Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kemunafikan Eropa Pada Bahan Bakar Fosil

4 Oktober 2022   04:37 Diperbarui: 8 Oktober 2022   01:27 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada oktober 2021 lebih dari 100 pemimpin dunia berkumpul di Glasgow untuk mengakui urgensi perubahan iklim. KTT ini seharusnya menjadi wake up call, titik balik bagi masa depan planet ini. 

Tetapi seperti semua KTT sebelumnya COP 26 juga mengecewakan. Konferensi penandatangan itu hanya menjadi sebuah pentas bagi negara-negara untuk membuat daftar dosa-dosa negara berkembang meskipun itu pelanggaran mereka sendiri.

Mereka menetapkan target climate goals baru  yang harus dicapai pada tahun 2050, di antaranya adalah mengakhiri pembakaran batu bara secara bertahap guna menghapus ketergantungan dunia pada batu bara, Eropa berjanji untuk berdiri di depan dalam kampanye ini. 

Eropa berjanji untuk membuat batu bara jadi sekedar cerita sejarah dan beralih ke sumber energi terbarukan.

Satu tahun ke depan, Eropa yang sama memimpin pawai ke arah yang berlawanan. Eropa dengan mudah kembali ke batu bara. Tidak minta permisi sama sekali ke negara lain. 

Tidak ada pertanyaan yang diajukan kepada dewan COP. Jadi artikel ini akan melakukannya, membahas kemunafikan Eroipa pada bahan bakar fosil.

Kenapa Eropa kembali ke batu bara? Apa dampaknya pada target iklim dan janji besar yang mereka buat atas nama seluruh dunia?

Eropa sedang dalam krisis pasokan energi. Untuk mengatasinya, Eropa membuang jauh ambisi hijaunya. Eropa meningkatkan impor batubara dan mengaktifkan kembali pembangkit listrik lama.

Semua ini gegara Rusia yang memotong pasokan gas ke Eropa. Sebelum perang di Ukraina dimulai, 40 persen pasokan gas Eropa berasal dari Rusia.

Tapi sejak Februari tahun ini, setelah rusia menyerbu Ukraina impor energi dari Rusia menurun hampir 60 persen. 

Dampaknya adalah cadangan minyak dan gas di Eropa mengalami krisis. Harga energi meningkat lebih dari dua kali lipat. Tagihan listrik melonjak dari hari ke hari. Ekonomi Eropa di ambang Resesi.

Sebanyak 12 negara Eropa bisa menghadapi kekosongan energi pada musim dingin ini. Jadi Eropa kembali ke batu bara untuk menghasilkan listrik. 

Bulan lalu sebanyak enam negara Eropa mengaktifkan kembali PLTU berbahan bakar batu bara. Negara-negara tersebut adalah Jerman, Austria, Belanda, Inggris, Italia, dan Prancis.

Jerman menjadi yang pertama melakukannya. Pada minggu pertama Juli, Jerman mengesahkan undang-undang yang mengizinkan pembangkit listrik tenaga batu bara  diaktifkan kembali saat persediaan energi rendah, dan ini akan berlaku hingga 2024. Jadi Jerman berencana menggunakan tenaga batu bara untuk dua tahun ke depan.

Sama dengan Austria. Negara tersebut punya pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditutup pada tahun 2020, tahun ini Austria menyalakan cerobongnya lagi.

Lalu Belanda. Bulan Juni lalu, negara kincir angin telah mengaktifkan rencana krisis energi. Pada dasarnya rencana itu bertujuan menghapus batasan pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Kebijakan ini telah memungkinkan pabrik-pabrik untuk beroperasi dengan kapasitas penuh menggunakan batu bara hingga tahun 2023.

Perancis juga sama, berencana kembali menggunakan batu bara musim dingin tahun ini untuk menghasilkan listrik meskipun telah menerapkan kebijakan zero coal pada tahun 2021.

Inggris juga berencana untuk bergabung dengan rencana para tetangga. Bulan lalu pemerintah Inggris  meminta pembangkit listrik tenaga batu bara siaga untuk menghasilkan listrik.

Italia telah mengeluarkan peringatan serupa. Pembangkit energinya siap membakar batu bara. Jadi, negara-negara Eropa siap untuk membuka kembali pembangkit listrik tenaga batu bara. 

Pertanyaan, dari mana mereka akan mendapatkan batu bara? terakhir kita dengar, Eropa menyatakan bahwa penambangan batu bara merupakan bencana besar. Eropa punya tambang batu bara juga tapi semuanya secara bertahap berhenti memproduksi batu bara.

Data berikut ini akan menjelaskannya. Pada tahun 1990 produksi batu bara di uni Eropa adalah 277 juta ton. Pada 2021, angkanya turun menjadi 57 juta ton saja. Terjadi penurunan 80 persen produksi batu bara dalam tiga dekade. 

Semua ini berkat tujuan net zero UE. Jadi sebenarnya Eropa telah mencapai kemajuan yang luar biasa tetapi sekarang tujuan net zeronya gagal dan Eropa ingin batubara menghidupkan pembangkit listriknya. 

Darimana Eropa akan mendapatkan batubara? darimana lagi selain dari negara berkembang. Uni Eropa telah mengesahkan perburuan batubara untuk mengamankan pasokan energi. 

Di bulan Juni saja, UE mengimpor 7,9 juta ton batubara termal. Sebagai perspektif, angka itu hanya sekitar 2 juta ton saja tahun lalu pada periode yang sama. Jadi terjadi lompatan yang sangat besar pada impor batubara, hampir empat kali lipat.

Sekarang mari kita lihat sumbernya. 1,2 juta ton batu bara berasal dari Kolombia. 854.000 ton dari afrika selatan dan 1,1 juta ton dari Australia. 

Dan itu hanya pemasok besarnya, Eropa juga mengimpor lebih banyak batubara dari Indonesia, Mozambik, Namibia, Nigeria, dan Amerika Serikat. 

Polisi global dalam segala hal termasuk perubahan iklim juga ikut memasok batubara ke Eropa. Pada bulan juni, impor batubara dari AS ke UE mencapai 618.000 ton, naik 28 persen dari tahun lalu.

Apa dampak dari keputusan Eropa ini? emisi karbon diperkirakan mencapai rekor tertinggi. Menurut analis, impor batubara ke uni Eropa akan naik 43 persen lebih tinggi tahun depan, dan ini akan melepaskan tambahan 10 juta ton karbon  dioksida ke atmosfer.

Kemana janji Eropa untuk menjadi netral karbon? UE belum membahasnya sama sekali, sepertinya menyalakan AC mereka lebih penting. Sementara studi seperti berikut ini ditawarkan sebagai pembenaran. 

Sebuah analisis dirilis oleh Ember, kelompok riset nirlaba yang berbasis di Inggris ini mengatakan bahwa "ketergantungan jangka pendek pada batu bara untuk penggunaan darurat akan berdampak kecil pada komitmen iklim Eropa". (Jadi tidak perlu gaduh dengan perubahan langkah putus asa Eropa sekarang).

Menariknya, di situs webnya, kelompok riset ini pernah menulis dengan gagah berani "tenaga batu bara harus diakhiri untuk membalikkan krisis iklim. Batu bara merupakan satu-satunya penyumbang terbesar perubahan iklim."

Dan yang paling munafik dan bikin jengkelnya, Ember juga pernah menunjuk jari ke negara-negara berkembang dan mengatakan kalau kita "tidak cukup berusaha untuk mengadopsi energi hijau".

Okelah, "desperate diseases need desperate remedies". Kita tahu Eropa sedang mengalami krisis, listrik perlu tetap menyala. Tapi argumen ini sama dengan yang diberikan oleh negara-negara berkembang. 

Kita juga butuh energi untuk menjalankan pabrik tapi kita kekurangan sumber energi alternatif. Ekonomi kita lebih rentan untuk mengatasi perubahan drastis. 

Tapi Eropa tidak peduli, mereka tetap "suci" memberikan kuliah tentang perubahan iklim kepada belahan bumi timur. Menyuruh kita untuk menutup pabrik bahkan menjatah batu bara yang boleh kita gunakan.

Sekarang Eropa dalam keadaan krisis. Mereka tidak berpikir dua kali sebelum beralih ke batu bara. Mereka kaya, jadi bisa beli batu bara. 

Mereka boleh mengubah aturan tanpa perlu minta permisi kepada negara lain. Mereka boleh mengubah tiang gawang net zero emission karena penghangat ruangan di sana tidak boleh dimatikan.

Inilah kemunafikan klasik barat. Mereka boleh menggelontorkan uang untuk mendapatkan lebih banyak minyak dan batu bara sambil menyuruh seluruh orang di belahan dunia yang lain untuk tetap bergantung pada tenaga surya dan angin. 

Pada saat yang sama, mereka menolak untuk bertanggung jawab atas jejak emisi, dan menolak memberikan kompensasi perubahan iklim ke negara berkembang.

Bulan Juni lalu, PBB mengadakan Bonn Climate Change Conference (BCCC) untuk membicarakan krisis iklim dunia. Pada kesempatan tersebut negara berkembang meminta pendanaan khusus untuk krisis iklim. 

Mereka ingin  bantuan keuangan untuk beralih ke energi terbarukan dan mengatasi  dampak perubahan iklim yang dipicu oleh Uni Eropa dan Amerika. 

Tapi permintaan mereka secara konsisten ditolak selama konferensi tersebut. Sudah bisa ditebak, Barat menolak untuk memberikan dana khusus iklim.

Bagaimana seharusnya sikap dunia menghadapi sikap sewenang-wenang dan kemunafikan ini?

Pertama AS keluar dari komitmen iklim melalui presiden Donald Trump yang menyebut perubahan iklim "hoax" dan sekarang Eropa beralih ke batu bara. 

Jadi apa gunanya menetapkan tujuan yang tidak ingin dicapai oleh pihak mana pun?  haruskah seluruh dunia juga mengabaikan target nol-bersih emisi?

Saya kira, terlalu salah untuk bikin pembenaran seperti itu. Perubahan iklim mempengaruhi semua orang makanya setiap orang harus berbagi tanggung jawab untuk melakukan bagiannya masing-masing. 

Artikel ini  hanya menyoroti satu hal kalau dosen di barat tidak punya kaki untuk berdiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun