Pada awal invasi Putin ke Ukraina, solidaritas negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa mengecam keputusan Putin tersebut.
Namun, solidaritas Eropa bukanlah jaminan bagi presiden Volodymyr Zelensky untuk menerima semua bantuan yang dibutuhkan Ukraina.Â
Apa mau dikata, kecaman itu mudah dilontarkan, begitu juga retorika politik. Namun, pada akhirnya orang akan melihat bagaimana kita bertindak sesuai retorika yang kita koarkan. Malang bagi Zelensky, Eropa masih terpecah dalam menindak kecamannya.
Kubu pertama berisi negara-negara Eropa barat seperti Perancis, Italia, dan Jerman yang lebih kaya dan berpengaruh. Mereka ini yang memainkan pertunjukan di ibu kota Uni Eropa di Brussel.
Di kubu seberang ada negara-negara Eropa timur seperti Polandia dan negara-negara Baltik. Keuangan mereka tidak sekaya negara yang di Barat. Mereka juga baru merapat ke Uni Eropa, sehingga hanya memainkan peran pendukung di Brussel.
Dalam konflik Ukraina, semua pembicaraan kubu barat mengklaim dukungannya kepada Ukraina, tapi masih tetap mengimpor gas Rusia, artinya mereka masih berbicara dan berjabat tangan dengan Vladimir Putin.
Kubu timur, jauh lebih aktif menunjukan integritas retorikanya. Misal, Polandia yang menyambut hampir 2 juta pengungsi dari Ukraina, sementara Inggris pilih-pilih pengungsi mana yang akan diterima. Lalu, Slovakia yang menawarkan rudal S300 kepada Ukraina, sementara Jerman hanya menawarkan 5.000 helm.
Artikel terkait: Bantuan 5.000 Helm Dianggap Lelucon, Berikut 3 Alasan Jerman Setengah Hati Bantu Ukraina
Kubu timur terlihat lebih mengerahkan segala kemampuannya daripada barat untuk membantu Ukraina.
Tapi perbedaan terbesar adalah tanggapan keduanya terhadap keanggotaan Uni Eropa Ukraina. Perbedaan ini terlihat jelas di KTT UE di Versailles minggu lalu (10-11/3).
Dari kubu timur, PM Latvia Krisjanis Karins menanggapi, "Saya pikir itu (keanggotaan UE Ukraina) sangat penting bahwa kita sebagai anggota Uni Eropa dapat mengambil keputusan ini, dan memberi sinyal yang sangat jelas bahwa kami ingin Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa." Dikutip dari Reuters.
Jelas, Latvia ingin agar Ukraina bergabung dengan UE. Sedangkan kubu barat masih tidak yakin untuk menerima Ukraina ke dalam UE.
Kenapa saya bilang begitu? Sebab begini tanggapan PM Belanda Mark Ruut ketika ditanya tentang keanggotaan Ukraina:
"Aksesi Ukraina adalah sesuatu untuk jangka panjang. Tergantung komisi untuk menilai aplikasi keanggotaan dan kemudian dewan untuk mengambil pandangan tentang ini. Tetapi itu akan memakan waktu berbulan-bulan mungkin bertahun-tahun." Dikutip dari Reuters.
Jadi, apa yang menyebabkan perbedaan ini? Ada tiga hal yang bisa saya simpulkan: geografi, sejarah, dan ekonomi.
Secara geografis, negara-negara Eropa timur lebih dekat ke Rusia dan Ukraina. Sehingga perang punya dampak langsung kepada mereka. Akan ada lebih banyak pengungsi dan senjata di perbatasan mereka.
Pada dasarnya ada lebih banyak risiko dibandingkan dengan Eropa barat yang lebih terisolasi dari perang, sehingga akan ada lebih sedikit pengungsi dan senjata, serta jauh dari radar Rusia.
Alasan kedua adalah sejarah. Eropa barat punya masa lalu penjajahan. Entah itu Perancis, Jerman, Spanyol, atau Portugal, mereka terbiasa menginvasi bukannya diinvasi.Â
Sangat berbeda dengan Eropa timur yang masa lalunya diinvasi oleh NAZI Jerman. Beberapa dari mereka adalah bagian dari Uni Soviet sehingga Eropa timur mengerti apa yang sedang dialami Ukraina, begitu juga dengan dukungan yang harus diberikan.
Alasan ketiga adalah ekonomi. Eropa barat tampak menempatkan ekonomi di atas prinsip. Karena pada akhirnya, ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia. Itu adalah prinsip dasar yang hampir mustahil bisa dienyahkan manusia ke bawah prinsip manapun.Â
Jadi, kubu barat ingin tetap membeli gas Rusia yang lebih murah makanya menginginkan akses ke pasar Rusia.
Karenanya, pemimpin-pemimpin seperti Emmanuel Macron dan Olaf Scholz terus menjalin hubungan dengan Rusia. Pada tingkat tertentu, mereka masih berusaha agar tidak membuat Putin marah besar.Â
Tidak hanya tentang perang yang sedang berlangsung di Ukraina, tapi juga tentang gambaran yang lebih besar tentang bagaimana Eropa menangani pengganggu seperti Rusia dan China. Eropa barat lebih suka main aman. Mereka tidak di bawah ancaman langsung sehingga tidak ingin membawa masalah ke rumah masing-masing.
Eropa timur lebih memilih sikap yang lebih keras. Saat Lithuania menyatakan sikap melawan China, semua negara Baltik membela Lithuania, sebaliknya Eropa barat ingin menghindari konflik dengan Beijing.
Perpecahan ini membuat Uni Eropa tidak relevan. Agar tidak angin-anginan, setiap keputusan di Uni Eropa membutuhkan solidaritas penuh dari seluruh 27 anggota, yang sayangnya tidak terjadi sekarang. Tidak pada sanksi, keanggotaan Ukraina, juga pada gas Rusia.Â
Invasi Putin adalah momen penting dalam eksperimen besar Eropa. Idenya adalah untuk mengikat benua Eropa ke dalam satu pasar dan mata uang tunggal. Untuk jangka panjang, (siapa tahu) mungkin satu pertahanan dan kebijakan luar negeri. Namun dengan adanya perpecahan ini, semua itu tidak mungkin terjadi.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa perang ini menjadi titik balik bagi Uni Eropa? Mengapa Brussel mengundang negara yang sedang dilanda perang, apalagi negara yang berada di depan pintu Rusia?
Lagipula, setelah bergabung dengan Uni Eropa berarti negara tersebut harus punya banyak komitmen seperti membuka perbatasan dan aturan umum seperti anti korupsi, dan lain sebagainya. Ukraina belum siap untuk semua itu. Alih-alih mengatakan yang sebenarnya di awal, Eropa malah menawarkan harapan (palsu).
Mereka mengatakan Ukraina adalah bagian dari keluarga Eropa, karena Ukraina membela nilai-nilai Eropa. Berikut saya kutip apa yang dikatakan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di KTT Versailles minggu lalu:
"Orang Ukraina menunjukkan keberanian yang luar biasa, dan orang-orang yang berdiri dengan sangat berani untuk nilai-nilai Eropa jelas merupakan bagian dari keluarga bangsa Eropa."
Jadi, saat ini Eropa punya dua keinginan: Tidak ingin dilihat sebagai sebuah keluarga yang meninggalkan anggota keluarganya, tapi pada saat yang sama tidak ingin memeluk erat Ukraina yang sedang dilanda musibah. Sudah tentu, masing-masing punya punya alasan tersendiri dalam mengambil tindakannya.Â
Artikel terkait: Reaksi Pemimpin-Pemimpin Dunia Menanggapi Perang Rusia vs Ukraina
Dari apa yang tampak, saya kira untuk saat ini Kiev memang punya banyak teman di Eropa, tetapi tidak keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H