Berbicara Papua, ingatan pasti berorientasi pada keterbatasan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Papua selalu menjadi tagline daerah Indonesia yang tertinggal, khususnya dalam pendidikan.Â
Papua juga menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatian khusus pemerintah, apalagi sejak masa Pemerintahan sekarang, pembangunan dan kemerataan lambat laun dirasakan oleh masyarakat ujung timur Indonesia itu.Â
Dalam beberapa kebijakan misalnya pada penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Papua selalu mendapat ruang tersendiri untuk menargetkan anak-anak Papua membangun daerahnya, kebijakan itu sering kita dengar dengan formasi khusus putra/i Papua.Â
Bahkan perhatian khusus itu tidak hanya diperoleh dari pemerintah Indonesia saja, pemerintahan asing ikut berpartisipasi. Misalnya dalam pemberian program beasiswa khusus untuk anak Papua.
Hal itu ternyata belum menjangkau semua aspek kesejahteraan di Papua, kasus gizi buruk yang baru baru ini terjadi di sana seolah menyampaikan kepada kita bahwa Papua masih membutuhkan perhatian ekstra, bukan hanya dari Pemerintah Pusat, tetapi kontribusi konkrit dari Pemerintah Daerah di Papua juga sangat menentukan.
Tapi siapa sangka di balik segelintir pemberitaan ketertinggalan itu, Papua menyimpan cerita menginspirasi. Papua yang dikenal dengan ketertinggalan pendidikan tersebut, malah memberikan kebanggan bagi Indonesia melalui pendidikan.Â
Inspirasi itu datang dari beberapa anak Papua yang berhasil mengejar cita-cita melanjutkan master dan doktoral sampai ke Inggris lewat beasiswa.Â
Billy Gracia Yosaphat Mambrasar, Rio Alberto, dan George Saa adalah tiga di antara mereka. Seperti dilansir dari pemberitaan bbc Indonesia (2/2/2018).Â
George merupakan pemenang kompetisi dunia "First Step to Nobel Prize" bidang fisika pada tahun 2004. Bukan tanpa kepahitan, dalam ceritanya Goerge mengaku bahkan dulu lebih memilih menyisihkan uangnya yang terbatas untuk ongkos pulang meskipun harus menahan lapar.Â
Untuk ketangguhan George mungkin tepat dikenakan tagline bahwa proses tidak menghianati hasil. George pada akhirnya dikenal sebagai mahasiswa penerima beasiswa tingkat master di Universitas Birmingham, Inggris.Â
Billy berhasil melanjutkan studi masternya di Said Business School, Universitas Oxford. Dibesarkan di keluarga berkategori miskin, dengan rumah beratapkan rumbia dan tanpa penerangan listrik.Â
Keterbatasan itu ternyata tidak memutuskan niatan Billy tetap sekolah, dan tetap bisa membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kue di pasar. Begitu juga dengan Rio Alberto yang berhasil merajut mimpinya untuk belajar di Southampton Inggris. Dengan prestasi itu mereka mendirikan komunitas Lingkar Studi Papua yang mereka tujukan untuk mendongrak sektor pendidikan di Papua.Â
Salut dan menginspirasi, kata yang pertama kali terpikirkan ketika membaca cerita berprestasi dari anak-anak Papua ini. Sebagai anak bangsa yang tinggal di daerah yang berkategori maju, menikmati akses pendidikan yang jauh lebih layak, saya sendiri pun belum tentu mampu menorehkan prestasi itu dan bahkan berpikir membangun masyarakat di mana saya tinggal.Â
Torehan prestasi dalam kondisi tidak layak itulah yang seakan mengingatkan kita, generasi muda yang dibesarkan dalam keluarga dan pendidikan yang lebih baik, sudahkah memberikan prestasi bagi bangsa sendiri.Â
Atau kita hanya sibuk berkutat di dunia maya berkomentar soal politik, berdebat sana sini, mengumpat dan mengejek satu sama lain hanya karena perbedaan pandangan, sibuk mengomentari kebijakan pemerintah negara lain, berargumen berlagak peduli terhadap masyarakat dunia yang tertindas namun ketika masalah kemiskinan dan kelaparan di negeri sendiri tanpa perhatian.Â
Jika kita masih terjebak dalam langkah destruktif ini, sudah selayaknya kita move on.
Mari kita belajar dari ketangguhan anak-anak bangsa yang gak kenal kata miskin dan terbatas ini untuk berlomba-lomba berprestasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H