“Bagaimana saya bisa tahu apa artinya? Saya waktu itu (*17 Agustus 1945) masih umur 17 tahun, masih murid SMT (*Sekolah Menengah Tinggi, kini setara dengan SMA),” ia melanjutkan, “Dulu semua murid disuruh berkumpul mendengarkan proklamasi lewat siaran radio. Proklamasi itu apa, saya dan kawan-kawan tidak mengerti. Jangankan kami yang waktu itu mendengarnya di Surabaya, orang-orang yang di Sumatera waktu itu pun tidak mengerti. Mereka malah terlambat tahu proklamasi, sekitar 10 hari sampai 2 minggu sesudah yang di Jakarta tahu.”
Meskipun tidak mengerti betul apa itu proklamasi kemerdekaan, bukan berarti Pak Sukotjo tidak turun berjuang. Di bulan Oktober 1945, ia tidak melanjutkan sekolahnya karena harus ikut perang. Matanya menerawang ke masa itu, ketika dia harus ikut mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Status merdeka tidak berarti Indonesia sudah seratus persen bebas dari pendudukan Jepang. Pria yang dikaruniai tiga anak itu mengatakan bahwa di sana-sini masih banyak tentara Jepang, meskipun beberapa golongan dari mereka ada yang sudah pasif akibat kekalahan besar dalam Perang Dunia II. Belum lagi Belanda yang secara agresif menyerang Indonesia dan menolak mengakui kemerdekaan bekas jajahannya itu. Wajar saja bila Pak Sukotjo masih belum bisa memaknai kemerdekaan pada masa-masa perjuangannya di tahun 1945 hingga 1949.
Baru pada tahun 1950, ia bisa mulai mengerti apa makna kemerdekaan. Bagaimana bersyukurnya ia bisa bertemu kembali dengan keluarganya, sementara banyak di antara rekan-rekan seperjuangannya harus kehilangan rumah, harta benda, sanak saudara, dan bahkan meregang nyawa di medan perang.
Ia sedih bila saat ini masih ada orang yang belum bisa memaknai kemerdekaan dan mensyukurinya. Katanya, anak-anak di masa sekarang harusnya bersyukur bahwa mereka sudah ditanamkan pendidikan Pancasila dan sejarah Indonesia sejak di bangku sekolah dasar.
Makna kemerdekaan bagi setiap orang bisa jadi berbeda-beda, namun Pak Sukotjo ingin agar semua orang menyadari bahwa kemerdekaan diperoleh tidak gratis. Ada harga yang harus dibayar, dan bersyukurlah orang-orang yang tidak harus membayarnya secara langsung dengan harta benda, sanak saudara, atau nyawa.
Generasi sekarang harus membayar kemerdekaan yang diperoleh dengan prestasi. Sebisa mungkin mengharumkan nama Indonesia. Dalam lingkup yang paling kecil dan paling lumrah, paling tidak semua orang bisa dengan sikap tegap dan rasa bangga menaruh hormat saat bendera merah putih dikibarkan, bukannya bermalas-malasan dan memilih bolos dari Upacara 17 Agustus.
Jadi, bagaimana cara kita memaknai kemerdekaan hari ini?
*Pak Sukotjo saat ini sedang menulis buku sejarang perjuangan kemerdekaan. Buku yang ditulis bersama teman-teman veteran di LVRI tersebut rencananya akan terbit sebelum akhir tahun ini. Mari doakan agar buku tersebut lekas rampung, supaya makin banyak yang memahami sejarah negara. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami dan menghargai sejarahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H