Mohon tunggu...
Deborah Kristianti
Deborah Kristianti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran

blessed and forever grateful ✨

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Problematika Aksesibilitas Pendidikan pada Pandemi COVID-19

15 Juni 2020   03:30 Diperbarui: 15 Juni 2020   03:33 1956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang sudah selayaknya didapatkan oleh masing-masing individu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berisi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dengan sangat jelas memberikan makna bahwa setiap masyarakat secara tak terkecuali berhak untuk memeroleh pendidikan yang layak.

Dilansir dari data hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA), pada tahun 2018, Indonesia berada pada urutan bawah ketimbang negara-negara lain di dunia, terkait dengan kompetensi pendidikan. PISA merupakan metode penilaian internasional yang berperan sebagai indikator kompetensi siswa Indonesia pada tingkat global. Penilaian kompetensi siswa diukur dari aspek membaca, yang mana Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara, kemampuan matematika pada posisi ke-72 dari 78 negara, dan sains di posisi ke-70 dari 78 negara, stagnan selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, 20% dari APBN Indonesia (sebesar 505,8 triliun Rupiah) dialokasikan untuk pendidikan (databoks.katadata.co.id, 2020).

Kedua fakta di atas menunjukkan bahwa pengalokasian belanja negara yang sudah tergolong cukup besar masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan, seperti kompetensi siswa. Menurut KBBI, kompetensi merupakan kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. Tidak hanya terkait dengan kompetensi siswa yang perlu menjadi perhatian, tapi juga mengenai aksesibilitas.

Aksesibilitas merujuk kepada keterjangkauan atau tingkat kemudahan untuk diakses. Dalam konteks ini, aksesibilitas pendidikan masih menjadi salah satu masalah di dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena masih sulitnya masyarakat menjangkau pendidikan beserta segala fasilitas yang diperlukannya untuk belajar.

Menurut Carneiro dalam Finnie dan Mueller tahun 2008, terdapat dua dasar pemikiran mengenai aksesibilitas, yaitu aksesibilitas keuangan, berkaitan erat dengan kemampuan individu, seperti misalnya dalam biaya pendidikan, dan aksesibilitas fisik yang mengarah kepada usaha manusia dalam mendapatkan kesempatan berpendidikan, seperti memakai waktu yang ada untuk bekerja agar dapat memenuhi biaya pendidikan dan faktor pendukung lainnya, seperti transportasi sebagai fasilitas yang mendukung mobilitas. Aksesibilitas pendidikan merupakan kemudahan yang diberikan dan menjadi hak dari setiap individu untuk dapat menjangkau ketersediaan peluang dalam berpendidikan. Kemudahan tersebut merujuk kepada pemerataan dan ketersediaan alat maupun fasilitas, sebagai faktor pendukung dari kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung.

Permasalahan aksesibilitas pendidikan di Indonesia, khususnya dalam penyediaan fasilitas yang mendukung proses pembelajaran, masih menjadi hal yang serius dan belum tertangani dengan baik, terutama pada saat pandemi COVID-19 yang kini melanda bangsa. Pada saat pandemi COVID-19 ini sedang menerpa, kegiatan belajar-mengajar tatap muka (offline) memang resmi ditiadakan dan diganti dengan proses belajar daring (online). Pada era yang canggih akan teknologi dan informasi, masyarakat seolah diharuskan untuk dapat menggunakan dan menguasai teknologi ini. Sama halnya dengan proses belajar yang terus akan berkembang dan “memaksa” para pelajarnya untuk dapat memanfaatkan teknologi yang ada, seperti gadget dan fitur-fitur pendidikan lainnya. Memang, pemerintah sudah mengupayakan berbagai hal untuk melancarkan proses pembelajaran daring yang dijalankan dan sebagai cara agar aksesibilitas pendidikan secara fisik dapat terpenuhi dan secara finansial pun terbantu, semisal dengan pemerintah bekerja sama dengan operator telekomunikasi yang kemudian mengeluarkan berbagai kemudahan dengan memberikan kuota sebesar 30 GB untuk mengakses platform e-learning yang tersedia.

Meskipun begitu, nyatanya upaya tersebut tidak cukup membantu masyarakat yang berada di daerah yang terpencil dan masih sulit aksesibilitas. Dilansir dari beberapa media nasional, banyak siswa mengalami kendala saat hendak mengikuti kelas belajar online, bahkan ada pula siswa yang tidak memiliki gawai, kuota internet, jaringan televisi untuk menonton siaran pendidikan di salah satu stasiun televisi Indonesia, yakni TVRI, bahkan yang paling parah, lingkungan tempat tinggal siswa tidak tersentuh listrik. Keterbatasan yang dialami juga karena pengaruh ekonomi keluarga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas pendukung, bahkan mereka terpaksa harus berutang kepada orang lain demi mengikuti proses pembelajaran. Tidak hanya pihak siswa beserta orang tua yang sulit menghadapi kondisi seperti ini, tapi juga pihak pengajar. Pada akhirnya, inisiatif dari para guru itulah yang menjadi jalan keluar “terbaik” sementara demi siswa yang dididiknya dapat belajar dan tidak tertinggal materi yang sedang berlangsung.

