PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut catatan sejarah, sejak zaman dulu Hong Kong adalah bagian dari wilayah kekuasaan dinasti-dinasti Tiongkok. Dalam skala lebih kecil, Hong Kong berada di bawah berbagai pemerintahan mulai dari Prefektur Nanhai sampai Prefektur Guangzhou di era Dinasti Qing. Ketika Dinasti Qing berkuasa pada abad 19 inilah kedudukan Hong Kong mulai goyah. Ini berawal saat Inggris dan Tiongkok tidak sepakat mengenai perdagangan teh. Pemerintah Tiongkok ingin Inggris membayar teh dari mereka dengan emas. Sedangkan Ratu Victoria yang naik takhta menolaknya.
Penolakan tersebut berujung pada kebijakan Inggris untuk mengekspor paksa opium dari India, yang saat itu di bawah kekuasaan Ratu Victoria, ke Tiongkok dengan harapan ditukarkan dengan teh. Ini berlangsung dengan cara ilegal sebab pemerintah Tiongkok tidak menyetujuinya. Tiongkok tak menerima kebijakan Inggris karena banyak rakyat di sana yang kecanduan opium, termasuk militer. Dinasti Qing otomatis berniat untuk menghentikan aliran opium ke dalam negeri. Salah satu caranya adalah pembakaran sekitar 20.000 paket opium pada 1839. Langkah ini mengakibatkan Inggris ingin membalas dendam dengan melancarkan invasi ke Tiongkok.
Hong Kong pun akhirnya jatuh ke tangan Inggris ketika Perang Opium terjadi pada 1839 sampai 1842. Karena letak geografis Hong Kong yang strategis, Inggris menjadikannya sebagai markas militer. Perang ini berakhir dengan kekalahan Tiongkok dan melalui Perjanjian Nanjing Hong Kong "dipinjamkan" ke Inggris. Melalui sejumlah perjanjian, salah satunya adalah pada 1898, Hong Kong berada di bawah penguasaan Inggris sampai 99 tahun hingga 30 Juni 1997. Dengan begini, Hong Kong tidak mengadopsi peraturan Tiongkok, melainkan dari Inggris, mulai dari pemerintahan hingga sistem hukum.
Banyak cara yang coba ditempuh oleh Tiongkok untuk mengambil kembali pulau tersebut. Pemimpin Tiongkok, Zhou Enlai, misalnya pada 1954 menegaskan bahwa "sebagian besar rakyat Hong Kong adalah rakyat Tiongkok". Namun, seperti yang tercantum dalam publikasi peringatan 15 tahun reunifikasi Hong Kong dan Tiongkok, Zhou berpendapat waktunya belum tepat untuk membuat Hong Kong kembali ke "pangkuan Ibu Pertiwi".
Hampir dua dekade kemudian, pemerintah Tiongkok menyatakan lagi bahwa Hong Kong dan Tiongkok adalah satu. Contohnya pada 10 Maret 1972, Perwakilan Permanen Tiongkok untuk PBB, Huang Hua, mengirimkan surat kepada pimpinan Komite Spesial PBB Urusan Dekolonialisasi. Isinya adalah bahwa Hong Kong "merupakan teritori Tiongkok yang diokupasi oleh Pemerintah Inggris" dan masalah ini "seluruhnya ada di dalam kedaulatan Tiongkok". Beijing ingin menyampaikan pesan PBB agar tak ikut campur. Di era ini, posisi Amerika Serikat adalah mengakui Tiongkok sebagai "satu negara" yang berkuasa atas Hong Kong. Tiongkok pun membuka hubungan diplomatik dengan Inggris.
Dengan normalisasi hubungan antara Tiongkok dan Inggris, kedua negara membuat Deklarasi Bersama Sino-Inggris pada 1984. Inggris meminta sebagai ganti pengembalian Hong Kong dengan cara damai, maka Tiongkok harus "mempertahankan sistem ekonomi dan sosial serta gaya hidup untuk 50 tahun mendatang". Pemerintah di Beijing pun sepakat dengan ini. Dua tahun sebelumnya, pemimpin Tiongkok, Deng Xiaoping sudah mengusulkan ide "One Country, Two Systems" yang memungkinkan Hong Kong mempunyai regulasi berbeda. Padahal Tiongkok selalu menekankan bahwa semua kontrol terpusat di Beijing. Dengan sistem baru, Tiongkok membentuk Hong Kong sebagai wilayah administrasi khusus (Hong Kong Special Administrative Region).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
Bagaimana perkembangan ekonomi Hong Kong jika ditinjau dari Kebijakan "One Country, Two Systems"?