Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Paralel Antara Krisis Ukraina dan Taiwan

5 Februari 2022   10:32 Diperbarui: 7 Februari 2022   01:45 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbincang-bincang dalam pertemuan mereka di Beijing, China, Jumat (4/2/2022). Foto: AP/SPUTNIK/ALEXEI DRUZHININ via Kompas.id

Setiap negara mengawasi dengan cermat krisis Rusia-Ukraina, tetapi dua negara yang mengawasi ekstra cermat adalah China dan Taiwan. Bagi mereka ini bukan krisis yang jauh dari keamanan mereka, sebaliknya krisis kali ini merupakan template: masa depan seperti apa yang terlihat di sana.

China ingin memastikan apa saja kelemahan barat. Misalnya mengukur bagaimana kekuatan ikatan persaudaraan negara-negara Uni Eropa dan NATO. Sebagian besar aliansi ini mendukung Ukraina, betapa bersemangatnya mereka mendukung Ukraina, kita sudah melihat banyak bantuan militer tetapi tidak ada pasukan yang dikirim langsung ke Ukraina, kecuali Amerika. 

Mereka juga belum melakukan sanksi apapun terhadap Rusia. Sejauh ini hanya Amerika Serikat yang sedikit bersuara keras mengecam Rusia.

Bahkan hingga kini strategi barat seolah, "kami akan jadi cheers leader dari pinggir tetapi tidak ikut masuk ke lapangan pertandingan."

Tapi, bisa dipahami kenapa Uni Eropa seolah tiba-tiba mengalami gangguan pita suara: musim dingin belum berakhir dan kebanyakan negara Eropa butuh suplai energi Rusia untuk menghangatkan warganya. (Yang mana, itu adalah langkah bijaksana, karena tugas negara adalah mengutamakan rakyatnya.)

Artinya, terjadi konflik di daratan Eropa namun negara-negara Eropa kesulitan untuk bersatu. Apa yang akan dilakukan jika perang terjadi ribuan mil jauhnya dari Eropa, seperti Taiwan di Pasifik, apa Uni Eropa akan memperjuangkan HAM dan demokrasi seperti yang selama ini digaungkan? Bisa saja, tapi tidak akan seagresif sebelumnya. 

Misalnya Jerman, dari krisis Ukraina-Rusia, satu saluran pipa gas mampu memastikan Jerman tetap berada dalam pagar. Okelah ada 5.000 helm yang ingin dikeluarkan dari sana.

Baca juga: Bantuan 5.000 Helm Dianggap Lelucon, Berikut 3 Alasan Jerman Setengah Hati Bantu Ukraina

Sekarang, bayangkan seberapa besarnya USD258 miliar (3.715,3 triliun rupiah), sebesar itulah angka yang diperdagangkan Jerman dan China satu sama lain, dilansir dari Aljazeera. 

Jadi bisakah Taiwan mengandalkan kekuatan barat kali ini? Apakah diplomasi-diplomasi yang diwartakan ke publik selama ini hanyalah gertakan semata (perang dingin 2.0), atau akankah Amerika benar-benar berjuang demi Taiwan?

Karena, sementara Rusia mempersiapkan pasukannya di perbatasan Ukraina, China pun sudah mulai mempersiapkan pasukannya di perbatasan Taiwan. 

Baca juga: Strategi Militer China di Perairan Taiwan dan Jepang, Akankah Jepang Bergabung dengan AUKUS?

Pada titik ini, sulit untuk mengabaikan 'keparalelan' situasi Ukraina dan Taiwan. 

Putin menganggap Ukraina sebagai provinsi Soviet yang telah lama hilang, China berpikiran sama tentang Taiwan. Pertahanan Ukraina bertumpu pada apa yang ditawarkan Amerika, begitu juga Taiwan. Kedua negara juga sama-sama memperoleh bantuan militer senilai miliaran dolar dari AS.

Kasus mereka sangat mirip. Apakah itu berarti bahwa Taiwan akan menjadi titik krisis berikutnya?

Ilustrasi oleh David Klein (Sumber: Wall Street Journal)
Ilustrasi oleh David Klein (Sumber: Wall Street Journal)

Ukraina dikelilingi oleh sekutu Amerika dan juga dekat dengan benteng NATO. Namun belum menjamin kedaulatan Ukraina.

Secara Geografis, Ukraina berbeda dengan Taiwan yang bermil-mil jauhnya ke arah Pasifik, tapi, akankah sekutu regional Amerika melangkah keluar dari pagarnya ketika saat Taiwan mendapat ancaman? Yang jelas, belum ada kepastian.

Memang ada Jepang yang merupakan negara pasifis. Tapi, India mengesampingkan kemajuan militer atau aliansi. Faktanya, sumber daya NATO tidak terlalu difokuskan di pasifik setidaknya tidak seperti di Eropa, yang mengatakan ada beberapa kabar baik. Kabar baik pertama, Amerika punya hubungan yang lebih baik dengan Taiwan daripada dengan Ukraina.

Secara hukum AS tidak punya kewajiban untuk melindungi Ukraina karena bukan anggota NATO jadi bukan bagian dari lingkup keamanan Amerika.

Di sisi lain Taiwan lebih merupakan bagian dari lingkup itu. Pada tahun 1979 AS mendeklarasikan Taiwan Relations Act, dalam kebijakan itu AS berjanji untuk membela Taiwan. Selain itu, pada tahun 1958 AS pernah mempertimbangkan untuk membom China selama krisis Taiwan pertama. Jadi Joe Biden punya "izin hukum" untuk campur tangan kali ini.

Kedua, China bukan Rusia. Tidak ada yang percaya bahwa Rusia merupakan tandingan AS. "Kalau Washington ingin, mereka bisa menghantam Moskow." begitulah kata mereka, sebagian besar pembuat kebijakan barat, yang melihat Rusia sebagai suatu kekuatan yang sudah menurun jauh. Bahkan jika Rusia menyerang Ukraina, publik tidak akan melihatnya sebagai penghinaan.

Berbeda kalau China menginvasi Taiwan dan Washington tidak menggerakkan jari, maka akan menjadi penghinaan bagi AS. Itu akan menjadi penerimaan kesamaan kedigdayaan China dengan AS. Jadi Joe Biden mungkin bertindak lebih agresif ketika yang akan diinvasi adalah Taiwan.

Meski begitu, ini semua hanya dugaan. Apa pun masa depan Taiwan, tergantung pada banyak variabel. Selera China untuk permainan jangka panjang, "mengalah sekarang untuk kemenangan yang lebih besar di depan" (Misal, cara China membuat Jerman bergantung padanya); pendekatan metodis Xi Jinping terhadap strategi lincah putin, dan tentu saja dukungan domestik Joe Biden dalam peperangan. Semua hal ini akan menentukan masa depan Taiwan. 

Namun ada prospek yang lebih berisiko yaitu dua perang di depan mata, jika Rusia dan China bergandengan tangan: Rusia menyerang Ukraina dan China menyerang Taiwan secara simultan.

Jika itu terjadi, barat harus memilih untuk menghindari skenario yang lebih berisiko. Amerika perlu mengirim pesan tentang keseriusan dan kedigdayaannya sekarang, dan pesan itu harus segera didengar di Beijing, "kalau sampai menyerang, akan ada konsekuensi!"

Konflik di Ukraina sekarang akan menjadi perempatan lampu merah. Dan jika Biden lengah membiarkan Putin merebut Ukraina, Xi Jinping dapat melihatnya sebagai lampu hijau, tanda kelelahan perang dan melemahnya AS. Xi Jinping akan benar-benar melancarkan invasinya ke Taiwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun