Saya kutip apa yang Nadal katakan dalam presentasi film dokumenter tentang akademi tenisnya, Kamis (16/9/2021):
"Untuk waktu yang lama saya tidak bisa berlatih. Terkadang saya pergi ke lapangan dan bisa berlatih selama 20 menit, kadang-kadang 45, kadang-kadang nol, kadang-kadang dua jam tapi sangat...sangat susah."
Nadal bisa menyerah, dia tidak perlu membuktikan dirinya kepada siapa pun, dan pasti tidak mengincar uang dari turnamen tersebut, tapi dia terus maju karena itulah yang dilakukan para juara. Alih-alih mengandalkan bakat, mereka membentuk bakat itu.
Tujuan utama mereka bukan hanya untuk menang, tetapi untuk mencapai kesempurnaan. Tidak setiap olahragawan punya motivasi seperti itu, itulah kenapa ada dua tipe atlet. Yang pertama tipe underachiever, tipe yang para penggemar dan komentator biasa sukai karena melihat kilatan bakat mereka, tetapi catatan prestasi mereka tidak bikin terkagum.
Kemudian tipe kedua, tipe seperti Rafael Nadal yang telah menyadari potensi mereka yang sebenarnya. Mereka sudah menentukan dan bertekad menjalani kehidupannya.
Hal ini tentu tidaklah mudah. Seandainya mudah, mungkin sudah ada ratusan Nadal. Jalan menuju kebesaran jarang dilalui bukan karena orang tidak dapat menemukan jalannya, tetapi karena perjalanan itu sulit. Bertahun-tahun latihan, memulihkan diri dari cedera, tekanan menjadi mega bintang, ekspetasi yang tinggi dari publik; tidak semua orang berkeinginan menghadapi semua tantangan ini.
Untuk melakukan semua itu, Nadal membagikan resepnya yang saya kutip dari film dokumenter petenis tersebut: kerja keras, dedikasi, temperamen, dan pertimbangan matang.Â
Terima kasih sudah berbagi, juara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H