Memang benar, manusia adalah political being (makhluk politik). Segala tindakan kita punya tujuan politik tersendiri. Dari yang sudah terdefinisi sampai yang belum. Dari mengamankan batas-batas negara sampai cara hidup bersosial. Mustahil memisahkan manusia dari politik.
Karenanya, sangat sulit bagi kita untuk menahan diri dari menampilkan pandangan politik kita pada berbagai media atau panggung yang memungkinkan. Termasuk sepakbola yang sedang melangsungkan perhelatan terakbarnya di Qatar. Â
Bukan cerita baru sepakbola dijadikan panggung untuk menampilkan suara-suara politik. Sudah sejak lama politik hadir di kancah sepakbola. Di tempat saya sendiri, Papua, pertandingan sepakbola sering dijadikan pelantang suara separatisme. Pada beberapa pertandingan Persipura Jayapura, terlihat beberapa Persipura Mania yang mengibarkan bendera bintang kejora yang merupakan lambang separatisme di Papua.
Meskipun melarang agar sepakbola tidak dijadikan panggung politik pada seluruh acara-acaranya, FIFA (Federasi Sepakbola Dunia ) sendiri punya agenda politik tersendiri. Federasi sepakbola terbesar dunia itu sering menampilkan politik "fair play". Tidak jarang juga "Unity in diversity." menjadi thema event-event FIFA. Semua ini tentu saja merupakan dimensi lain dari politik FIFA.
Kali ini Qatar juga tidak lolos dari perilaku politik dunia. Sedang ada protes terhadap tuan rumah melalui ajang FIFA World Cup 2022 (Piala Dunia FIFA 2022). Mulai dari pemain, pelatih, hingga pemerhati sepakbola. Â
Gambar di atas merupakan gambar dari peristiwa yang terjadi dalam24 terakhir di Qatar. Foto tim Jerman tersebut seharusnya menjadi foto reguler sebuah tim sesaat sebelum bertanding. Tapi kali ini maknanya lebih dari itu. Para pemain Jerman meletakkan tangan di atas mulut mereka terjadi di depan lusinan fotografer dan jutaan mata penonton. Foto tersebut terjadi semalam, pada pertandingan penyisihan melawan Jepang di Piala Dunia Qatar.
Kenapa tim Jerman menampilkan pose sepereti itu? Tentu saja untuk melakukan protes. Terhadap siapa? Untuk menjawabnya kita perlu melihat kejadian belakangan ini. FIFA telah mengancam tujuh tim Eropa dengan sanksi jika mereka mengenakan ban di lengan dengan gambar satu cinta berwarna pelangi yang melambangkan  keragaman dan toleransi.
Ancaman FIFA tersebut memicu pergerakan yang semakin intensif. Kapten dari tujuh tim Eropa  merencanakan untuk mengenakan ban tersebut pada pertandingan yang mereka mainkan. Ban tersebut merupakan bagian dari kampanye anti-diskriminasi.
Ada reaksi marah dari politisi juga. Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser mengkritik FIFA. Beliau menyebut ancaman sanksi tersebut sebagai "perilaku yang tidak dapat dimengerti. Saya kira Faeser punya hak (baca: kewajiban) untuk melontarkan protes mengingat Kapten Timnas Jerman, Manuel Neur termasuk dalam tujuh kapten tim yang terancam kena sanksi FIFA. Berikut saya kutip komentar Faeser kepada Times "Pada saat-saat ini, tidak dapat dipahami bahwa FIFA tidak ingin orang secara terbuka mendukung toleransi dan menentang diskriminasi. (Sanksi FIFA) itu tidak sesuai dengan era kita sekarang dan tidak pantas terhadap masyarakat (dunia)."
Tidak ketinggalan Asosiasi Sepakbola Jerman juga memberikan komentar "Kami ingin menggunakan ban kapten kami untuk mengambil sikap pada nilai-nilai yang kami pegang dalam keragaman tim nasional Jerman dan saling menghormati bersama dengan negara lain. Kami ingin suara kami didengar. Ini bukan tentang membuat pernyataan politik, Hak Asasi Manusia tidak dapat dinegosiasikan. Yang mana seharusnya  diterima begitu saja tetapi tetap (yang terjadi) tidak demikian dan itulah mengapa pesan ini sangat penting bagi kami. Menyangkal ban kapten kami sama dengan menyangkal kami sebagai suara. Kami tetap berdiri pada pendirian kami."
Bicara tentang suara, gestur menutup mulut tim Jerman semalam merupakan simbol dari suara-suara yang ingin dibungkam. Protes bermula dari homoseksualitas yang diilegalkan tuan rumah Piala Dunia 2022. Negara tersebut mengkriminalisasi hubungan sesama jenis hingga menarik kritik mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pada turnamen berjalan.
Dan Barat ingin menunjukkan simbol Pro LGBT dan membela keragaman, inklusivitas, dan melindungi hak asasi manusia. Semua yang terdengar hebat, mulia, dan ideal. Tapi semua itu berbau kemunafikan. Sementara Barat ingin sekali lagi menampilkan dirinya sebagai pelindung Hak Asasi Manusia, pihak yang menunjuk diri sendiri sebagai pengawas global, pertanyaan yang ingin saya tanyakan adalah apakah protes tersebut tidak terlalu mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara?
Apakah Barat akan mengubah undang-undangnya atau pendiriannya tentang suatu masalah jika negara lain protes? Apakah Barat akan legowo mengubah hukumnya demi membela hak-hak di bagian lain dunia? Dalam hal ini adalah China. Lebih khusus lagi wilayah xinjiang China yang identik dengan penganiayaan terhadap Muslim Uighur. Apa yang telah dilakukan Barat mengenai masalah tersebut? Kenapa hanya pernyataan saja yang dilontarkan, kenapa tidak memakai ban lengan juga saat Olimpiade Beijing demi membela Hak Asasi Manusia muslim Uighur?
Juga, kenapa tidak melontarkan protes kepada Rusia sekarang? Saya bawa-bawa Rusia karena apa yang terjadi di sana hari ini. Beberapa jam yang lalu parlemen Rusia mengesahkan pembacaan ketiga dan terakhir dari undang-undang yang menegaskan larangan apapun bagi promosi LGBT. "Jadi Rusia akan mempidana orang dari segala usia jika kedapatan melakukan tindakan yang dianggap mempromosikan LGBT. Undang-undang ini termasuk perilaku online dalam iklan, buku, film, atau di depan umum. Jika melakukannya terancam dikenakan denda berat. Pertanyaan saya di mana pengawas global dalam masalah ini? Di mana ban kapten pelanginya?
Poin saya sederhana. Siapa yang memenangkan Piala Dunia sepak bola Qatar masih harus ditunggu untuk saat ini tapi Barat sudah pasti jadi juara  kemunafikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H