Bertani acap dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan dekat dengan kemiskinan. Anak petani tak berminat menjadi petani. Para petani pun enggan jika anak-anaknya meneruskan kiprah mereka. Orang-orang dengan latar belakang pendidikan di bidang pertanian juga setali tiga uang.

Hasil riset Lukas Bonar Nainggolan, peneliti di Lembaga Demografi Universitas Indonesia, misalnya, menunjukkan rendahnya keinginan mahasiswa IPB untuk berprofesi sebagai petani. Ini bukan soal gengsi semata. Rendahnya penghasilan, adanya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non-pertanian, ketimpangan penguasaan lahan yang dimonopoli segelintir orang dan sistem bagi hasil membuat para petani, terutama petani kecil dan petani gurem, terus menerus hidup di bawah garis kemiskinan.

Mengutip ucapan Presiden Jokowi, sekitar 75% petani kita berusia di atas 45 tahun. Ini ancaman serius dan semakin diperburuk oleh fakta bahwa para petani tua kurang adaptif terhadap pemanfaatan teknologi dalam pertanian. Semakin tua usia petani, produktivitasnya juga turut  menurun. Tanpa regenerasi petani yang berkesinambungan, ketahanan pangan negeri ini dalam bahaya.  

Persoalan lain adalah pertanian selalu diasosiasikan dengan padi. Maka tak heran jika kita begitu bergantung pada beras sebagai komoditas pangan utama. Orang Indonesia kebanyakan tidak akan mengaggap dirinya sudah makan jika belum menyantap nasi. Ini juga yang mungkin menjadi salah satu pemicu mengapa kita masih terus mengimpor beras.

Padahal negeri ini kaya akan umbi-umbian sebagai pangan alternatif. Kandungan karbohidratnya pun boleh dikatakan tidak terlalu berbeda dengan nasi. Ubi kayu, ubi jalar, singkong, talas, gembili, sukun dan  kentang dibudidayakan dengan cara yang relatif mudah dan dengan biaya relatif murah (low cost). 

Jika umbi-umbian belum cukup, masih ada opsi tambahan lain yaitu jagung. Dan yang tak kalah penting, sumber-sumber pangan alternatif ini diyakini lebih menyehatkan ketimbang nasi. Lihat saja orang-orang yang menjalani diet. Dokter menyarankan mereka mengganti nasi dengan umbi-umbian dan jagung untuk menurunkan berat badan dan menjaga kadar gula darah.

The New Oil

Karena itulah mengapa Presiden Jokowi menggagas Sensus Pertanian 2023 (ST 2023) yang secara teknis dilaksanakan oleh BPS mulai 01 Juni 2023 hingga 31 Juli 2023. Sebelumnya sensus pertanian sudah pernah berlangsung di tahun 1963, 1973, 1983, 1993, 2003 dan 2013. Namun ada yang berbeda pada ST 2023 yang menumbuhkan harapan dan optimisme terhadap kebangkitan industri pertanian kita.

Pertama, metode pengambilan data dilakukan berbasis teknologi canggih, sesuai rekomendasi FAO seperti Paper Assisted Personal Interviewing (PAPI), Computer Assisted Personal Interviewing (CAPI), dan Computer Assisted Web Interviewing (CAWI). 

Kedua, cakupan sektor yang akan didata lebih spesifik yakni tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan jasa pertanian. 

Ketiga, ST 2023 menyasar pada tiga jenis usaha pertanian yaitu Usaha Pertanian Perorangan (UTP), Usaha Pertanian Lainnya (UTL) dan Usaha Perusahaan Pertanian Berbadan Hukum (UPB). Artinya, seluruh representasi pelaku sektor pertanian akan terjaring tanpa terkecuali. 

Keempat, ST 2023 turut menggali data terkait persoalan-persoalan pertanian yang relatif baru atau belum muncul sebelumnya, seperti urban farming, petani milenial dan modernisasi teknologi pertanian. 

Kelima, sebanyak 190 ribu petugas sensus diseleksi secara ketat, telah mengikuti pelatihan intensif dan dikerahkan ke seluruh wilayah pertanian di Indonesia.

Keakuratan data ST 2023 akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah untuk sektor pertanian.  Soal data ini, kita tidak boleh menganggap remeh. 

Para ilmuan dan pakar di negara-negara maju menyebut "Data in the 21st Century is like Oil in the 18th Century: an immensely, untapped valuable asset." (Data di abad ke-21 seperti minyak pada abad ke-18: sebuah aset besar yang sangat berharga dan belum dimanfaatkan).

Maka tak heran jika Presiden Jokowi juga menyebut data sebagai 'the new oil' atau minyak baru.  Bagi pemerintah, data ST 2023 dapat digunakan untuk memonitor serta mengevaluasi program-program pertanian yang telah berjalan, menghadirkan solusi-solusi konkrit terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi seluruh pelaku usaha pertanian, dan sebagai rujukan untuk peningkatan mutu sensus-sensus selanjutnya di masa mendatang.

Para petani, terutama petani milenial, juga akan turut merasakan manfaatnya. Meski jumlahnya masih relatif sedikit, asa regenerasi petani ada di tangan para petani muda ini. 

Berbekal data ST 2023 yang dikombinasikan dengan pemanfaatan artificial intelligence (kecerdasan buatan), mereka diproyeksikan untuk dapat merancang aplikasi data guna memprediksi pola dan tren pertanian modern sekaligus melakukan deteksi dini terhadap resiko bisnis pertanian di masa mendatang.

Dalam dua bulan ini, 'pahlawan-pahlawan' sensus akan bergerilya ke seluruh penjuru tanah air. Mereka tak hanya sedang bertugas, tapi juga turut langsung dalam upaya menyelamatkan pertanian kita. 

Mari saling mendukung. Seluruh pelaku usaha pertanian yang menjadi sampel sensus harus mau memberikan data secara benar dan dengan penuh kejujuran. Begitu juga sebaliknya. Data yang telah diperoleh para petugas sensus harus terjamin kerahasiaannya, dan jangan sampai disalahgunakan mengingat tahun depan adalah tahun politik.  

Penulis adalah guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan anak petani ubi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun