Kelompok bersenjata di Kongo kembali membuat dunia gempar. Pada pertengahan November 2023 yang lalu, kelompok bersenjata tersebut menyerang sebuah desa dan dengan tanpa rasa kemanusiaan membunuh 19 penduduk desa tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan 450.000 orang telah mengungsi ke Provinsi Kivu Utara.
Terkait hal tersebut, bagaimana dan kemana arah politik luar negeri Indonesia, terutama dalam menanggapi konflik ini?
Politik Luar Negeri Indonesia "Bebas Aktif"
Seperti yang telah kita ketahui, politik luar negeri Indonesia menganut prinsip “bebas aktif”, yang berarti bahwa Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam hubungan internasional dengan bersikap netral, tanpa adanya keberpihakan terhadap salah satu blok ataupun ideologi tertentu.
Dalam sejarahnya, prinsip “bebas aktif” dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, terutama selama masa Perang Dingin, dengan menjaga jarak dengan kekuatan luar dan mencegah adanya campur tangan dari blok tertentu. Selain itu, Prinsip ini juga telah berpengaruh dalam membentuk kebijakan luar negeri Indonesia dan telah digunakan oleh para pembuat kebijakan dari masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Komitmen Indonesia Dalam Mempromosikan Perdamaian
Dalam konteks perdamaian dunia, Indonesia secara konsisten telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga stabilitas dan perdamaian global. Hal ini terlihat dari partisipasi aktif Indonesia dalam misi pemeliharaan perdamaian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mencerminkan dedikasi Indonesia dalam menegakkan perdamaian dan keamanan global. Lalu, Kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia yang didasari oleh prinsip “bebas aktif” juga memainkan peran konstruktif dalam lembaga-lembaga internasional dan keterlibatan Indonesia dalam upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik dan mempromosikan perdamaian.
Komitmen Indonesia dalam menegakkan perdamaian juga terlihat dari keterlibatannya dalam menangani konflik yang terjadi di Kongo. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara aktif berpartisipasi dalam mempromosikan perdamaian, Indonesia telah terlibat dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan resolusi konflik di Kongo melalui partisipasinya dalam misi-misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Upaya-upaya tersebut dilakukan guna menjaga keamanan, membantu pemulihan pascakonflik, serta memberikan bantuan kemanusiaan di daerah yang terkena dampak konflik tersebut.
Lantas, apa saja upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam menangani konflik yang terjadi di Kongo? Kebijakan luar negeri apa yang mendasari upaya-upaya tersebut?
Sebelum membahas hal-hal di atas, perlu adanya pemahaman mendalam mengenai sejarah konflik yang terjadi di Kongo. Apa yang menyebabkan konflik berkepanjangan ini terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya?
Penyebab Konflik di Kongo
Konflik di Kongo dimulai pada Perang Kongo Pertama (1996--1997), yang menyebabkan kematian sekitar 6 juta orang di wilayah timur Kongo. Saat Genosida Rwanda (1994), kelompok etnis Hutu membunuh sekitar 1 juta orang Tutsi dan Hutu moderat di Rwanda, dan 2 juta pengungsi Hutu melintasi perbatasan ke Kongo, menetap di kamp-kamp pengungsian di provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan. Setelah kemenangan Rwandan Patriotic Front (RPF) atas pemerintahan yang melakukan genosida, Rwanda, yang kini dipimpin oleh suku Tutsi, menginvasi Zaire (nama sebelumnya Kongo). Presiden Rwanda, Paul Kagame, menyatakan bahwa Hutu di Kongo masih merupakan ancaman, dan kemudian memulai Perang Kongo Pertama dengan dukungan dari Uganda, Angola, dan Burundi.
Perang Kongo Kedua terjadi pada tahun 1998, di mana pasukan Kongo yang didukung oleh Angola, Namibia, dan Zimbabwe melawan pasukan Rwanda, Uganda, dan Burundi. Perang berakhir pada tahun 2002 dengan total 3 juta orang tewas dan dampak kemanusiaan yang parah. Meskipun Rwanda, Uganda, dan Kongo mencapai perjanjian perdamaian, organisasi pemberontak bersenjata M23 muncul selama upaya gencatan senjata, terutama di timur Kongo pada tahun 2012. Pemerintah Kongo menuduh Rwanda mendukung M23, memperburuk hubungan antara kedua negara. Pada tahun 2013, pasukan MONUSCO (UN Organization Stabilization Mission in the Congo) memberikan dukungan kepada tentara Kongo dalam melawan M23.
Kondisi Terkini di Kongo
Pada Sabtu, 24 November 2023, PBB melaporkan adanya konflik antara kelompok bersenjata dan pasukan pemerintah, menyebabkan lebih dari 450.000 orang mengungsi dalam waktu 6 minggu terakhir di wilayah Rutshuru dan Masisi di provinsi Kivu Utara. Di kota Sake, dekat ibu kota provinsi Goma, para pria bahkan rela mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan. Wanita juga menghadapi ancaman pemerkosaan saat mengumpulkan kayu bakar.
Laporan UNHCR menyatakan bahwa pemerkosaan, pembunuhan sewenang-wenang, penculikan, pemerasan, dan penghancuran harta benda terjadi bersamaan, menggambarkan pola penyiksaan yang sangat mengkhawatirkan terhadap penduduk sipil. Pada Kamis, 9 November 2023, France24 melaporkan bahwa bentrokan antara M23 dan tentara Kongo sudah terjadi sejak awal Oktober di provinsi Kivu Utara. MONUSCO bersama Angkatan Bersenjata Kongo meluncurkan Operasi Springbok pada Senin, 13 November 2023, untuk menghentikan pergerakan M23.
Al-Jazeera juga melaporkan pada hari yang sama bahwa kelompok bersenjata membunuh 19 penduduk desa di timur Kongo. Warga lainnya melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Lamia menuju Uganda. Menurut militer Kongo, serangan di Beni, Watalinga, dilakukan oleh Allied Democratic Forces (ADF), kelompok bersenjata di timur Kongo yang telah berbaiat kepada ISIS.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menyikapi Konflik Kongo
Indonesia telah berpartisipasi dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik di Kongo melalui keterlibatan pasukannya dalam misi perdamaian PBB. Pasukan tersebut biasanya merupakan bagian dari Satuan Tugas Garuda, yang dikirimkan dalam konteks Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Keterlibatan Indonesia dalam misi ini adalah bagian dari komitmen sebagai anggota PBB dan upaya untuk mendukung stabilitas dan perdamaian internasional. Pasukan Indonesia yang terlibat di Kongo berperan dalam menjaga keamanan, membantu pemulihan pasca-konflik, dan memberikan bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak konflik.
Berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 37 tahun 1999 mengenai Hubungan Luar Negeri, kewenangan pengiriman Satgas TNI Konga dalam misi pemeliharaan perdamaian dunia adalah implementasi dari kebijakan politik dan strategi nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden, dengan persetujuan DPR. Presiden menetapkan kebijakan ini sebagai dasar untuk memobilisasi sumber daya nasional, terutama kekuatan militer dan kualitas diplomasi negara di tingkat internasional. Proses perencanaan dan penyiapan Pasukan perdamaian PBB dimulai dari tataran strategis sebagai keputusan politik Negara, yang diwujudkan dalam bentuk Undang-undang yang dijabarkan dalam peraturan di bawahnya.
Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2015, yang mengatur Pengiriman Misi Perdamaian Dunia, dan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2016 tentang Kebijakan Pengiriman Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian Dunia, adalah implementasi konkret dari kebijakan ini. Pada tataran operasional, Perpang Nomor 60 tahun 2018 mengenai penugasan Prajurit TNI dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian Dunia perlu direformulasi sesuai dengan perkembangan Panduan Operasional Persiapan Kesiapan Tempur bagi Negara-negara Penyumbang Pasukan dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB.
Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa arah politik luar negeri Indonesia terhadap konflik di Kongo berfokus pada pembuatan kebijakan tentang pengiriman pasukan perdamaian melalui Satuan Tugas Garuda. Melalui kebijakan ini diharapkan Indonesia dapat membantu mengurangi panas konflik di Kongo serta dapat membantu dari segi kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H