Kasus ini berkaitan erat dengan teori struktural fungsional (Talcott Parsons) yang menjelaskan bahwa struktur dan pranata sosial berada pada suatu sistem sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan, sehingga dapat tercapai keseimbangan di dalamnya.

Pada dasarnya, fokus utama dari teori struktural fungsional adalah struktur-struktur sosial dan lembaga-lembaga masyarakat berskala besar, antarhubungannya, dan dampak-dampaknya yang memaksa para aktor (penerima pasif dari proses sosialisasi yang dilakukan). Adapun tujuan dari teori ini adalah untuk membangun suatu sistem atau struktur sosial, melalui pengkajian terhadap pola hubungan yang berfungsi antara individu-individu, kelompok-kelompok, atau institusi-institusi sosial yang ada di dalam suatu masyarakat.

Di dalam jurnal artikel yang dibahas oleh Marzali (2014), teori ini memiliki analisis fungsional, yang didefinisikan sebagai solusi terkait dengan hubungan antara item sosial dengan operasi keseluruhan sistem sosial yang ada, misalnya keterkaitan suatu institusi sosial dengan kerja dari sistem sosial yang ada di masyarakat. Asumsinya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial haruslah fungsional terhadap yang lain. Struktural fungsional memandang bahwa masyarakat luas akan berjalan dengan normal jika masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik.

Sistem pembelajaran siswa pada tahun ajaran ini berubah akibat dari virus corona (COVID-19) dan dampak dari virus inilah yang kemudian mengganggu fungsi dari sistem yang ada. Menurut KBBI, sistem didefinisikan sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sistem pembelajaran tatap muka menjadi sistem yang selama ini sudah biasa dijalankan oleh para institusi, baik sekolah maupun universitas. Namun ketika COVID-19 mulai masuk ke Indonesia beserta wilayah-wilayah di dalamnya, virus ini membuat banyak sistem – yang sudah terencana – terpaksa harus diubah. Pembelajaran yang ada kemudian menggunakan teknologi informasi (online) dengan berbagai macam aplikasi yang menunjang kegiatan belajar-mengajar.

Akan tetapi, seperti yang kita lihat bahwa terjadi ketidakberfungsian dalam sistem pembelajaran daring saat pandemi ini, antara pemerintah dengan pihak sekolah. Institusi terkait, seperti pemerintahan dan menteri, memang sudah mengupayakan dengan kerja sama yang dibangun dan penyediaan fasilitas penunjang belajar, namun hal tersebut tidak dirasakan sepenuhnya oleh rakyat kebanyakan, khususnya rakyat yang berada di daerah yang sulit aksesibilitas dan kurang mampu secara finansial. Hal ini menandakan bahwa upaya pemerintah masih belum berfungsi secara maksimal dan menyeluruh. Sementara itu, pihak sekolah juga sudah melakukan bagiannya untuk menaati peraturan pemerintah terkait dengan proses pembelajaran diadakan secara online, lalu merancang kegiatan belajar-mengajar sedemikian rupa agar dapat berjalan seperti biasanya, misal dengan mengadakan kelas online dan mengirimkan materi pembelajaran pada aplikasi pendukung. Namun, hal tersebut masih tetap saja belum cukup bagi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran, karena masih ada pula siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung, seperti gawai, kuota internet, laptop, dsb. Pada kenyataannya, fungsi sekolah sebagai institusi pun masih belum maksimal.

Ketidakberfungsian secara optimal inilah yang menghambat proses pembelajaran daring, khususnya terkait dengan aksesibilitas siswa dalam pendidikan. Hal itu kemudian berdampak pada sistem pembelajaran yang kurang merata.

Jadi, bagaimanakah seharusnya agar keberfungsian kedua institusi tersebut dapat maksimal dan proses pembelajaran daring dapat berlangsung dengan baik untuk ke depannya? Tentu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan mengidentifikasi bahwa ada suatu masalah yang terjadi terkait dengan pendidikan pada rakyat kecil di saat pandemi. Pengidentifikasian dilakukan dengan meneliti peranan dan fungsi dari setiap unsur yang ada di dalam ataupun sekitar masyarakat. Dari kasus pendidikan ini, kita dapat melihat bahwa pemerintah maupun sekolah kurang menjalankan fungsinya secara maksimal, sehingga timbullah masalah sosial (dalam bidang pendidikan) di masyarakat. Tahap identifikasi ini disebut dengan tahap identifikasi objektif yang diindikasikan sebagai partisipasi sosial.

Kedua, perlu mendiagnosis masalah yang terjadi, seperti latar belakangnya, dan melakukan pendekatan system blame approach (Eitzen, 1987) yang memfokuskan masalah pada struktur atau institusi sosial yang ada, berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan melihat faktor sistem sebagai penyebab dari masalah. Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa latar belakang dari permasalahan ini terjadi karena masyarakat sulit mengakses, baik dari sisi keuangan (faktor ekonomi) maupun fisik, seperti fasilitas untuk belajar. Maka dari itu, kita kemudian melihat pula bahwa unsur-unsur di dalam masyarakat kurang berfungsi secara maksimal, sehingga sistem pembelajaran menjadi terganggu.

Ketiga, treatment untuk mengurangi masalah yang terjadi, melalui usaha rehabilitatif, yaitu dengan melakukan perbaikan atau menciptakan suatu perubahan dari masalah yang ada. Masalah aksesibilitas ini sudah menjadi masalah sosial sejak lama yang telah menghambat siswa untuk mendapatkan pendidikan. Kehadiran teknologi dan fasilitas yang memadai masih menjadi hal yang langka dan sulit untuk didapatkan bagi masyarakat kecil. Jadi, memang sudah seharusnya perbaikan dilaksanakan. Misal, pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), lebih meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas dari jaringan yang ada. Koneksi internet menjadi salah satu faktor pendukung dari proses pembelajaran, maka daerah-daerah yang belum mendapatkan koneksi internet yang memadai dapat dibantu dengan adanya pembangunan infrastruktur, seperti menara penguat sinyal. Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dapat melakukan bagiannya dengan menyiapkan sistem pembelajaran yang resmi untuk sekolah-sekolah. Pemerintah dapat pula membiayai dana terkait dengan seminar atau pelatihan yang tenaga pengajar dapat ikuti, seperti misal pelatihan dalam pemakaian aplikasi belajar-mengajar, sehingga tenaga pengajar dapat memaksimalkan aplikasi yang ada dan melek teknologi.

Pihak institusi atau sekolah pun dapat mengatasi masalah ini dengan mendata siswa-siswa yang ada dan mengidentifikasi siswa yang memiliki fasilitas memadai (gawai, kuota internet, Wi-Fi, dll.) maupun tidak. Lalu, setelah mendapatkan datanya, pihak sekolah dapat mengupayakan strategi internal mereka untuk menggabungkan siswa-siswa yang memiliki fasilitas dengan yang tidak memilikinya untuk belajar berkelompok, sehingga siswa yang tidak memiliki gawai tetap dapat mengikuti proses pembelajaran dan dapat berdiskusi bersama jika sekiranya ada materi yang tidak dipahami.

SUMBER REFERENSI:

Kasih, A. P. (2020, April 5). Nilai PISA Siswa Indonesia Rendah, Nadiem Siapkan 5 Strategi Ini Halaman all. Retrieved from: https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/05/154418571/nilai-pisa-siswa-indonesia-rendah-nadiem-siapkan-5-strategi-ini?page=all

Kemendikbud Bekerja Sama dengan Operator Telekomunikasi Sukseskan Pembelajaran di Rumah. (2020, March 26). Retrieved from: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/03/kemendikbud-bekerja-sama-dengan-operator-telekomunikasi-sukseskan-pembelajaran-di-rumah

Rahman. (2020, April 20). Luar Biasa, Guru Ini Bantu Siswa Tak Punya Smartphone Belajar di Rumah. Retrieved from: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4983518/luar-biasa-guru-ini-bantu-siswa-tak-punya-smartphone-belajar-di-rumah

Bbc. (2020, May 13). Guru di Jawa Barat Datangi Muridnya yang Tak Punya HP untuk Belajar Online. Retrieved from; https://news.detik.com/bbc-world/d-5013091/guru-di-jawa-barat-datangi-muridnya-yang-tak-punya-hp-untuk-belajar-online

C, R. N. (2020, May 26). Curhat Murid ke Nadiem Selama Belajar di Rumah: Berutang Beli Paket Internet. Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-5028914/curhat-murid-ke-nadiem-selama-belajar-di-rumah-berutang-beli-paket-internet

Belajar dari Rumah, Ribuan Sekolah Tak Tersentuh Listrik dan Internet. (2020, May 4). Retrieved from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/05/04/belajar-dari-rumah-ribuan-sekolah-tak-tersentuh-listrik-dan-internet

2020, Anggaran Pendidikan Hanya Naik 2,7%. (2019, August 16). Retrieved from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/16/2020-anggaran-pendidikan-hanya-naik-27

Soetomo. 2015. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George. 2012. Edisi Kedelapan Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marzali, A. (2014). Struktural-fungsionalisme. Antropologi Indonesia.

Perdana, Novrian. (2015). Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Aksesibilitas Memperoleh Pendidikan untuk Anak-Anak di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 21. 279. 10.24832/jpnk.v21i3.191.

Akses Internet Terbatas, Puluhan Juta Siswa Hadapi Krisis Pembelajaran . (2020, May 12). Retrieved from https://kompas.id/baca/bebas-akses/2020/05/12/akses-internet-terbatas-puluhan-juta-siswa-hadapi-krisis-pembelajaran/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun