Pada esensinnya pemberi kerja dan pekerja ini adalah dua hal yang saling berkaitan, pemberi kerja tanpa ditopang oleh pekerja secara maksimal maka aset mereka tidak akan berkembang, pekerja tanpa pemberi kerja maka tidak akan ada sumber penghasilan.
Sebuah hubungan yang saling menguntungkan antara satu sama lain, seperti bunga dan lebah.
Dimana lebah dapat memperoleh makanan dari bunga yang berupa nektar dan madu, sementara bunga mendapatkan keuntungan karena proses penyerbukanya dibantu oleh lebah.
Bagaikan burung jalak dengan kerbau, dimana burung jalak memperoleh makanan dari Kutu-kutunya kerbau, sementara itu kerbau mendapatkan keuntungan karena Kutu-kutunya bersih dimakan oleh burung jalak tersebut.
Seperti itulah hubungan yang sebenarnya antara pemberi kerja dan pekerja yang seharusnya terjadi.
Namun polemik disharmonisasi hubungan antara pemberi kerja dan pekerja masih sering terjadi dan sangatlah beragam. misalnya, terkait dengan upah yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja, menurut para pekerja jauh dari pada kebutuhan hidup yang layak.
Berbeda pula dari sudut pandang dan perhitungan dari kelompok pemberi kerja. pemberi kerja yang memiliki suatu usaha, tentunya mengharapkan suatu keuntungan dari usaha yang dilakukan, pendapatan kotor dari usaha pemberi kerja ini bukan Semata-mata untuk membayar upah pekerjanya. masih banyak lagi beban-beban pengeluaran yang harus dikeluarkan, termasuk pengeluaran pembayaran beban pajak, dan lain sebagainya, demi untuk menopang pertumbuhan ekonomi Negara.
Di dalam Negara yang demokratis ini, tentu saja setiap warga negaranya memiliki kebebasan berpendapat, negara tidak mengekang warga negaranya untuk menyampaikan pendapat mereka secara lisan maupun dalam bentuk tulisan, namun semuanya itu memiliki Batasan-batasan yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang (UU). bukan berarti kebebasanya yang Sebebas-bebasnya, "berdemokrasi namun tetap mengenggam konstitusi".
Oleh sebab itulah, pemerintah menciptakan kebijakan publik yang berwujud Peraturan Perundang-Undangan untuk melindungi, serta menjaga. hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja.
Kebijakan publik yang berwujud Peraturan Perundangan-Undangan terkait dengan Ketenagakerjaan, antara lain : Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada BAB IV SUB BAB ; Ketenagakerjaan.
Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (PERMENAKER) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.Â
Dari sekian banyaknya produk kebijakan ketenagakerjaan yang mengikat bagi semua pihak ini, sudah barang tentu tidak cukup hanya produk kebijakanya saja yang baik dan unggul di atas kertas, konsistensi kebijakan ketenagakerjaan sangat tergantung pada keberhasilan para implementatornya, normatif yang wajib diimplementasikan pada kenyataan.
Pada tataran pelaksanaan normatif, tentunya tidak terlepas dari peran dan fungsi implementator kebijakan tersebut, dari fungsi pembinaan dan pengawasan pejabat terkait, agar normatif kebijakan ketenagakerjaan dapat berjalan sesuai dengan sasaran dan tujuan kebijakan ketenagakerjaan tersebut. karna esensinya kebijakan tersebut harus memberikan dampak yang positif bagi yang terkait, melindungan Hak-hak antara pekerja dan pemberi kerja, dapat memberikan solusi untuk pemberi kerja dan pekerja.
Kesimpulanya : fungsi pengawasan normatif terkait dalam bidang ketenagakerjaan sudah semestinya wajib dilakukan secara maksimal/optimal. Mengutamakan kepentingan dan tujuan daripada apa yang sudah menjadi normatif yang mengikat itu, bukan kepentingan dan tujuan dari pada pemangku kepentingan atau kepentingan dari beberapa kelompok orang yang memiliki kepentingan tersebut, demi terciptanya hamonisasi hubungan industrial bukan dishamonisasi hubungan industrial.
Jangan sampai kebijakan yang unggul tersebut, gagal dalam pelakasanaan yang disebabkan oleh kegagalan implementatornya dalam merumuskan, mengawasi, mengkoordinasikan, mengevaluasi dan mengimplementasikan Kebijakan publik yang berwujud Peraturan Perundangan-Undangan Ketenagakerjaan ini.
Kebijakanya sudah ada, sudah jelas, tujuanya menjadi penengah antara pemberi kerja dan pekerja. diawasi seperti apa pelaksanaanya dilapangan, jika ditemukan inkonsistensi normatif dapat ditindaklanjuti mengikuti Ketentuan-ketentuan normatif yang sudah mengikat bagi para pihak tersebut, dapat juga dilakukan upaya paksa.
Namun jika dalam pelaksanaanya masih terjadi ketidoptimalan pengawasan normatif, yang tentunya sudah menjadi tanggungjawab pejabat pengawasan ini, dengan indikator disebakan oleh minimnya jumlah pejabat pengawas. "tentu sebuah alasan klasik". Kekurangan formasi dalam lembaga publik tersebut, secara tatanan dapat diajukan kepada pemerintahan terkait. Â Agar kekurangan kuantitas di dalam formasi tersebut dapat di isi oleh Orang-orang lulus dalam penyeleksian yang selektif. Menunggu laporan dari para pekerja atau pemberi kerja yang menjadi korban inkonsistensi normatif ketenagakerjaan, bukanlah merupakan indikator pengukuran kinerja pejabat pengawas, bukanlah pula merupakan tugas dan tanggung jawab implementator kebijakan ketenagakerjaan yang sesungguhnya.
Karna keberhasilan daripada implementasi suatu kebijakan, merupakan hasil dari kinerja para implementator yang unggul secara kualitas, dan integritas. mampu mencari dan menemukan suatu permasalah yang tengah terjadi antara pekerja dan pemberi kerja. mampu mencari dan menemukan inkonsistensi dari normatif yang sudah mengikat bagi para pihak tersebut, bukan hanya menuggu laporan diduga adanya indikasi inkonsistensi normatif kebijakan ketenagakerjaan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H