Mohon tunggu...
Decy Iraya
Decy Iraya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Kongo Semakin Memanas, ke Mana Arah Politik Luar Negeri Indonesia?

6 Desember 2023   14:12 Diperbarui: 7 Desember 2023   13:15 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Kongo dimulai pada Perang Kongo Pertama (1996--1997), yang menyebabkan kematian sekitar 6 juta orang di wilayah timur Kongo. Saat Genosida Rwanda (1994), kelompok etnis Hutu membunuh sekitar 1 juta orang Tutsi dan Hutu moderat di Rwanda, dan 2 juta pengungsi Hutu melintasi perbatasan ke Kongo, menetap di kamp-kamp pengungsian di provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan. Setelah kemenangan Rwandan Patriotic Front (RPF) atas pemerintahan yang melakukan genosida, Rwanda, yang kini dipimpin oleh suku Tutsi, menginvasi Zaire (nama sebelumnya Kongo). Presiden Rwanda, Paul Kagame, menyatakan bahwa Hutu di Kongo masih merupakan ancaman, dan kemudian memulai Perang Kongo Pertama dengan dukungan dari Uganda, Angola, dan Burundi.

Perang Kongo Kedua terjadi pada tahun 1998, di mana pasukan Kongo yang didukung oleh Angola, Namibia, dan Zimbabwe melawan pasukan Rwanda, Uganda, dan Burundi. Perang berakhir pada tahun 2002 dengan total 3 juta orang tewas dan dampak kemanusiaan yang parah. Meskipun Rwanda, Uganda, dan Kongo mencapai perjanjian perdamaian, organisasi pemberontak bersenjata M23 muncul selama upaya gencatan senjata, terutama di timur Kongo pada tahun 2012. Pemerintah Kongo menuduh Rwanda mendukung M23, memperburuk hubungan antara kedua negara. Pada tahun 2013, pasukan MONUSCO (UN Organization Stabilization Mission in the Congo) memberikan dukungan kepada tentara Kongo dalam melawan M23.

Kondisi Terkini di Kongo

Pada Sabtu, 24 November 2023, PBB melaporkan adanya konflik antara kelompok bersenjata dan pasukan pemerintah, menyebabkan lebih dari 450.000 orang mengungsi dalam waktu 6 minggu terakhir di wilayah Rutshuru dan Masisi di provinsi Kivu Utara. Di kota Sake, dekat ibu kota provinsi Goma, para pria bahkan rela mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan. Wanita juga menghadapi ancaman pemerkosaan saat mengumpulkan kayu bakar.

Laporan UNHCR menyatakan bahwa pemerkosaan, pembunuhan sewenang-wenang, penculikan, pemerasan, dan penghancuran harta benda terjadi bersamaan, menggambarkan pola penyiksaan yang sangat mengkhawatirkan terhadap penduduk sipil. Pada Kamis, 9 November 2023, France24 melaporkan bahwa bentrokan antara M23 dan tentara Kongo sudah terjadi sejak awal Oktober di provinsi Kivu Utara. MONUSCO bersama Angkatan Bersenjata Kongo meluncurkan Operasi Springbok pada Senin, 13 November 2023, untuk menghentikan pergerakan M23.

Al-Jazeera juga melaporkan pada hari yang sama bahwa kelompok bersenjata membunuh 19 penduduk desa di timur Kongo. Warga lainnya melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Lamia menuju Uganda. Menurut militer Kongo, serangan di Beni, Watalinga, dilakukan oleh Allied Democratic Forces (ADF), kelompok bersenjata di timur Kongo yang telah berbaiat kepada ISIS.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menyikapi Konflik Kongo

Indonesia telah berpartisipasi dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik di Kongo melalui keterlibatan pasukannya dalam misi perdamaian PBB. Pasukan tersebut biasanya merupakan bagian dari Satuan Tugas Garuda, yang dikirimkan dalam konteks Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Keterlibatan Indonesia dalam misi ini adalah bagian dari komitmen sebagai anggota PBB dan upaya untuk mendukung stabilitas dan perdamaian internasional. Pasukan Indonesia yang terlibat di Kongo berperan dalam menjaga keamanan, membantu pemulihan pasca-konflik, dan memberikan bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak konflik.

Berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 37 tahun 1999 mengenai Hubungan Luar Negeri, kewenangan pengiriman Satgas TNI Konga dalam misi pemeliharaan perdamaian dunia adalah implementasi dari kebijakan politik dan strategi nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden, dengan persetujuan DPR. Presiden menetapkan kebijakan ini sebagai dasar untuk memobilisasi sumber daya nasional, terutama kekuatan militer dan kualitas diplomasi negara di tingkat internasional. Proses perencanaan dan penyiapan Pasukan perdamaian PBB dimulai dari tataran strategis sebagai keputusan politik Negara, yang diwujudkan dalam bentuk Undang-undang yang dijabarkan dalam peraturan di bawahnya.

Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2015, yang mengatur Pengiriman Misi Perdamaian Dunia, dan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2016 tentang Kebijakan Pengiriman Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian Dunia, adalah implementasi konkret dari kebijakan ini. Pada tataran operasional, Perpang Nomor 60 tahun 2018 mengenai penugasan Prajurit TNI dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian Dunia perlu direformulasi sesuai dengan perkembangan Panduan Operasional Persiapan Kesiapan Tempur bagi Negara-negara Penyumbang Pasukan dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB.

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa arah politik luar negeri Indonesia terhadap konflik di Kongo berfokus pada pembuatan kebijakan tentang pengiriman pasukan perdamaian melalui Satuan Tugas Garuda. Melalui kebijakan ini diharapkan Indonesia dapat membantu mengurangi panas konflik di Kongo serta dapat membantu dari segi kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun