Dalam beberapa hari ke depan, para lulusan SMA dan sederajat yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi, akan mencoba peruntungannya di Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Untuk tahun 2012Â ini daya tampung yang disediakan pemerintah di semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah sekitar 615.715 kursi.
SNMPTN (dulu namanya UMPTN/SIPENMARU/SPMB) masih menjadi daya tarik para orang tua dan calon mahasiswa untuk dapat kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Perguruan tinggi negeri masih menjadi favorite terutama PTN-PTNÂ seperti UI, ITB, UGM, IPB, Air Langga.
SNMPTN merupakan satu-satunya pola seleksi yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh Perguruan Tinggi Negeri dalam satu sistem yang terpadu dengan menggunakan soal yang sama atau setara dan diselenggarakan secara serentak. SNMPTN tetap dilaksanakan dalam semangat untuk memperluas akses masyarakat di seluruh Indonesia untuk dapat masuk ke perguruan tinggi negeri. Untuk menjamin kredibilitas seleksi, Panitia SNMPTN berupaya keras untuk meningkatkan mutu pelaksanaannya. Salah satu bentuk perbaikan dan penyempurnaan mekanisme pelaksanaan SNMPTN adalah diterapkannya sistem pendaftaran secara online .
Tahun 2012 ini, peluang lulusan SMA dan sederajat untuk mengenyam pendidikan tinggi di PTN semakin besar. Berdasarkan data pelaksanaan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) empat tahun terakhir, jumlah peserta setiap tahun naik 10-15 persen. Tahun ini, diperkirakan ada peningkatan 20 persen dari pendaftar tahun 2011 yang berjumlah 773.900 orang.
Dari jumlah 773.900 pendaftar tahun 2011, ada 232.948 pendaftar melalui jalur undangan, dan 46.674 di antaranya diterima di PTN. Sedang pada jalur tertulis, dari 540.953 pendaftar, 118.223 orang berhasil masuk ke PTN pilihannya. Untuk tahun 2012, diperkirakan ada 250 ribu pendaftar pada jalur undangan, 600 ribu pendaftar pada jalur tertulis, dan 85 ribu pendaftar program Bidik Misi.
Dari data diatas tetap saja ada masih banyak calon mahasiswa yang tidak dapat menikmati kuliah di PTN. Ada yang mencoba untuk kuliah di PTS, ada yang mencoba untuk bekerja dulu sambil memperdalam materi dengan harapan tahun depan bisa ikut SNMPTN dan diterima di PTN pilihan atau juga bekerja sambil mengambil kuliah di PTS yang membuka kuliah malam atau kuliah sabtu minggu.
Diskriminasikah SNMPTN ?
Ketika RSBI/SBI digugat di Mahkamah Konstitusi dan mengatakan bahwa itu adalah sebuah diskrimasi pendidikan, apakah SNMPTN juga merupakan praktek diskrimisnasi pendidikan ?
Sekarang kita lihat pola sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN . SNMPTN adalah seleksi dimana bagi calon mahasiswa yang tidak dapat bersaing dengan peserta lainnya maka dengan sendirinya tidak dapat diterima dengan kata lain tidak dapat kuliah di PTN. SNMPTN adalah sebuah pembedaan (=diskriminasi) bagi siapa yang boleh kuliah di PTN atau tidak. SNMPTN adalah cara untuk membedakan (seleksi) siapa saja yang dapat menikmati segala fasilitas dan infrastruktur pendidikan tinggi terbaik di negeri ini.
Tak dapat dipungkiri PTN seperti UI, UGM, ITB, IPB, Air Langga adalah PTN-PTN terbaik yang ada dinegeri ini. Segala fasilitas dan infrastrukturnya mengalahkan PTS terbaik dinegeri ini. Sebut saja banyak Guru Besar (Profesor) yang ada kebanyakan tersebar di berbagai PTN. Bukan hanya itu banyak banyak penelitian, riset karya tulis dan ilmiah banyak dihasilkan dari PTN. Perpustakaan terbaik se Asia Tenggara ada di salah satu PTN terkenal di kawasan Depok Jawa Barat. Tapi fakta menarik mengenai penyebaran PTN terbaik di negeri ini. UI, ITB dan IPB berada dalam satu propinsi yaitu Jawa Barat.
Ketika praktek yang sama di PTN (SNMPTN) juga diterapkan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah apakah ini sebuah diksrimisnasi pendidikan juga ?
Pada sekolah berlabel RSBI/SBI memang menerapkan sistem seleksi, dimana sistem ini memungkinkan siapa saja yang dapat diterima di RSBI/SBI. Pada tingkat SD misalnya bagi siapa yang secara administratif lolos, akan dilakukan test penerimaan. Test dilakukan dalam 2 hari dimana hari pertama dilakukan test akademik (berkenaan dengan ranah kognitif) dan di hari kedua adalah wawancara serta beberapa test kesiapan mental (psikologis, bina diri, bakat, dsb). Semua hasil test di publish di media internet 2 hari setelah test hari ke dua. Pada tingkat SMP dan SMA yang berlabel RSBI/SBI ada semacam test potensi akademik dan hasilnya di akumulasikan dengan nilai UN.
Apakah ini sebuah diskrimasi pendidikan ? Jawabnya ya. Diskriminasi disini adalah cara untuk membedakan siapa saja yang berhak dan layak untuk dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik. Tapi ketika ini menjadi polemik dan digugat di MK, kenapa dari dulu tidak menggugat juga SNMPTN ? Bukankah sistem SNMPTN juga menerapkan sistem yang hampir sama di tingkat pendidikan dasar dan menengah ?
Menurut penulis yang harusnya digugat itu bukan membubarkan sekolah-sekolah RSBI/SBI. Tapi yang di gugat adalah bagaimana sekolah-sekolah RSBI/SBI menjadi sekolah yang dapat menampung semua anak didik yang berpotensi dengan melihat kemampuan akademiknya bukan kemampuan ekonominya. Bukan hanya itu karena RSBI adalah sistem baru yang tentu ada kekurangan sebaiknya terus dievaluasi baik itu dari kurikulumnya, akuntabilitas, transparansi bagi kesempurnaan demi terwujudnya sekolah yang dapat menjadi sarana dalam menciptakan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia kedepannya. Sebagai gambaran indeks pembagunan manusia Indonesia masih berada di bawah Malaysia.
Begitu ramainya orang berkomentar tentang RSBI/SBI, saya melihat banyak orang-orang yang tak mengerti tetang pendidikan ikut berkomentar. Kadang saya ikut tertawa geli melihat komentar-komentar mereka. Untuk melihat masalah ini selain kita harus mengerti sistem pendidikan juga harus bisa berpikir komperehensif. Artinya tidak bisa melihat masalah dari apa yang dibaca, apa yang dengar dan apa yang dilihat saja apalagi mengandalkan informasi berita-berita.
Sebagi contoh, salah satu tulisan di media Online terkemuka menulis dengan judul yang berkonotasi negatif sekolah RSBI/SBI. Disebutkan bahwa nilai tertinggi UN ternyata berasal dari sekolah non RSBI. Bagi orang awam yang tidak mengerti masalah pendidikan dan tidak bisa (mungkin) berpikir komperehensif mungkin akan berkomentar mengiyakan. Setelah baca itu saya senyum dan tertawa geli.
Ada beberapa yang membuat saya senyum dan tertawa geli :
1. Data yang digunakan penulis di media online itu hanya hanyak menggunakan data bahwa nilai UN tertinggi ada di sekolah non RSBI/SBI. Padahal (penulis sendiri tidak tahu kapan sekolah RSBI/SBI yang dimaksud penulis di media online itu mulai berlabel RSBI). Artinya apakah lulusan yang dimaksud adalah lulusan setelah sekolah itu menyandang RSBI/SBI atau lulusan tsb adalah siswa lama yang masih bersatus non RSBI ?
2. Kalau memang datanya benar (asumsi) artinya lulusan yang dimaksud memang lulusan setelah sekolah menyandang status RSBI/SBI, apakah keberhasilan sekolah ditentukan oleh nilai terbaik bukan rata-rata terbaik ? Maksud saya ekstrimnya begini, seandainya nilai terbaik UN di sekolah non RSBI itu ternyata rata-rata nilai UN jauh dibawah rata-rata nilai UN wilayah kota, propinsi atau nasional apakah itu sebuah keberhasilan. Keberhasilan nilai UN bukan hanya pencapaian tertinggi tapi juga keberhasilan kolektif. Artinya keberhasilan kolektif (rata-rata tinggi) adalah sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan. Dan juga apakah nilai tertinggi UN adalah sebuah tolok ukur "mati" terhadap keberhasilan/kualitas sekolah ?
3. Walaunpun UN masih menjadi kontroversi, apakah keberhasilan sekolah hanya ditentukan dari UN saja (hanya dari aspek kognitif saja). Apakah keberhasilan sekolah pada aspek lain juga tidak di perhitungkan. Misalnya aspek psikomotorik (olah raga), aspek seni dsb. Sehingga sekolah yang banyak menjuarai atau minimal masuk nominasi kejuaraan olahraga, seni, pramuka (aspek affektif), dan lainnya juga patut di pertimbangkan sebagi sebuah keberhasilan.
4. Sekolah RSBI/SBI ini jumlahnya sangat sedikit dan penyebarannya tidak mengikuti jumlah anak didik yang berpotensi. Bayangkan bagi anak didik yang berpotensi untuk masuk RSBI/SBI, karena jarak rumah dan sekolahnya terlalu jauh akhirnya mencari sekolah SSN atau reguler saja dekat sekolahnya. Ini dengan asumsi anak didik tak bermasalah dengan ekonominya. Sehingga ketika anak didik potensial ini mendapatkan nilai terbaik di sekolah SSN atau regulernya, maka bisa saja mengalahkan nilai tertinggi di sekolah RSBI/SBI.
5. Sebagian besar sekolah RSBI/SBI adalah sekolah yang dulunya adalah sekolah unggulan. Artinya dengan kata lain seadainya gugatan di MK kalah dan kemudian label RSBI/SBI di lepas, tetap saja sekolah-sekolah ini masih menjadi sekolah terbaik. Sistem penerimaan menggunakan seleksi seperti penulis ceritakan diatas sudah dilakukan sebelum berstatus RSBI/SBI. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah sebagian kecil sekolah yang di "paksa" menjadi RSBI/SBI kemudian tidak bisa berprestasi, maka sekolah-sekolah yang seperti inilah yang harus di permasalahkan atau diragukan statusnya. Makanya jangan heran kalau ada sekolah RSBI yang dicabut statusnya.
dear (dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H