Kedua, China bukan Rusia. Tidak ada yang percaya bahwa Rusia merupakan tandingan AS. "Kalau Washington ingin, mereka bisa menghantam Moskow." begitulah kata mereka, sebagian besar pembuat kebijakan barat, yang melihat Rusia sebagai suatu kekuatan yang sudah menurun jauh. Bahkan jika Rusia menyerang Ukraina, publik tidak akan melihatnya sebagai penghinaan.
Berbeda kalau China menginvasi Taiwan dan Washington tidak menggerakkan jari, maka akan menjadi penghinaan bagi AS. Itu akan menjadi penerimaan kesamaan kedigdayaan China dengan AS. Jadi Joe Biden mungkin bertindak lebih agresif ketika yang akan diinvasi adalah Taiwan.
Meski begitu, ini semua hanya dugaan. Apa pun masa depan Taiwan, tergantung pada banyak variabel. Selera China untuk permainan jangka panjang, "mengalah sekarang untuk kemenangan yang lebih besar di depan" (Misal, cara China membuat Jerman bergantung padanya); pendekatan metodis Xi Jinping terhadap strategi lincah putin, dan tentu saja dukungan domestik Joe Biden dalam peperangan. Semua hal ini akan menentukan masa depan Taiwan.Â
Namun ada prospek yang lebih berisiko yaitu dua perang di depan mata, jika Rusia dan China bergandengan tangan: Rusia menyerang Ukraina dan China menyerang Taiwan secara simultan.
Jika itu terjadi, barat harus memilih untuk menghindari skenario yang lebih berisiko. Amerika perlu mengirim pesan tentang keseriusan dan kedigdayaannya sekarang, dan pesan itu harus segera didengar di Beijing, "kalau sampai menyerang, akan ada konsekuensi!"
Konflik di Ukraina sekarang akan menjadi perempatan lampu merah. Dan jika Biden lengah membiarkan Putin merebut Ukraina, Xi Jinping dapat melihatnya sebagai lampu hijau, tanda kelelahan perang dan melemahnya AS. Xi Jinping akan benar-benar melancarkan invasinya ke Taiwan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H