Bayang-bayang lockdown yang sama, bayangan tidak berkeja dan kesulitan mencari nafkah, bayangan putus asa ini, dan mudah menyerah pada pandemi. Ada istilah klinis untuk ini yaitu pandemic fatigue atau kelelahan pandemi.
Saya yakin kita semua pernah merasakannya di beberapa titik dalam 21 bulan terakhir, memakai masker, satu tahun lockdown, berjam-jam dihabiskan untuk mencuci tangan atau menyemprot disinfektan, semua ini bikin jenuh dan melelahkan.
Mungkin ada yang belum pernah melihat keluarga setidaknya sejak tahun lalu, mungkin ada yang belum berlibur atau menghadiri pesta, ini secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan mental kita.
Selama pandemi, kasus depresi meningkat 27,6 persen dan kasus kecemasan naik 25,6 persen. Dua tahun terakhir telah menguras emosi dan fisik kita.
Ada yang mungkin merasa seperti "apa gunanya semua ini?" sepertinya tiang terus bergeser setiap kali kita sampai di depan gawang. Melakukan dua kali suntikan vaksin, tiba-tiba butuh booster, mencapai herd immunity tiba-tiba varian baru muncul.Â
Pandemic fatigue bikin rasanya ingin menyerah. Tapi sekedar mengingatkan bahwa sekarang bukan saatnya untuk menyerah. Sekarang saatnya untuk lebih waspada menghadapi pukulan (semoga yang) terakhir demi dua tahun perjuangan yang melelahkan.
Bagaimana kita melakukannya? dengan membuka kembali buku pedoman lama, panduan tahun 2020 tentang cara bertahan dari pandemi.Â
Saya selalu mengingatkan diri, jika 2021 mulai terasa tanpa harapan, saya pikirkan kembali tahun 2020 saat kita belum punya vaksin, obat-obatan hampir habis di setiap apotik, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat terkena infeksi, namun di sinilah kita, para penyintas yang selamat. Kita berhasil bertahan melalui pengekangan dan disiplin.
Saya masih ingat besarnya rasa syukur saat vaksin pertama kali diluncurkan, bahkan sempat saya curhat-kan ke artikel Menanti Bumi Miring Menuju Harapan.
Terus terang keadaan sudah berubah, tahun ini vaksin 2021 bikin kita puas. Orang kembali ke bar, mulai bepergian lagi, beberapa bahkan melepas masker. Apa yang bikin kita begitu percaya diri? Vaksin.Â
Vaksin seharusnya menjadi perisai kita, tapi kita memperlakukannya seperti jaket tembus pandang. Vaksin seharusnya jadi pemutus rantai antara infeksi dan kematian, bukannya tidak terinfeksi dan terinfeksi. Di sinilah pemerintah memainkan peran besar, tapi sejauh yang kita lihat, himbauan tidak se-melegakan vaksin.