Saya juga terkesan dengan cara sang sutradara, Affandi Abdul Rachman, dalam mengilustrasikan cerita hidup sang pengarang (Ahmad Fuadi) dalam kisah seorang Alif Fikri (inisial namanya juga sama dengan novelis, A.F). Pengambilan gambar yang merekam keindahan alam tanah Minang di film ini pasti membuat para perantau Sumatera yang menontonnya merindukan kampung halaman. Juga kehidupan ala pesantren yang tampak hidup dan nyata dengan polah tingkah para Sahibul Menara yang kerap mengundang tawa. Detil-detil kecil seperti kalender tahun 80-an yang tergantung di bilik rumah Alif dan handphone model jadul yang dipegang oleh Aryo Wahab (Alif dewasa) saat reunian dengan dua sahabatnya di Trafalgar Square pun layak diapresiasi.
Namun, seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Film ini pun mengandung beberapa kekurangan. Yang paling tampak di mata saya saat menontonnya adalah dari segi kostum. Rasanya kurang sedap melihat kerudung pink cantik yang dipakai oleh Lulu Tobing saat melepas kepergian Alif yang akan berangkat ke Jawa. Bukan berarti tokoh Amak tak boleh tampil cantik, namun kerudung yang dipakainya terlihat sangat modern untuk setting cerita tahun 80-an akhir. Pun rambut panjang Alif yang berantakan. Dengan ayah yang merupakan seorang guru dan Amak yang terkesan disiplin dan berpengaruh di rumah, rasanya agak aneh membiarkan anak lelakinya berambut tak rapi seperti itu.
Ada pula hal yang menarik dan sedikit lucu, yaitu saat adegan pertunjukkan seni yang ditampilkan oleh Alif dan teman-temannya. Tampak di antara kerumunan penonton sang pengarang, Ahmad Fuadi, ikut bertepuk tangan usai pementasan dari kelas Alif. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ya rasanya Bang Fuadi memainkan peran cameo itu? Apakah ikut deg-degan seperti Alif dan kawan-kawannya yang berada di atas panggung? Hehehehe :D
Tapi secara keseluruhan, film ini layak diapresiasi sebagai salah satu film terbaik Indonesia. Apalagi dengan hadirnya wajah-wajah baru pemeran Sahibul Menara, yang di luar dugaan bisa menampilkan akting natural dan berkualitas sehingga rasanya tidak seperti sedang menonton sebuah film. Saya berharap novel Ranah 3 Warna juga bisa diangkat ke layar lebar dan menghadirkan optimisme penonton terhadap masa depan perfilman Indonesia seperti yang berhasil dilakukan oleh film Negeri 5 Menara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H