Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

RIP Buku, Kenapa Orang Tidak Lagi Baca Buku?

3 Mei 2024   01:46 Diperbarui: 4 Mei 2024   01:59 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini kita hidup di bumi yang berisi 8 miliar penduduk. Lebih dari seratus ribu orang meninggal setiap hari, tetapi berita kematian yang akan saya bahas di artikel ini sedikit berbeda. Bukan tentang seseorang, melainkan berita kematian dari lembaran kata-kata tertulis a.k.a BUKU.

Mungkin terdengar absurd tapi percayalah kalau itu masuk akal. Jawab saja pertanyaan ini, kapan terakhir kali pembaca sekalian mengambil sebuah buku dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya membaca, tanpa terhenti oleh panggilan telepon, TV, atau notifikasi di HP, intinya tanpa gangguan, hanya murni berjam-jam bersama sebuah bacaan yang bikin nagih?

Bagi sebagian pembaca jawabannya bisa jadi "kemarin" atau bahkan "hari ini". Tapi bagi kebanyakan orang jawabannya adalah berhari-hari, berbulan-bulan yang lalu, atau bahkan lupa tahun berapa terakhir kali menyelesaikan satu buku. Masa-masa menghabiskan waktu membalik halaman buku sepertinya sudah lama berlalu. 

Membaca telah menjadi kebiasaan yang terlalu dini menjadi antik lalu masuk ke museum peradaban. Buku-buku berdebu di rak-rak. Toko-toko buku juga sudah sama seperti barang antik yang sangat susah dicari. Di perpustakaan terlihat lebih banyak orang yang menatap ke layar komputer atau laptop alih-alih buku.

Pernahkah kalian tanya kenapa? Di artikel ini saya akan mencoba mencari jawaban tersirat dari pertanyaan tersebut.

Pertama-tama, apakah kalian ingat buku pertama yang kalian baca? Kebanyakan dari kita akan menjawab buku tentang belajar angka atau alfabet. Tapi tahukah kalian buku apa yang pertama kali dicetak? Tidak ada yang tahu pasti. Yang diketahui pasti adalah, pada tanggal 11 Mei tahun 868 M, seorang laki-laki bernama Wong ji menugaskan seorang pengrajin cetak kayu (block printer) untuk membuat gulungan teks suci Budha sepanjang 53 meter. Cetakan tulisan di atas kayu ini menjadi cetakan tulisan tertua yang diketahui sejauh ini dan diberi judul "Sutra Intan" (Diamond Sutra).

Kemudian munculah mesin cetak. Penemuan ini mengubah sejarah manusia. Mesin cetak ini memberi kita buku pertama yang diproduksi secara masal, yakni Alkitab Gutenberg.

Lalu ada buku bersampul tipis yang sangat populer di kalangan siswa di kelas pekerja, diikuti oleh pilihan buku bersampul keras yang lebih tahan lama dan versi ini telah ada selama berabad-abad.

Untuk buku terlaris, Alkitab menjadi buku terlaris sepanjang sejarah. Sampai hari ini sebanyak tujuh miliar eksemplar Alkitab yang terjual di seluruh dunia.

Lalu ada buku termahal. Buku berjudul "Codex Leicester" yang pada dasarnya merupakan buku harian sains Leonardo da Vinci itu menjadi buku termahal di dunia. Bill Gates membeli buku tersebut pada tahun 1994 seharga 30,8 juta dolar Amerika. Hari ini mungkin bernilai  lebih dari 50 juta dolar.

Kini, tidak semua buku semahal ini tetapi pastinya tak ternilai harganya. Misalnya, seri Harry Potter. Di awal tahun 2000an, jutaan karya J. K. Rowling ini terjual. Jika semua buku Harry Potter yang terjual ini diletakkan saling membelakangi maka buku itu sambung-menyambung akan mampu mengelilingi  khatulistiwa sebanyak 16 kali putaran. Hal ini memberi tahu kita bahwa sebuah judul buku mampu mencetak sejarah yang luar biasa.

Bagi kebanyakan orang seperti kita (yang suka membaca), buku mendefinisikan masa kecil kita. "Kancil dan Buaya" bikin kita ingin cerdik seperti Kancil. Atau jadi detektif seperti Conan Edogawa. Gegara Harry Potter, kita berharap Hogwarts benar-benar ada.

Buku menciptakan sebuah dunia magis. Dunia yang bisa bikin kita menghilang selama berjam-jam. Jadi, kenapa sekarang dunia itu menghilang? karena berbagai alasan. Tapi yang paling menonjol adalah kecanduan digital.

Sebagian besar dari kita sekarang hidup di ponsel. Jika kamu membaca artikel ini tanpa teralihkan, "selamat". Kamu  bagian dari beberapa yang jarang. Tapi kalau kamu menjeda baca artikel ini untuk periksa notifikasi, menggulir feed Instagram, lihat tweet dan kemudian balik lagi ke artikel ini, "selamat datang kembali". Anda sekarang telah menjadi bagian dari Tatanan Dunia Baru. Dunia yang mudah teralihkan.

Sebuah penelitian mengamati para remaja mengerjakan PR. Remaja ini disuruh mengerjakan tugas selama 15 menit. Kebanyakan dari mereka tidak dapat bertahan bahkan hanya dua menit tanpa mengirim SMS atau memeriksa media sosial.

Anak-anak sekarang membaca lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 2019 sebuah survei terhadap orang-orang berusia di bawah 18 tahun membuktikan bahwa hanya 26 persen dari mereka yang membaca setiap hari.

