Peristiwa tragis pekan ini yang tentang seorang Ibu yang mengakhiri hidup anak kandungnya sendiri berusia 1 tahun menggemparkan masyarakat. Bertempat di rumah kontrakan di Cengkareng Jakarta Barat, selain dibunuh anak kandungnya itu juga dimutilasi.
Sampai saat ini polisi masih mendalami kasusnya. Namun dari berbagai sumber pemberitaan baik di media cetak maupun televisi mengatakan bahwa Ibu yang masih berusia 28 tahun itu diduga mengalami depresi berat.
Sebetulnya kasus seperti ini bukan baru pertama kali terjadi. Di Bandung pada pada 9 Juni 2006, seorang Ibu mengilangkan nyawa ke tiga anaknya dengan cara membekap satu persatu dengan bantal. Ibu yang secara akademis termasuk cerdas ini mengatakan bahwa dia melakukan itu semua karena merasa gagal menjadi ibu dan khawatir anak-anaknya menjadi anak yang malang karena dididik oleh ibu sepertinya.
Pada tanggal 18 November 2008 di Tangerang Banten, seorang Ibu berumur 30 tahun mencekoki anak semata wayangnya (8 bulan) dengan racun serangga yang dimasukkan ke dalam botol susu. Kemudian Ibu tersebut juga berusaha bunuh diri dengan menenggak racun dan memotong urat nadinya.
Adapula tragedi fenomenal yang kemudian dijadikan buku adalah kisah Andrea Yates. Wanita berusia 40 tahun yang tinggal di Houston Amerika , menggemparkan dunia karena dia tega menghabisi lima orang anaknya dengan cara membenamkan mereka ke dalam bak mandi. Kejadian itu terjadi pada bulan Juni 2001.
Masih banyak lagi kisah lainnya, semua kisah itu saya tuliskan di buku ”Anakku Bukan Anakku” (2015). Saya membuat buku itu karena saya sama penasarannya dengan Anda, mengapa ada seorang Ibu tega menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Bukankah seorang Ibu itu seharusnya melindungi dan rela mempertaruhkan nyawa untuk anaknya?
Sayangnya dari beberapa kasus yang ada seringkali Ibu yang membunuh anak kandungnya sendiri langsung dikategorikan sebagai tindakan kriminal tanpa ada penelitian lebih lanjut tentang kondisi kejiwaan atau aspek psikologis dari sang Ibu.
Padahal beberapa referensi psikologi menyebutkan bahwa banyak wanita mengalami perasaan yang menakutkan pada hari ketiga setelah persalinan, suatu keadaan depresi yang tidak disadari oleh orang-orang terdekatnya termasuk dirinya sendiri.
Menurut Ling dan Duff (dalam Widya Andhika Aji. 2009 ) gangguan psikologi Ibu pasca melahirkan dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Post Partum Blues (PPB). Sering juga disebut sebagai baby blues, yaitu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan.
Sindrom tersebut membuat ibu memiliki perasaan sedih atau murung selama kurang dari dua minggu yang terjadi beberapa hari setelah melahirkan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa sepanjang masa setelah melahirkan hampir 85% wanita mengalami gangguan emosi.
2. Depresi Post Partum (DPP): Depresi berat yang terjadi 2 minggu setelah melahirkan akibat tidak tertanganinya PPB dan kondisi ini bisa berlangsung selama lebih dari satu bulan bahkan sampai bertahun-tahun. Ibu yang mengalami DPP menurut penelitian terjadi pada sekitar 10 sampai dengan 20 persen Ibu melahirkan.
3. Post Partum Psikosa (PPP): Depresi yang terjadi pada minggu pertama dalam 6 minggu setelah melahirkan. Suatu periode ketika seorang wanita kehilangan sentuhan dengan kenyataan.
Dalam kasus ini perempuan yang mengalaminya bisa jadi bunuh diri atau membunuh anaknya. Sebuah penelitian mengungkapkan kasus Post Partum Psikosa mencapai tingkat bunuh diri 5% dan tingkat pembunuhan bayi 4% dari setiap kasus yang ada.
Sebelum seseorang sampai pada tahap PPP, biasanya sudah ada gejala-gejala sebelumnya. Hal ini bisa diketahui orang-orang terdekatnya seperti suami, orangtua, saudara atau tetangga dan sahabatnya. Karena gejala PPP ini adalah sebagai berikut:
- Halusinasi, berpikir ada orang lain di sekitarnya padahal tidak ada.
- Delusi,diartikan sebagai ekspresi kepercayaan yang dimunculkan kedalam kehidupan nyata seperti merasa dirinya diracun oleh orang lain, ditipu, merasa dirinya sakit atau disakiti. Gangguan delusi dapat terjadi pada siapa saja dengan beberapa kondisi tertentu, tanpa mestinya adanya gejala yang menunjukkan skizofrenia.
- Pikiran yang tidak logis
- Insomnia
- Menolak untuk makan
- Perasaan cemas yang berlebihan
- Delirium atau mania, adalah kondisi di mana seseorang mengalami kebingungan parah dan terjadi secara tiba-tiba.
- Ingin bunuh diri.
Kembali ke kasus di Cengkareng Jakarta Barat, menurut Kapolda Metrojaya, pelaku mutilasi seperti mendapat bisikan untuk membunuh anaknya. Ini pula yang terjadi pada kasus Ibu yang saya ceritakan semua di atas. Seperti ada suara-suara yang mengatakan, “Kamu bukan Ibu yang baik. Kamu tidak becus jadi orangtua, Kamu tidak pantas punya anak sebaik dia, Kamu harus mengakhiri hidup anakmu atau nanti dia jadi anak yang berdosa karena kamu tidak bisa mendidiknya.”
Suara-suara itu terus berdengung di telinga penderita PPP. Hingga akhirnya semuanya terlambat. Sebuah tindakan mengakhiri nyawa anak atau dirinya sendiripun tak terhindarkan. Pelaku mengatakan bahwa dia seperti memotong boneka kayu bukan bayinya sendir (Kompas, 5 Oktober 2016). Ini penyakit, ini bukan kriminal. Pelaku jelas butuh pertolongan karena sudah menunjukkan gejala halusinasi dan delirium.
Sesungguhnya siapapun kita, sebagai sahabat, sebagai teman, sebagai saudara, sebagai orangtua, sebagai tetangga apalagi sebagai pasangan terdekat seharusnya memiliki kepedulian jika ada orang yang mempunyai gejala mengarah pada depresi. Sebelum terlambat ajaklah dia untuk berkonsultasi dengan psikiater.
Depresi yang dibiarkan bisa membuat seseorang mengakhiri hidupnya atau hidup orang yang dicintainya. Jadi waspadalah dan pedulilah terutama kepada semua Ibu yang baru melahirkan.
Deassy M Destiani
Penulis Buku “Anakku Bukan Anakku” (Kumpulan kisah Ibu yang mengalami Depresi Pasca Melahirkan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H