Suara ayam tengah berkokok menandakan bahwa pagi hari telah datang. Aku pun segera bangun dari tikar tipis nan keras yang biasanya ku gunakan sebagai alas untuk tidur bersama ibuku. Sebelumnya perkenalkan, namaku Rama. Aku merupakan seorang anak lelaki berumur 16 tahun yang hanya hidup berdua dengan ibuku di rumah gubuk kecil. Ibuku tidak bisa melihat sejak ia masih kecil dan sekarang terjangkit penyakit TBC. Sedangkan ayahku sudah meninggal karena sakit keras bahkan sebelum aku terlahir ke dunia.
Ketika kegiatan anak-anak seusiaku di pagi hari adalah pergi ke sekolah, aku lebih asyik memasukkan bungkusan-bungkusan tisu ke dalam kardus untuk dijajakkan di sekitaran lampu merah ataupun di pinggiran ruko. Ya, aku tidak dapat menempuh pendidikan seperti anak-anak lainnya demi bisa membeli obat untuk mengobati penyakit ibu serta memenuhi kebutuhan kami. Sering kali terbesit rasa iri ketika melihat anak-anak sekolah memakai baju seragam sekolahnya sambil menggendong tas yang berisikan buku pelajaran di punggungnya. Aku juga menginginkannya, namun aku bisa apa ? Aku harus berjualan demi keberlangsungan hidupku dan ibu.
“Ibu, aku pergi berjualan dulu ya,” kataku sambil menyalimi tangan ibu.
“Ya Rama, hati-hati ya Nak..” itulah balasan dari ibu yang setiap hari ku dengar sebelum pergi berjualan.
Pagi hari ini terlihat cerah, ditandai dengan birunya langit yang terpampang nyata. “Semoga di hari yang cerah ini aku bisa mendapatkan penghasilan yang banyak agar bisa membeli obat ibu yang sudah habis,” ucapku berharap dalam hati sambil berjalan di atas trotoar menuju lampu merah untuk menjajakkan barang dagangan ku. Aku menghampiri satu-persatu pengendara mobil maupun motor yang sedang berhenti di lampu merah untuk menawarkan tisu-tisu yang ku jual. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang tertarik untuk membeli barang daganganku ini.
Matahari pagi yang sebelumnya terasa hangat kini semakin terik dan terasa membakar kulitku. Tisu-tisu yang ku jual masih berjumlah utuh, menandakan bahwa belum ada satu pun orang yang membeli barang daganganku. Aku pun segera meninggalkan kawasan lampu merah dan memilih untuk melanjutkan berjualan di depan ruko, tempat lain yang biasanya ku gunakan untuk berjualan. Aku berharap akan ada orang yang mau membeli tisu-tisu ini sehingga aku dapat membeli obat untuk ibu. Aku pun duduk di tangga yang ada di depan ruko sambil menawarkan barang daganganku kepada orang-orang sekitar yang sedang lewat. Beruntungnya aku karena ada seorang ibu yang akhirnya membeli barang daganganku. Walaupun ibu tersebut hanya membeli beberapa dan uang yang ku dapat tidak seberapa, namun uang tersebut dapat menambahkan jumlah uang yang ku dapatkan di hari-hari sebelumnya untuk membeli obat ibu.
Hari menjelang sore dan kurasa uang yang kudapatkan dari hasil penjualan hari ini sudah mencukupi untuk membeli obat ibu. Akhirnya aku segera meninggalkan kawasan depan ruko dan pergi menuju ke toko obat sebelum kembali pulang ke rumah. Di tengah perjalanan menuju toko obat, aku melihat seorang nenek tua yang duduk meringkih sambil memegangi perutnya. Aku pun segera menghampiri nenek tua tersebut dan bertanya, “Nenek kenapa ? Perut nenek sakit ? Nenek perlu bantuan ?”. “Aku belum makan dari kemarin pagi Cu. Sekarang perutku sakit. Ingin membeli makanan namun tidak ada uang. Tolong bantu aku,” jawab nenek itu meringis sambil terus memegangi perutnya. Aku merasa kasihan terhadap nenek tersebut dan ingin membantunya. Namun, uang hasil berjualan yang ku miliki juga ingin ku gunakan untuk membeli obat ibu. Terjadi perang batin di dalam diriku antara ingin membantu nenek yang kesakitan karena belum makan dari kemarin hari, atau bersikap egois dengan tetap menyimpan uang hasil jualanku untuk membeli obat ibu. Akhirnya aku memutuskan menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan bagi si Nenek.