Kedengarannya menyedihkan. Angka ini lebih rendah dibandingkan generasi lainnya. Generasi muda sekarang kurang membaca. Banyak dari mereka mengatakan tidak menikmati membaca dan beranggapan bahwa membaca itu tugas yang sia-sia.

Survei ini merupakan survei global tapi Indonesia tidak terkecuali. Kominfo bahkan menulis "Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos".

Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Angka ini mengantarkan kita pada posisi dua terbawah pada peringkat literasi dunia.

Walaupun alasannya berbeda-beda di setiap negara, kebanyakan anak-anak di dunia tidak membaca bukan karena tidak ingin membaca, tetapi dalam banyak kasus karena mereka terbebani oleh metode belajar sekolah yang menuntut lebih banyak aktivitas fisik sehingga tak punya banyak waktu untuk membaca.

Fakta menariknya, pandemi covid menyebabkan pergeseran tren ini. Orang menghabiskan banyak waktu di dalam rumah sehingga banyak yang mulai membaca buku.

Di Amerika Serikat, rata-rata orang Amerika menghabiskan 20 menit untuk membaca buku pada tahun 2020. Jumlah ini meningkat sebesar 21% dibandingkan tahun 2019. Namun jumlah tersebut tidak cukup untuk menghidupkan kembali aktivitas membaca pada tahun 2021. Rata-rata orang Amerika membaca 12,6 buku dalam setahun, turun dari 15,6 buku pada tahun 2016. Lebih dari 50 persen orang dewasa tidak menyelesaikan satu buku pun pada tahun 2021.

Di Indonesia, tren membaca bangkit kembali setelah pandemi. Khususnya bagi masyarakat perkotaan. Namun apa yang dibaca telah berubah. Generasi muda Indonesia semakin banyak yang membaca buku-buku tentang self-help (pengembangan diri).

Jumlahnya lebih tinggi dibandingkan sebelumnya dan hal ini merupakan hal yang baik karena jenis bacaan apa pun menambah nilai diri. Bukan tanpa alasan kalau banyak orang bilang "buku adalah teman terbaik".

Sayangnya, media sosial membuat bikin kekacauan pada tren membaca buku ini. Medsos menyita rentang perhatian generasi muda sehingga menyisakan sedikit ruang untuk perenungan tenang yang pernah ditawarkan buku.

Kenapa harus menyelami karakter dalam novel Dickens selama berjam-jam ketika mereka bisa membaca sekilas 280 karakter menarik di Twitter?

Ditambah ada serangan tanpa henti dari ribuan video reels. Video-video pendek semisal "tempat yang harus Anda kunjungi" juga berperan dalam tragedi ini. Siapa yang butuh membaca ketika mereka dapat menonton video 10 detik tentang kucing yang sedang bermain piano.

Sepertinya, membaca terlihat sangat lambat sekarang dalam hal menawarkan kepuasan instan. Terlalu membosankan bagi kepekaan modern kita, dan ini terlihat lagi dalam angka.

Angka Penjualan Buku Global pada tahun 2022 turun lebih dari 10 persen dibandingkan tahun 2021.

Pendapatan Global dari penjualan buku menyentuh titik terendah dalam lima tahun, yaitu sekitar 76 miliar dolar. Penerbit seperti Amazon's Westland tutup buku. Bagi mereka yang tidak menutup toko menderita lebih banyak masalah seperti PHK di penerbit buku terbesar di Amerika Serikat, Penguin Random House.

"Membaca" sedang menghadapi tantangan terbesar. Generasi muda tidak tertarik, Penerbit berada dalam masalah, dan toko-tokoi buku yang terpaksa ditutup.

Beberapa negara penutupan toko-toko buku sangat mengkhawatirkan seperti Jepang. Saat ini terdapat hampir 12.000 toko yang beroperasi di Jepang, turun 30 toko sejak tahun 2012.

Pada dasarnya orang-orang tidak membaca buku. Mereka yang membaca buku, membelinya secara online atau membaca eBook atau mendengarkan buku audio (audio book).

Memang orang-orang masih selalu membaca setiap hari. Berita, artikel, email, tweet, pesan, iklan. Jadi secara teknis belum tentu jumlah orang membaca lebih sedikit hari ini. Tapi baca buku itu berbeda. Saat baca buku, kita harus mendalami buku tersebut.

Untuk bisa benar-benar nyambung ke cerita, kita harus unplug dari segala macam gangguan terutama digital. Dan menurut saya, inilah yang semakin gagal dilakukan kita saat ini. Kepuasan mengurai plot rumit, menguraikan metafora tersembunyi, memahami sejarah dan konsep, serta menjelajahi kedalaman emosi manusia. Semua kesenangan ini telah dilenyapkan oleh kepuasan instan emoji dan GIF, yang membawa saya  kembali ke pertanyaan apakah membaca telah benar-benar mati?

Sekarang merupakan masa gambar dan video. Namun masih ada harapan. Saya menyebut artikel ini sebagai berita kematian pada awalnya. Mungkin masih terlalu dini bilang begitu. Berkat mereka yang dengan gigih terus menentang tren sambil memegang buku bersampul tipis, semoga akan menginspirasi orang lain.

Saya sendiri gemar menonton film, namun tidak bisa menyangkal kalau cerita terbaik tidak dapat diceritakan dalam 280 karakter atau ditangkap dalam klip dan reels singkat.

Cerita terbaik butuh buku yang bagus.

Jadi, mintol sebutkan salah buku terbaik sepanjang masa versimu di kolom komentar agar menjadi referensi bagi saya dan mereka yang singgah ke artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun