Mohon tunggu...
Bernadeta Valentina
Bernadeta Valentina Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Masih menekuni Ilmu Kelautan, belum sarjana. Menulis insting, sisanya menjelma sastra di https://debernval.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hiu di Ambang Kepunahan, tapi Masih Saja Diburu

10 Februari 2017   17:19 Diperbarui: 10 Februari 2017   21:25 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, hiu menjadi perbincangan menarik. Isunya adalah jumlah populasinya yang semakin menurun dan dampak sistemik signifikan yang ditimbulkan terhadap ekosistem laut. Sayangnya, masih banyak restoran dan pelanggan yang tanpa merasa berdosa telah mengkonsumsi dan membuat alur perdagangan hiu tidak lekas berhenti.

Menurut FAO (2015), Indonesia berada di peringkat pertama di dunia sebagai penangkap hiu (ikan chondrichthyan) terbesar pada tahun 2000-2011 dengan rata-rata hasil tangkap 106.034 ekor, dan di posisi ketiga di dunia sebagai eksportir sirip hiu terbanyak dengan rata-rata 1.235. Perdagangan hiu dipicu oleh tingginya konsumsi sirip sebagai sup dan pengobatan tradisional Cina. Tingginya eksploitasi ini telah mendorong 150 jenis hiu di dunia terancam punah. Jika anda berfikir ini tidak terlalu penting dan tetap memilih menu hiu di hari Imlek atau hari lainnya, pikirkan ulang.

Mengapa Hiu penting?

Hiu merupakan predator puncak. Sebagai predator puncak, tentu keberadaannya penting untuk mengontrol populasi ikan atau organisme yang ada di bawah piramida rantai makanannya. Selain kontrol atas populasi mangsa, hiu juga mengontrol distribusi spasial dari mangsa melalui perilaku menghindari predator. Hiu mencegah spesies tertentu memonopoli sumberdaya yang terbatas sehingga diversitas menjadi lebih tinggi.

Apa dampak bagi ekosistem kalau Hiu punah?

Turunnya jumlah populasi hiu sebagai predator puncak dalam suatu ekosistem akan mendorong terjadinya ketidakseimbangan melalui dominansi suatu spesies. Dominansi ini akan menekan jumlah mangsa dari spesies tersebut atau jumlah populasi produsen, dalam hal ini bisa ikan, karang, atau lamun dan rumput laut. Maka, akan terjadi kompetisi antar spesies yang berdampak pada kelimpahan dan diversitas spesies yang rendah.

Lambat Berkembang Biak

Jangan mencoba berpikir bahwa mengonsumsi satu tidak akan memberi dampak besar. Karena mungkin saja ada 15ribu orang berfikir seperti itu. Menurut WWF, 89% nelayan menyatakan bahwa jumlah tangkapan hiu semakin menurun dan 44% menyatakan bahwa lokasi penangkapan semakin jauh. Ya, hiu berkembang biak di lautan. Tapi tidak secepat itu. Hiu hanya memiliki 1 kali periode kelahiran setiap tahunnya dengan jumlah anak kurang dari 100 ekor. Maka, jika eksploitasi terus berlanjut usia spesies ini tidak akan lebih dari 60 tahun lagi.

Konsumsi Hiu berbahaya?

Konsumsi sirip hiu menjadi alasan utama eksploitasi hiu yang tak terkendali. Meski dalam kebudayaan Cina konsumsi sirip hiu menjadi suatu tradisi dan seringkali digunakan dalam pengobatan tradisional, fakta bahwa hiu mengandung zat toksik/beracun tak dapat dipungkiri. Beberapa spesies hiu dapat hidup hingga 50 tahun dan selama masa hidupnya polutan dari laut terabsorbsi melalui bioakumulasi.

Selain itu, zat zat berbahaya dari mangsa juga terakumulasi melalui biomagnifikasi. Menurut US Food and Drug Administration tahun 2010,  hiu merupakan ikan dengan kandungan methylmercury tertinggi. Methylmercury dapat menimbulkan masalah serius berkaitan dengan saraf, hati, dan fertilitas. Selain itu, 79% sirip hiu terbukti mengandung BMAA tingkat tinggi, yakni neurotoksin berbahaya yang meningkatkan risiko Alzheimer.

Meraup keuntungan besar

Sirip hiu, yang hanya sekitar 5% dari bobot tubuhnya dapat mencapai harga $300/lb, dan menjadi salah satu makanan paling mahal di dunia menurut Pew Environment Group.  Dengan jumlah permintaan pasar yang tinggi, keuntungan dari perdagangan hiu menjadi fantastis. Namun, tentu saja jumlah itu tidak dikurangi perhitungan kerugian ekosistem karena populasi hiu yang semakin sedikit.

Sebaliknya, melestarikan hiu di habitatnya justru dapat menjadi daya tarik wisata bawah air yang menjanjikan. Menurut WWF nilai seekor hiu bagi wisata selam mencapai Rp 300juta-1,8milliar setahun. Indonesia memiliki lebih dari 100 spesies hiu dan menjadi salah satu lokasi dengan diversitas hiu tertinggi di dunia, maka bukan tidak mungkin bahwa daya tarik hiu dapat menjadi daya tarik wisata. Disamping itu, pelestarian hiu sebagai wisata selam secara langsung juga menjaga ekosistem laut.

Menjadi pengawal konservasi!

Anggaplah masih banyak orang yang belum mengetahui informasi ini. Bahkan meski mungkin kita tidak termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang mengonsumsi atau memperjualbelikan hiu, bukankah menjadi tanggungjawab bersama untuk menghentikan spesies kita membiarkan hiu punah? Oleh karena itu, mari memulai langkah pribadi untuk tidak membeli produk dan makanan apapun berbahan hiu, dan menginformasikan kepada setiap orang dalam jangkauan kita untuk melakukan hal yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun