Pada sekolah berlabel RSBI/SBI memang menerapkan sistem seleksi, dimana sistem ini memungkinkan siapa saja yang dapat diterima di RSBI/SBI. Pada tingkat SD misalnya bagi siapa yang secara administratif lolos, akan dilakukan test penerimaan. Test dilakukan dalam 2 hari dimana hari pertama dilakukan test akademik (berkenaan dengan ranah kognitif) dan di hari kedua adalah wawancara serta beberapa test kesiapan mental (psikologis, bina diri, bakat, dsb). Semua hasil test di publish di media internet 2 hari setelah test hari ke dua. Pada tingkat SMP dan SMA yang berlabel RSBI/SBI ada semacam test potensi akademik dan hasilnya di akumulasikan dengan nilai UN.
Apakah ini sebuah diskrimasi pendidikan ? Jawabnya ya. Diskriminasi disini adalah cara untuk membedakan siapa saja yang berhak dan layak untuk dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik. Tapi ketika ini menjadi polemik dan digugat di MK, kenapa dari dulu tidak menggugat juga SNMPTN ? Bukankah sistem SNMPTN juga menerapkan sistem yang hampir sama di tingkat pendidikan dasar dan menengah ?
Menurut penulis yang harusnya digugat itu bukan membubarkan sekolah-sekolah RSBI/SBI. Tapi yang di gugat adalah bagaimana sekolah-sekolah RSBI/SBI menjadi sekolah yang dapat menampung semua anak didik yang berpotensi dengan melihat kemampuan akademiknya bukan kemampuan ekonominya. Bukan hanya itu karena RSBI adalah sistem baru yang tentu ada kekurangan sebaiknya terus dievaluasi baik itu dari kurikulumnya, akuntabilitas, transparansi bagi kesempurnaan demi terwujudnya sekolah yang dapat menjadi sarana dalam menciptakan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia kedepannya. Sebagai gambaran indeks pembagunan manusia Indonesia masih berada di bawah Malaysia.
Begitu ramainya orang berkomentar tentang RSBI/SBI, saya melihat banyak orang-orang yang tak mengerti tetang pendidikan ikut berkomentar. Kadang saya ikut tertawa geli melihat komentar-komentar mereka. Untuk melihat masalah ini selain kita harus mengerti sistem pendidikan juga harus bisa berpikir komperehensif. Artinya tidak bisa melihat masalah dari apa yang dibaca, apa yang dengar dan apa yang dilihat saja apalagi mengandalkan informasi berita-berita.
Sebagi contoh, salah satu tulisan di media Online terkemuka menulis dengan judul yang berkonotasi negatif sekolah RSBI/SBI. Disebutkan bahwa nilai tertinggi UN ternyata berasal dari sekolah non RSBI. Bagi orang awam yang tidak mengerti masalah pendidikan dan tidak bisa (mungkin) berpikir komperehensif mungkin akan berkomentar mengiyakan. Setelah baca itu saya senyum dan tertawa geli.
Ada beberapa yang membuat saya senyum dan tertawa geli :
1. Data yang digunakan penulis di media online itu hanya hanyak menggunakan data bahwa nilai UN tertinggi ada di sekolah non RSBI/SBI. Padahal (penulis sendiri tidak tahu kapan sekolah RSBI/SBI yang dimaksud penulis di media online itu mulai berlabel RSBI). Artinya apakah lulusan yang dimaksud adalah lulusan setelah sekolah itu menyandang RSBI/SBI atau lulusan tsb adalah siswa lama yang masih bersatus non RSBI ?
2. Kalau memang datanya benar (asumsi) artinya lulusan yang dimaksud memang lulusan setelah sekolah menyandang status RSBI/SBI, apakah keberhasilan sekolah ditentukan oleh nilai terbaik bukan rata-rata terbaik ? Maksud saya ekstrimnya begini, seandainya nilai terbaik UN di sekolah non RSBI itu ternyata rata-rata nilai UN jauh dibawah rata-rata nilai UN wilayah kota, propinsi atau nasional apakah itu sebuah keberhasilan. Keberhasilan nilai UN bukan hanya pencapaian tertinggi tapi juga keberhasilan kolektif. Artinya keberhasilan kolektif (rata-rata tinggi) adalah sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan. Dan juga apakah nilai tertinggi UN adalah sebuah tolok ukur "mati" terhadap keberhasilan/kualitas sekolah ?
3. Walaunpun UN masih menjadi kontroversi, apakah keberhasilan sekolah hanya ditentukan dari UN saja (hanya dari aspek kognitif saja). Apakah keberhasilan sekolah pada aspek lain juga tidak di perhitungkan. Misalnya aspek psikomotorik (olah raga), aspek seni dsb. Sehingga sekolah yang banyak menjuarai atau minimal masuk nominasi kejuaraan olahraga, seni, pramuka (aspek affektif), dan lainnya juga patut di pertimbangkan sebagi sebuah keberhasilan.
4. Sekolah RSBI/SBI ini jumlahnya sangat sedikit dan penyebarannya tidak mengikuti jumlah anak didik yang berpotensi. Bayangkan bagi anak didik yang berpotensi untuk masuk RSBI/SBI, karena jarak rumah dan sekolahnya terlalu jauh akhirnya mencari sekolah SSN atau reguler saja dekat sekolahnya. Ini dengan asumsi anak didik tak bermasalah dengan ekonominya. Sehingga ketika anak didik potensial ini mendapatkan nilai terbaik di sekolah SSN atau regulernya, maka bisa saja mengalahkan nilai tertinggi di sekolah RSBI/SBI.
5. Sebagian besar sekolah RSBI/SBI adalah sekolah yang dulunya adalah sekolah unggulan. Artinya dengan kata lain seadainya gugatan di MK kalah dan kemudian label RSBI/SBI di lepas, tetap saja sekolah-sekolah ini masih menjadi sekolah terbaik. Sistem penerimaan menggunakan seleksi seperti penulis ceritakan diatas sudah dilakukan sebelum berstatus RSBI/SBI. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah sebagian kecil sekolah yang di "paksa" menjadi RSBI/SBI kemudian tidak bisa berprestasi, maka sekolah-sekolah yang seperti inilah yang harus di permasalahkan atau diragukan statusnya. Makanya jangan heran kalau ada sekolah RSBI yang dicabut statusnya.