Saya termasuk orang yang beruntung belum membaca novel Negeri 5 Menara pada saat menonton filmnya. Mengapa saya katakan demikian? Sebab saya tidak mengerti jalan ceritanya, siapa tokohnya, dan yang paling penting dari semuanya, saya tidak memiliki pengetahuan apa-apa untuk bisa membandingkan antara novel dan versi layar lebarnya.
Film ini dibuka dengan adegan di mana tokoh utamanya, Alif Fikri (Gaza Zubizaretta) merayakan kelulusannya bersama teman baiknya (Sakurta Ginting). Mereka ingin melanjutkan sekolah di Bandung agar suatu hari kelak bisa menjadi seperti B.J. Habibie, sang tokoh idola. Sayangnya keinginan Alif tak sejalan dengan pemikiran Amak (Lulu Tobing) yang menginginkannya masuk pesantren. Maksud Amak baik, ia ingin Alif menjadi orang besar dan mengharumkan Islam dan juga tanah Minang seperti Bung Hatta dan Buya Hamka.
Alif muda yang tengah dipenuhi mimpi dan cita-cita tentu saja tidak serta-merta menerima maksud baik ibunya tersebut. Di sini terlihat peran besar sang ayah (David Chalik) yang menjadi jembatan komunikasi antara Alif dan ibunya. Saya tidak tahu bagaimana cara Ahmad Fuadi menggambarkan dalam novelnya, apakah persis sama dengan yang saya tonton di film atau tidak. Namun, saya sangat terkesan dengan cara sang ayah menerangkan pada Alif mengenai arti sebuah pilihan hidup.
Bukannya mendikte anaknya untuk menuruti keinginan sang ibu, Alif dibawanya ke pasar ternak. Di sana ia menggadaikan kerbau mereka satu-satunya demi biaya pendidikan Alif. Memang, di situ Alif belum memberikan jawaban apakah dia ingin melanjutkan sekolah ke pesantren atau ke Bandung. Namun, ayahnya membuka hati dan pikiran Alif melalui transaksi gadai kerbau yang berlangsung di dalam sarung. Ayahnya menjelaskan bahwa kehidupan itu seperti transaksi gadai kerbau tersebut. Bila dia tidak memasukkan tangannya ke dalam sarung, dia tidak akan pernah tahu berapakah harga yang akan diberikan calon pembeli atas kerbaunya itu. Di sini terlihat sebuah gambaran bahwa ayahnya pun tidak tahu apa yang akan terjadi, namun dia rela mengorbankan pembajak sawah keluarga demi memberangkatkan anaknya bersekolah. Ada harga yang harus dibayar bila ingin berhasil dan terkadang harga itu adalah sebuah pilihan yang sulit. Tentu bukan hal yang mudah bagi ayah Alif melepas si kerbau, yang juga menjadi sumber kehidupan keluarga. Namun, demi hal yang lebih baik, dijualnya pula kerbau tersebut.
Cara ini berhasil. Alif mengerti maksud orangtuanya dan memberanikan diri untuk merantau demi melanjutkan sekolah ke pesantren. Saya suka sekali cara Alif memberitahukan pada Amak mengenai keputusan yang diambilnya tersebut. Alif tidak secara terang-terangan mengatakannya langsung, dia justru bertanya berapa lama rendang buatan Amak bisa bertahan bila disimpan dalam kaleng susu untuk dibawa pergi.
Alif pun berangkat ke tanah Jawa bersama sang ayah. Meskipun kepergiannya ke pesantren diiringi doa dan dukungan seluruh anggota keluarga, bukan berarti keraguan Alif tentang masa depannya sirna. Wajah Gaza terlihat gamang sungguhan saat dia akan mengikuti ujian masuk Madani. Seolah dia benar-benar dihadapkan pada pilihan, masuk pesantren atau membangkang pada orangtua demi sebuah keinginan. Untunglah sang ayah ikut menemaninya ke sana, dia bahkan memberikan pulpen wasiat keluarga yang tintanya dilelehkan sendiri malam sebelum ujian tersebut diadakan.
Bagi sebagian orang, adegan ujian masuk bisa saja terlihat klise. Pulpen yang dipilih Alif tidak keluar tintanya, lalu dia teringat pulpen pemberian sang ayah yang merupakan turunan dari kakeknya. Pulpen itu dipakainya untuk mengerjakan soal ujian dan voila! Alif lulus dan diterima sebagai murid baru di Madani. Namun bagi saya adegan ini masih bisa diterima. Pada dasarnya adegan apapun yang menunjukkan dukungan orangtua kepada anaknya akan terlihat menyentuh hati penonton bila disampaikan dengan ekspresi wajah dan suara yang tepat seperti yang berhasil dilakukan David Chalik tersebut.
Diterima masuk Madani tak membuat hati Alif menjadi lega, dia justru bertambah gelisah. Seolah menjawab kegelisahan hatinya, sebuah tulisan besar yang tertempel di dinding pesantren itu menegurnya dengan kalimat, "Ke Madani, apa yang kaucari". Dan memang benar, apa yang dicari Alif (arti hidup, persahabatan, keberhasilan, dan kebanggaan keluarga) berawal dari Madani.
Cerita selebihnya dari Negeri 5 Menara tentunya sudah banyak diketahui. Saya pun tak ingin mengulas isi cerita film dari awal hingga akhir. Melalui review ini, saya ingin menyoroti betapa besarnya peran orangtua dalam keberhasilan seorang anak. Film ini memang lebih banyak menceritakan tentang persahabatan dan makna tekad dan kesungguhan dalam menggapai cita-cita. Meski begitu, peranan keluarga sebelum Alif memulai kehidupan di pesantren digambarkan dengan sangat kuat sehingga siapapun yang menonton film ini pasti akan mengingat dengan jelas pengaruh Amak dan Ayah yang menjadikan Alif berhasil.
Saya juga terkesan dengan cara sang sutradara, Affandi Abdul Rachman, dalam mengilustrasikan cerita hidup sang pengarang (Ahmad Fuadi) dalam kisah seorang Alif Fikri (inisial namanya juga sama dengan novelis, A.F). Pengambilan gambar yang merekam keindahan alam tanah Minang di film ini pasti membuat para perantau Sumatera yang menontonnya merindukan kampung halaman. Juga kehidupan ala pesantren yang tampak hidup dan nyata dengan polah tingkah para Sahibul Menara yang kerap mengundang tawa. Detil-detil kecil seperti kalender tahun 80-an yang tergantung di bilik rumah Alif dan handphone model jadul yang dipegang oleh Aryo Wahab (Alif dewasa) saat reunian dengan dua sahabatnya di Trafalgar Square pun layak diapresiasi.
Namun, seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Film ini pun mengandung beberapa kekurangan. Yang paling tampak di mata saya saat menontonnya adalah dari segi kostum. Rasanya kurang sedap melihat kerudung pink cantik yang dipakai oleh Lulu Tobing saat melepas kepergian Alif yang akan berangkat ke Jawa. Bukan berarti tokoh Amak tak boleh tampil cantik, namun kerudung yang dipakainya terlihat sangat modern untuk setting cerita tahun 80-an akhir. Pun rambut panjang Alif yang berantakan. Dengan ayah yang merupakan seorang guru dan Amak yang terkesan disiplin dan berpengaruh di rumah, rasanya agak aneh membiarkan anak lelakinya berambut tak rapi seperti itu.
Ada pula hal yang menarik dan sedikit lucu, yaitu saat adegan pertunjukkan seni yang ditampilkan oleh Alif dan teman-temannya. Tampak di antara kerumunan penonton sang pengarang, Ahmad Fuadi, ikut bertepuk tangan usai pementasan dari kelas Alif. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ya rasanya Bang Fuadi memainkan peran cameo itu? Apakah ikut deg-degan seperti Alif dan kawan-kawannya yang berada di atas panggung? Hehehehe :D
Tapi secara keseluruhan, film ini layak diapresiasi sebagai salah satu film terbaik Indonesia. Apalagi dengan hadirnya wajah-wajah baru pemeran Sahibul Menara, yang di luar dugaan bisa menampilkan akting natural dan berkualitas sehingga rasanya tidak seperti sedang menonton sebuah film. Saya berharap novel Ranah 3 Warna juga bisa diangkat ke layar lebar dan menghadirkan optimisme penonton terhadap masa depan perfilman Indonesia seperti yang berhasil dilakukan oleh film Negeri 5 Menara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H