Fenomena ini semakin menguatkan sinisme terhadap pertanian. Bertani acap dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan dekat dengan kemiskinan. Anak petani tak berminat menjadi petani. Para petani pun enggan jika anak-anaknya meneruskan kiprah mereka. Orang-orang dengan latar belakang pendidikan di bidang pertanian juga setali tiga uang.
Hasil riset Lukas Bonar Nainggolan, peneliti di Lembaga Demografi Universitas Indonesia, misalnya, menunjukkan rendahnya keinginan mahasiswa IPB untuk berprofesi sebagai petani. Ini bukan soal gengsi semata. Rendahnya penghasilan, adanya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non-pertanian, ketimpangan penguasaan lahan yang dimonopoli segelintir orang dan sistem bagi hasil membuat para petani, terutama petani kecil dan petani gurem, terus menerus hidup di bawah garis kemiskinan.
Mengutip ucapan Presiden Jokowi, sekitar 75% petani kita berusia di atas 45 tahun. Ini ancaman serius dan semakin diperburuk oleh fakta bahwa para petani tua kurang adaptif terhadap pemanfaatan teknologi dalam pertanian. Semakin tua usia petani, produktivitasnya juga turut  menurun. Tanpa regenerasi petani yang berkesinambungan, ketahanan pangan negeri ini dalam bahaya. Â
Persoalan lain adalah pertanian selalu diasosiasikan dengan padi. Maka tak heran jika kita begitu bergantung pada beras sebagai komoditas pangan utama. Orang Indonesia kebanyakan tidak akan mengaggap dirinya sudah makan jika belum menyantap nasi. Ini juga yang mungkin menjadi salah satu pemicu mengapa kita masih terus mengimpor beras.
Padahal negeri ini kaya akan umbi-umbian sebagai pangan alternatif. Kandungan karbohidratnya pun boleh dikatakan tidak terlalu berbeda dengan nasi. Ubi kayu, ubi jalar, singkong, talas, gembili, sukun dan  kentang dibudidayakan dengan cara yang relatif mudah dan dengan biaya relatif murah (low cost).Â
Jika umbi-umbian belum cukup, masih ada opsi tambahan lain yaitu jagung. Dan yang tak kalah penting, sumber-sumber pangan alternatif ini diyakini lebih menyehatkan ketimbang nasi. Lihat saja orang-orang yang menjalani diet. Dokter menyarankan mereka mengganti nasi dengan umbi-umbian dan jagung untuk menurunkan berat badan dan menjaga kadar gula darah.
The New Oil
Karena itulah mengapa Presiden Jokowi menggagas Sensus Pertanian 2023 (ST 2023) yang secara teknis dilaksanakan oleh BPS mulai 01 Juni 2023 hingga 31 Juli 2023. Sebelumnya sensus pertanian sudah pernah berlangsung di tahun 1963, 1973, 1983, 1993, 2003 dan 2013. Namun ada yang berbeda pada ST 2023 yang menumbuhkan harapan dan optimisme terhadap kebangkitan industri pertanian kita.
Pertama, metode pengambilan data dilakukan berbasis teknologi canggih, sesuai rekomendasi FAO seperti Paper Assisted Personal Interviewing (PAPI), Computer Assisted Personal Interviewing (CAPI), dan Computer Assisted Web Interviewing (CAWI).Â
Kedua, cakupan sektor yang akan didata lebih spesifik yakni tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan jasa pertanian.Â
Ketiga, ST 2023 menyasar pada tiga jenis usaha pertanian yaitu Usaha Pertanian Perorangan (UTP), Usaha Pertanian Lainnya (UTL) dan Usaha Perusahaan Pertanian Berbadan Hukum (UPB). Artinya, seluruh representasi pelaku sektor pertanian akan terjaring tanpa terkecuali.Â