Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iran, Hijab, dan Kebebasan Berpendapat

2 Oktober 2022   23:47 Diperbarui: 5 Oktober 2022   18:25 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-orang berunjuk rasa menentang Presiden Iran Ebrahim Raisi di luar markas PBB di New York City, Amerika Serikat, Rabu (21/9/2022). Demo Iran pecah setelah kematian Mahsa Amini, perempuan Iran yang ditangkap polisi karena disebut mengenakan jilbab secara tidak pantas. (GETTY IMAGES/STEPHANIE KEITH via AFP/KOMPAS)

Pada 16 September seorang wanita Kurdi berusia 22 tahun meninggal di sebuah rumah sakit di Teheran. Namanya Mahsa Amini, seorang warga negara Iran yang taat hukum yang hidup jauh dari politik dan memikirkan urusannya sendiri. Tapi apakah dirinya tahu bahwa dia akan membayar harga yang mahal karena tidak cukup memperhatikan pakaiannya?

Tiga hari sebelumnya, pada 13 September Amini ditangkap oleh polisi moral Iran yang ditugaskan untuk menegakkan aturan berpakaian Iran. Mereka menahan Amini karena gadis muda itu tidak menutupi rambutnya dengan benar menggunakan hijab seperti kebiasaan di Republik Islam tersebut.

Jadi bagaimana Amini meninggal? Jawabannya relatif. Tergantung pada siapa yang menjawab. Pejabat Iran mengatakan kalau Amini meninggal karena serangan jantung tetapi keluarganya mengklaim kematiannya karena penyiksaan. Keluarganya mengklaim bahwa Amini dipukuli dalam tahanan hinnga mengalami koma dan meninggal. Mengingat tingkat kerahasiaan negara di Iran, sulit untuk memverifikasi penyebab pasti kematian gadis belia tersebut.

Tetapi yang bukan rahasia adalah kemarahan publik setelahnya. Kematian Amini menjadi alasan alasan demonstrasi-demonstrasi yang kini menghangat di Iran. Kematiannya telah menjadi titik kumpul bagi ribuan wanita Iran yang muak dengan para ulama yang memberi tahu mereka tentang apa yang harus mereka kenakan. Para demonstran yang kebanyakan wanita ini turun ke jalan. Mereka memotong rambut dan membakar hijab mereka sebagai dukungan solidaritas bagi tindakan perlawanan Mahsa Amini menentang aturan ketat Iran tentang pakaian. Juga terhadap mereka yang ditugaskan untuk menegakkan aturan ketat tersebut.

Aksi protes pertama terjadi pada 17 September di kota Saqez, kota di mana Amini dimakamkan. Dari Saqez demonstrasi masa dengan cepat menyebar ke kota-kota lain yaitu Isfahan, Chabahar, Sanam, Tabriz, dan Teheran. Terakhir kali saya cek, puluhan ribu orang melakukan demonstrasi di  lebih dari 40 kota. Protes berlangsung hampir setiap hari dengan visual yang serupa. Wanita membakar hijab mereka dan polisi Iran memukuli mereka dengan tongkat.

Biar lebih jelas, aksi protes yang sedang berlangsung di Iran bukan hanya sekedar aksi intelektual di mana aksi protes dilakukan oleh orang-orang Iran yang kaya dan berpengaruh yang mampu lolos dari perilaku keras negara, tidak, namun telah menjadi gerakan level akar rumput di mana orang-orang dari semua latar belakang dan kelas bergerak melakukan protes bersama seolah tidak peduli lagi dengan rotan Polisi Moral.

Tidak hanya Iran, protes ini telah menjadi Global. Ekspatriat Iran memprotes di kota-kota seperti Istanbul, Athena, Madrid, Berlin, Paris, Brussel, London, New York, dsb.

Yunani misalnya, minggu lalu ledakan molotov koktail terdengar di Kedutaan Besar Iran di Athena. Di Inggris, kekerasan demonstrasi jalanan serupa dilaporkan di luar Kedutaan Besar Iran di London. Di Prancis, lebih dari 4.000 orang terlihat di luar Kedutaan Besar Teheran di Paris sehingga  memaksa polisi untuk menggunakan taktik anti huru hara.

Secara global protes ini berlangsung tanpa banyak konsekuensi, tetapi di Iran para pendemo harus membayar harga yang mahal dengan nyawa. Menurut kelompok Hak Asasi Iran, lebih dari 76 pengunjuk rasa dibunuh oleh pasukan keamanan Iran dalam 11 hari terakhir, pada kerusuhan yang terjadi  di 14 provinsi.

Angka ini termasuk Enam Wanita dan empat anak. Selain ini lebih dari 1200 orang telah ditangkap. Kebanyakan dari mereka adalah jurnalis, aktivis, dan akademisi.

Demonstrasi yang sedang berlangsung saat ini menjadi tantangan yang paling serius yang pernah dihadapi pemerintah Iran. Memang selama bertahun-tahun ada aksi protes tetapi yang terjadi kali ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ribuan orang Iran berani mempertaruhkan nyawa mereka menghadapi  tongkat dan gas air mata. Mereka berani membangkang terhadap para pemimpin yang tampaknya tidak punya jawaban mengenai masalah ini.

Kenapa? karena aksi-aksi protes ini bukan hanya tentang hijab. Sejujurnya protes ini mungkin berpusat di sekitar hijab tetapi ada spektrum yang lebih luas  yang selama ini membebani masyarakat Iran. Aksi protes kali ini juga mernjadi protes kepada aturan agama yang kaku dan sebuah generasi yang terlahir karena diskriminasi berbasis gender.

Sejak revolusi Islam 1979, ulama di Iran terus mengatur kehidupan dan tubuh perempuan mulai dari apa yang mereka lakukan, apa yang mereka kenakan, hingga bagaimana mereka berperilaku. Negara menegakkan undang-undang ini melalui polisi moral Iran yang bertugas memastikan model Islam yang diinginkan para ulama diikuti. Denda, penjara, dan kekerasan fisik yang menjadi hukuman atas ketidakpatuhan telah menjadi bom waktu yang baru meledak sekarang.

Target polisi moralitas ini sebagian besar adalah wanita, sementara laki-laki Iran bebas mengenakan apa pun yang mereka inginkan. Jadi tragedi yang sedang berlangsung menjadi sebuah pemeriksaan realitas bagi Iran, pengingat tentang bagaimana seharusnya hijab dimaknai.

Menurut seorang penulis dan aktivis muslim Samina Ali dalam presentasenya di TED Talk, kata "hijab" muncul setidaknya delapan kali dalam Quran dan setiap referensiya mengartikannya penghalang atau partisi. (Dalam KBBI sendiri kata "hijab" berarti dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain). Jadi, setiap referensi mengatakan konsep "hijab" itu spiritual, tidak terbatas pada fisikal, dan konsep ini berlaku tidak hanya bagi perempuan tetapi juga laki-laki.  

Para akademisi mengatakan kalau ide umum di balik hijab adalah bahwa semua Muslim harus berperilaku sopan berpakaian, sopan menutupi bagian pribadi mereka dan menghindari eksplorasi seksual terlepas dari jenis kelamin, tetapi sebagian negara Muslim percaya bahwa aturan ini hanya berlaku untuk wanita.

Kesalahpahaman ini sebagian besar berasal dari patriarki, dan Iran merupakan contoh klasik dari semua ini. Semua aturan dan hukum di sekitar pakaian wanita didikte oleh pemimpin individu (yang selalu) laki-laki. Hanya laki-laki yang menjadi cendekiawan, ulama, imam, dan politisi. Mereka memilih ayat-ayat Islam sesuai dengan narasinya sendiri.

Demonstasi masal seperti yang sedang berlangsung berasal dari diskriminasi seperti ini. Memang benar, yang saat ini berlangsung ditujukan bagi hijab, tetapi juga bagi undang-undang ketat lainnya terhadap perempuan.

Hijab hanyalah salah satu dari beberapa aturan keras bagi perempuan. Terdapat isu lain yang bisa diamati untuk melihat bentuk patriarki Iran. Misalnya usia minimum untuk menikah. Pada satu masa, batas usia minimum untuk menikah bagi perempuan adalah sembilan tahun. Sekarang munking agak mendingan yaitu 13 tahun. Ditambah seorang wanita Iran hanya bisa menikah dengan izin resmi dari patriark keluarganya. Sebaliknya, pria Iran dapat menikah empat kali tanpa meminta izin apapun.

Selanjutnya undang-undang tentang perceraian. Wanita Iran boleh menceraikan suaminya hanya dengan bantuan seorang ulama atau pengadilan. Dan itu juga hanya dengan alasan tertentu seperti jika pasangan tidak stabil secara mental atau suami pemabuk atau sedang menjalani hukuman penjara. Sebaliknya, pria Iran tidak menghadapi pembatasan seperti itu. Pria Iran tidak memerlukan intervensi pihak ketiga untuk perceraian. Mereka memiliki kebebasan untuk mengajukan perceraian bahkan hanya dengan mengucapkannya secara lisan.

Selanjutnya hukum waris. Jika seorang wanita Iran meninggal, hartanya dialihkan ke suaminya. Tetapi jika suami meninggal, jandanya hanya berhak seperdelapan harta suami. Plus dalam kasus warisan bagi anak-anak, anak laki-laki mendapat dua kali bagian dari harta ayah dibandingkan dengan anak perempuannya.

Yang di atas hanya beberapa hukum dan batasan, masih banyak lagi. Poin saya adalah bahwa  di Iran kebebasan hanya untuk  laki-laki tapi mencekik otonomi perempuan . Jenis patriarki seperti ini telah memicu perdebatan di seluruh dunia. Segala macam sudut pandang pernah dituangkan dalam perdebatan ini.

Berbagai ide pernah disandingkan paralel antara kebebasan yang dialami oleh wanita di bagian lain dunia dengan aturan dan etika kolot yang dikenakan wanita Iran. Di Indonesia juga terdapat beberapa perdebatan. Di platform ini juga ada beberapa Kompasianer perempuan yang menulis tentang hijab dan kebebasan berpakaian perempuan. Ada yang berpendapat bahwa hijab itu keharusan bagi seorang muslim, ada juga yang berpendapat kalau hijab tidak wajib bagi seorang muslim. Contoh baru-baru ini dari beberapa sekolah di Indonesia yang mewajibkan siswi sekolahnya mengenakan jilbab.

Pada dasarnya masalah hijab merupakan dua sisi mata uang yang sama. Pada akhirnya keduanya merupakan kasus perempuan yang diberitahu apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh. Apa yang terjadi di Iran merupakan protes terhadap pola pikir patriarki. Memang aksi protes tersebut menentang hijab tetapi juga tentang negara yang mendikte kehidupan pribadi.

Para ulama yang duduk di posisi kekuasaan mengendalikan perempuan. Maksud saya sederhana ada yang ingin memakai hijab, ada juga yang tidak. Ada yang menganggapnya sebagai identitas mereka, ada juga yang tidak. Ada yang berhijab atas nama agama, ada juga yang memakainya karena merupakan bagian dari budaya mereka.

Tapi ada benang merah yang menjalin semua skenario ini. Kebebasan dasar bagi wanita untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri alih-alih diberitahu apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus dikenakan dan apa yang tidak boleh dikenakan.

Keputusan untuk membuat pilihan dasar seperti ini harus diserahkan sepenuhnya kepada perempuan bukan kepada ulama, politisi, atau penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun