Asia Barat dianggap sebagai wilayah paling bergejolak di muka bumi. Mungkin saja benar. Tapi tidak lagi, sekarang Asia Barat sedang berbicara tentang perdamaian. Setelah negara-negara Arab menerima jamuan dari negara Yahudi bulan Maret tahun ini, sekarang dua saingan regional Arab Saudi dan Israel mengadakan pembicaraan rahasia.
Artikel terkait: Israel Jamu AS dan 4 Negara Arab, Apa Agenda KTT Abraham?
Pembicaraan mereka (lagi-lagi) ditengahi oleh Amerika Serikat. Rumornya pembicaraan mereka berjalan lancar. Pejabat Saudi mengatakan kalau pertanyaannya bukan lagi "apa Ryadh akan mengakui Israel?", tapi "kapan?", kapan Riyad akan mengakui Israel?
Pernyataan tersebut merupakan pernyataan luar biasa bersejarah. Karena kita sedang berbicara tentang pemimpin dunia Islam dan penjaga situs tersuci umat Islam yang berencana mengakui Israel. Jika Arab Saudi mengakui Israel, akan membuka keran pengakuan atau katakanlah seperti lampu hijau bagi negara muslim lainnya untuk mengakui kedaulatan Israel.
Meski begitu, prosesnya akan lama dan bertahap. Berangkat dari ikatan ekonomi, kemudian keamanan, dan akhirnya pengakuan diplomatik. Begitulah kelanjutannya. Itulah yang diisyaratkan oleh sebagian besar laporan.
Apa yang dibicarakan dalam pembicaraan rahasia ini?
Ada dua hal. Berkoalisi dalam dalam percaturan geopolitik Asia Barat dan beberapa isyarat niat baik untuk perdamaian kedua negara. Israel punya dua alat tawar menawar yang sangat bagus yakni TIran dan Sanafir.
Keduanya merupakan dua pulau strategis di Laut Merah. Arab Saudi ingin kontrol penuh atas kedua pulau ini, dan untuk itu mereka membutuhkan persetujuan Israel. Sekarang pasukan perdamaian internasional sedang  ditempatkan di kedua pulau ini. Tetapi jika Israel setuju, Riyadh dapat mengambil kendali penuh.
Jadi, itulah yang diinginkan Arab Saudi. Lalu apa yang diperoleh Israel sebagai gantinya? Pengusaha Israel akan diizinkan untuk mengunjungi Arab Saudi, ditambah pesawat komersial dari Israel akan diizinkan terbang melewati wilayah udara Saudi. Bisa dibilang fair trade.
Kedua belah pihak juga berharap, kemitraan mereka akan tumbuh menjadi sesuatu yang substansial. Dan mungkin pada akhirnya hubungan diplomatik penuh.
Tapi kenapa sekarang? Arab Saudi adalah salah satu pendukung terbesar Palestina. Kebijakan luar negeri mereka selalu jelas, pertama kubur Palestina kemudian kita bahas normalisasi. Itulah yang  orang Saudi katakan. Jadi kenapa kerajaan memutar balik sikap yang sudah bertahan selama berabad-abad ini? Ada empat alasan.Â
Alasan nomor satu, karena perang yang menyebabkan isu Palestina (Palestine cause) sudah tidak populer lagi. Dua pertiga penduduk Saudi berusia di bawah 35 tahun. Jadi, dua pertiga penduduk Saudi tidak pernah melihat perang Nakba atau Arab-Israel. Bagi mereka Palestina tidak membangkitkan emosi yang sama seperti pendahulu mereka tapi yang mereka saksikan adalah bom yang ditembakkan dari tetangga mereka Yaman.
Yang menjadikannya alasan nomor dua yakni ancaman proksi Iran. Iran memerangi koalisi Saudi di Yaman. Iran menargetkan fasilitas minyak Saudi dengan drone. Bagi Riyadh, yang lebih mendesak di depan mata adalah prioritas untuk menahan pengaruh Iran. Nyatanya pejabat Saudi telah mengakui hal ini. Inilah yang mereka katakan saya kutip dari WJS, "Jika Hamas membangun hubungan dengan Iran untuk melindungi diri mereka sendiri lalu mengapa kita tidak punya hubungan dengan Israel melawan Iran untuk melindungi  diri kita sendiri?"
Arab Saudi mulai mempertimbangkan petuah strategis klasik, "musuh dari musuhmu adalah temanmu."
Alasan nomor tiga adalah takut tertinggal. UEA telah melangkah maju untuk menormalkan hubungan dengan Israel. Mereka juga telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Israel. Dalam lima tahun perdagangan bilateral keduanya diperkirakan akan menyentuh 10 miliar dolar. Uang ini bisa saja menjadi milik Arab Saudi kecuali jika UEA mendahului mereka.
Jadi jika Riyadh terus menunggu di sela-sela, mereka akan  tertinggal, uang dan teknologi Israel akan pergi ke tempat lain. Tentu saja Arab Saudi tidak ingin itu terjadi. Itulah sebabnya mereka melakukan pembicaraan rahasia.
Alasan nomor empat adalah broker yang terlalu antusias di Washington DC. Broker itu adalah Joe Biden. Biden butuh kesepakatan ini lebih dari Israel dan  Arab Saudi. Kedua negara menolak untuk berpihak dengan AS untuk melawan Rusia. Perdana menteri Israel terbang ke Moskow, putra mahkota Saudi menolak panggilan Biden.Â
Artikel terkait: Salah Diplomasi, Panggilan Telepon Biden Ditolak Pemimpin Saudi dan UEA
Jadi apa yang dilakukan Biden? Melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan Vladimir Putin yakni menengahi pembicaraan normalisasi antara Arab Saudi dan Israel.Â
Beruntung bagi Biden, putra mahkota Muhammad bin Salman (MBS) sepakat. Anggaplah sebagai pergeseran generasi. MBS baru berusia 36 tahun, pendahulunya mungkin telah terikat oleh komitmen terhadap Palestina  tapi tidak dirinya. MBS juga telah tumbuh di dunia di mana merangkul Israel adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Berikut saya kutip sebuah pernyataan MBS dari sebuah wawancara dengan The Atlantic Maret tahun ini
"kami tidak melihat Israel sebagai musuh. Kami melihat mereka sebagai sekutu potensial dengan banyak kepentingan yang dapat kita kejar bersama tetapi kita harus menyelesaikan beberapa masalah sebelum melakukannya."
"Menyelesaikan beberapa masalah" katanya, tapi hanya satu sebenarnya. Dan masalah itu adalah Palestina. Bisa dibilang kesepakatan normalisasi ini menelantarkan Palestina. Bagaimana tidak, Turki berbicara dengan Israel, UEA menjabat tangan Israel, Arab Saudi juga sedang berbicara dengan Israel. Semua sekutu Palestina meninggalkan mereka. Pada dasarnya memberikan Israel izin bebas menentukan apa yang akan dilakukan dengan Palestina.
Itulah sebabnya politik domestik di Israel menjadi semakin penting. Bendera-bendera demonstrasi sayap kanan  di Jerusalem yang menunjukkan dukungan terhadap solusi dua-negara (two-state solution) juga telah memudar. Bahkan perdana menteri saat ini Naftali Bennett menentangnya.
Tetapi posisi politik Bennet tidak solid saat ini. Parlemen Israel memberinya pukulan besar. Anggota parlemen memberikan suara pada proposal rutin untuk menegakkan hukum Israel dalam pendudukan Tepi Barat (Yudea dan samaria) yang merupakan bagian dari wilayah negara Palestina.
Proposal ini disahkan setiap lima tahun tapi kali ini ditolak. Oposisi memperoleh 58 suara dan koalisi penguasa mendapatkan 52. Sekarang jangan salah artikan dengan aktivis Palestina, karena ini murni politik. Oposisi bukan sedang menjadi aktivis Palestina tapi mereka ingin mengirim pesan ke Naftali Bennett untuk mengekspos kelemahan politiknya dan pesan itu berhasil. Jadi meski selanjutnya proposal ini akan disahkan tapi voting ini berhasil  mengungkap kerentanan Bennett.
Jika Bennett kehilangan mayoritas mungkin akan ada pemilihan atau koalisi lain. Jadi bennett membutuhkan kemenangan pada kebijakan luar negeri. Dan saya kira tak ada yang lebih baik daripada memenangkan konsesi dari pemimpin dunia Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H