“Nek, ini aku belikan makan dan minum untuk nenek. Semoga setelah ini keadaan nenek membaik ya,” kataku kepada nenek tersebut.
“Betapa baiknya engkau Cu. Aku doakan semoga kebaikanmu ini akan mendapatkan balasannya. Sekali lagi, terima kasih Cu,” ucap Nenek tersebut sambil mengelus kepalaku sebelum aku pergi meninggalkannya.
Kini aku sudah sampai di depan toko obat, tempat di mana aku biasanya membeli obat untuk ibu. Aku memutuskan untuk berhenti sebentar di depan toko obat tersebut dan termenung. Uang yang akan ku gunakan untuk membeli obat ibu hanya tersisa dua ribu rupiah saja dan tentu lah tidak akan cukup untuk membeli obat yang ku butuhkan. Namun, tidak ada kata menyesal di dalam diriku karena menggunakan uang tersebut untuk membantu orang yang kesusahan. Aku hanya bisa berharap bahwa doa nenek tersebut dapat menjadi kenyataan nantinya.
Aku tersadar dari renunganku ketika seorang anak seusiaku tidak sengaja menabrak badanku dengan keras. Ia langsung berlari begitu saja tanpa ada keinginan untuk menoleh kepadaku, sosok orang yang telah ia tabrak. Setelahnya, terdengar teriakan dari arah datangnya anak tersebut yang meneriakkan, “COPET COPET, TANGKAP DIA, DIA COPET !!!”. Mengetahui kalau anak yang menabrakku adalah seorang copet, aku pun refleks mengejarnya dan menarik tangannya. Aku berhasil menangkapnya dan menahannya agar tidak kabur. Orang-orang yang mengejarnya pun berhasil sampai di depanku dan aku menyerahkan anak tersebut kepada mereka. Merasa bahwa tugasku telah selesai, aku pun melanjutkan langkah kakiku untuk kembali pulang ke rumah.
Ketika baru saja beberapa langkah aku meninggalkan tempat kejadian pencopetan tersebut, seseorang meneriaki aku, “KAUKAH YANG MENANGKAP PENCOPET ITU ?” kata orang yang berteriak itu sambil berlari kearahku. “Iya, betul pak saya orangnya. Ada apa ya pak ?” tanyaku kebingungan. Tiba-tiba saja bapak tersebut menjabat tanganku dan mengucapkan terima kasih, “Terima kasih karena telah menangkapnya Dek. Barang yang anak tersebut copet sangatlah berharga bagi saya. Ini saya berikan kamu sejumlah uang sebagai imbalan karena kamu telah menolong saya.” Bapak tersebut segera mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah dari dompetnya dan memberikannya kepadaku. Aku membulatkan mata karena terkejut dengan lembaran uang yang beliau keluarkan dan berikan kepadaku. Aku yang merasa tindakan bapak tersebut berlebihan pun segera menolaknya dengan halus, “Tidak usah pak, terima kasih. Saya ikhlas membantu bapak. Lagipula sudah seharusnya manusia saling tolong menolong pak.” Namun setelah ku tolak secara halus, bapak tersebut tetap memaksa agar aku menerima uang pemberiannya . Akhirnya, aku pun menerima uang yang beliau berikan dan langsung memeluknya. “Terima kasih Pak. Terima kasih banyak. Dengan uang yang bapak berikan sebanyak ini, saya jadi bisa membeli obat untuk ibu saya dan memenuhi kebutuhan hidup kami. Terima kasih pak,” kataku sambil menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya.
Setelah kejadian tersebut, aku segera pergi menuju ke toko obat dan membeli obat yang dibutuhkan oleh ibu sebelum kembali pulang ke rumah. Aku masih tidak menyangka bahwa doaku di pagi hari dan doa nenek yang kubelikan makan dan minuman tadi menjadi kenyataan. Ternyata bentuk kebaikan sekecil apapun pasti akan ada balasannya selama kita melakukannya dengan ikhlas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H