Padahal partai oposisi bukan hanya PSI (8 Kursi) dan PDIP (25 Kursi) saja. pada laman wikipedia partai oposisi (52 kursi) berjumlah enam partai, diantaranya : partai Nasdem (7 Kursi), PKB (5 Kursi), Golkar (6 Kursi) dan PPP (1 Kursi).
Partai koalisi (di dalam pemerintahan) terdiri dari tiga partai (44 kursi), Partai PKS(16 Kursi), Gerindra (19 Kursi) dan PAN (9 Kursi) . Sementara itu partai Demokrat (10 Kursi), sebagai partai netral.
Melihat dari komposisi DPRD DKI Jakarta, sudah seyogyanya hak DPRD DKI Jakarta untuk meminta keterangan (Hak Interplasi) kepada Gubernur DKI Jakarta, terkait kebijakan yang dikritisi oleh Giring PSI tersebut. kemudian mendapat persetujuan di Rapat Paripurna, karna telah berjumlah lebih dari 1/2 (setengah) dari jumlah anggota DPRD DKI Jakarta yang akan dapat menghadiri Rapat Paripurna tersebut. (Hak Interplasi DPRD DKI Jakarta, dapat di rujuk pada Peraturan DPRD DKI Jakarta, nomor 1 Tahun 2014, Tentang Tata Tertib DPRD DKI Jakarta)Â
Tetapi pada realitanya, komposisi tersebut berbanding terbalik, dari partai oposisi berbalik menjadi partai koalisi, hanya partai PDIP dan PSI (33 kursi) saja, yang konsisten dengan keberadaannya sebagai partai oposisi, yang mengusulkan hak meminta keterangan, dan dapat menghadiri rapat paripurna.
Itu artinya partai oposisi yang tidak menghadiri rapat paripurna, untuk meminta keterangan dari gubernur DKI Jakarta, mengenai kebijakan strategis terkait ketersediaan sirkuit ajang balap mobil formula E yang sumber dananya, menggunakan dana dari cucur keringat warga DKI Jakarta, dianggap oleh mereka tidak perlu dimintai keterangan, atau mungkin belum tiba waktunya.Â
Inilah bukti. bahwasanya, dalam dunia politik, tidak dapat dilihat tegak lurus. Karna dalam dunia politik, tidak ada musuh dan kawan yang abadi. serta merupakan hasil dari manuver politik Anis Baswedan.Â
Namun, kemunculan tanda tanya besar dari publik mengenai keberadaan dan ketersediaan sirkuit ajang balap mobil formula E tersebut, tidak hanya berawal dari kritisasi dari PDIP dan PSI saja, dari mundurnya sejumlah pejabat strategis PT. Jakarta porpertindo (Jakpro) telah menimbulkan pertanyaan publik.Â
Terhitung dari Bulan Agustus 2021 hingga Januari 2022, sudah ada lima pejabat tinggi Jakpro yang mengundurkan diri.
Pada bulan Agustus tahun 2021 Dwi Wahyu Daryoto, Dirut (Direktur Utama) Jakpro, Direktur Pengembangan Bisnis Jakpro, Moh. Hanief Arie Setianto, dan Komisaris Jakpro, Hadi Prabowo. Menyatakan pengunduran diri.Â