Mohon tunggu...
Deddy Arifin
Deddy Arifin Mohon Tunggu... -

Mencoba terus belajar .....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Paradoks UN

25 April 2014   23:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya ujian sekolah merupakan sebuah proses untuk menguji keberhasilan anak didik dan guru dalam proses belajar mengajar.  Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat baru saja dilaksanakan, kini para siswa SMP dan sederajat sedang melakukan persiapan untuk melaksanakan UN. Sesuai jadwal UN tingkat SMP akan dilaksanakan tgl 5-8 Mei 2014 mendatang.

Berbagai persiapan telah dilakukan secara maksimal dalam menghadapi UN ini. Mulai dari persiapan akademis anak didik menghadapi soal ujian sampai persiapan mental dan psikologis. Persiapan anak didik menghadapi UN  seperti layaknya seorang atlit yang akan menghadapi sebuah kejuaran. Berbagai laga uji coba dilakukan seperti Try Out yang beberapa kali dijalani siswa. Filosofinya adalah seperti seorang petinju, untuk menghadapi 12 ronde pertandingan maka ratusan bahkan ribuan ronde yang harus dijalani untuk persiapan. Untuk menghadapi puluhan soal, ratusan bahkan ribuan soal diujikan ke siswa.

Dari kesiapan non akademis, seperti mental dan psikologis juga dilakukan. Mulai dari wejangan para guru di kelas sampai Istighosah dan Do’a bersama menjelang UN. Semua dilakukan demi kelancaran dan kemudahan anak didik dalam menghadapi UN.

UN sendiri menjadi sebuah polemik baik dari para akademisi sendiri sampai para orang tua. Bagaimana tidak UN seakan menjadi momok para siswa dan pihak sekolah. UN saat ini masih menjadi sebuah prestige terhadap mutu sekolah. Sehingga tidak heran berbagai cara dilakukan agar mendapatkan nilai tertinggi dan nilai rata-rata yang baik. Apalagi jika sebuah sekolah unggulan, sangat menjaga dalam mempertahankan apa yang telah mereka raih sebelumnya.

Sejatinya UN adalah sebuah proses ujian yang hasilnya diharapkan menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sekolah dalam melaksanakan proses belajar mengajar diakhir tingkatan sekolah. Jika proses tersebut masih diwarnai kecurangan, kebocoran bahkan ada pihak sekolah yang secara sitematis melakukannya, layakkah hasil UN masih menjadi tolak ukur ? Hampir setiap tahun menjelang UN, selalu ada pernyataan hipokrit dari Pejabat Mendikbud termasuk Pak Menterinya yang mengakatan bahwa UN tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Bahkan berani memberi jaminan tidak ada kebocoran soal. Tapi nyatanya bukan hanya kebocoran, tapi soal UN “kebanjiran”. Karena khabarnya ada kunci jawan soal UN yang tingkat kebenaranya diatas 90%.

Menyesakkan mendengar satu acara di televisi, yang mengatakan bahwa jika pra orangtua siswa dihadapkan untuk memilih TIDAK JUJUR TAPI LULUS atau JUJUR TAPI TIDAK LULUS, maka sebagian besar orangtua pilih pilihan pertama. Sebuah fakta yang mencengangkan, bagaimana tidak lulus UN dianggap aib dibanding ketidakjujuran.

Legalkah UN ?

Pemerintah masih saja terus melakukan UN, padahal di satu sisi UN secara hukum berdasarkan keputusan MA RI No.2596 K/PDT/2008 Junto Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.377/PDT/2007/PT.DKI Junto 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST adalah ilegal.

Berdasarkan informasi perkara resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus pada 14 September 2009  oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.


Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

-Mahkamah Agung-

Dengan keluarnya putusan ini, UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang melaksanakan UN. Ini berlaku mulai UN 2010. Pemerintah baru dianggap legal melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.

Satu hal yang mendasari mengapa MA mengabulkan adalah berdasarkan UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada pasal 58 mengatakan bahwa gurulah yang memiliki hak prerogatif melakukan evaluasi belajar terhadap para siswa, bukan UN. Artinya sekolah dan guru yang punya hak penuh menentukan kelulusan berdasarkan ujian yang dibuat dan diselengarakan sendiri.

Apakah karena UN sudah dianggarkan, sehingga harus digunakan ? Sebagai informasi pemerintah telah menganggarkan UN lebih kurang sebesar Rp. 500 Milyar. Anggaran  UN tahun 2012 saja mencapai Rp. 600 Milyar dan tahun 2014 sebesar Rp.545 Milyar.
Bayangkan UN mulai 2010 sampai 2014 (5 kali) adalah UN yang cacat hukum dan dianggap ilegal. Jika pemerintah secara diplomatis melalui aparatnya di Mendikbud mengatakan bahwa pelaksanaan UN lebih baik dari tahun ke tahun ternyata lebih dari 4 tahun ini pemerintah telah mengajarkan bagaimana pelangaran hukum yang telah dilakukan pemerintah. Bagaimana berharap pelaksanaan UN bersih dari berbagai kecurangan, jika pelaksanaan UN nya sendiri cacat hukum?

(dear)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun