Jadi, bisa saja pengamatan Jack Ma benar adanya kalau kita menyandingkan perkiraan PBB dengan pengamatan Harari, alhasil: semakin sejahtera, orang-orang semakin tidak ingin punya anak.Â
Nah kita sendiri di Indonesia punya pepatah lama "banyak anak, banyak rezeki." Pertanyaannya, kalau orang sudah punya banyak rezeki (kesejahteraan), apa masih mau nambah rezeki lagi melalui anak?Â
Apa itu tidak serakah namanya? Itu salah satu pertanyaan konter dari pemilih child free, yang muncul di kepala saya.
Setiap masyarakat punya barometernya masing-masing, untuk mengukur seberapa ideal kehidupan seseorang seperti pendidikan, pernikahan di usia tertentu, jumlah anak tertentu, dan pekerjaan tertentu. Beda masyarakat beda pandangan terhadap kehidupan ideal ini.
Kebanyakan, kehidupan ideal di masyarakat dengan budaya tradisional artinya yah harus sekolah dulu, punya pekerjaan, nikah, baru deh punya anak.Â
Setelahnya, kita kudu mengajar anak-anak untuk mengulangi hal yang sama, biar tidak hilang nilai-nilai budaya ideal itu. Kalau tidak begitu kita beresiko dianggap tidak normal. Memilih untuk tidak memiliki anak alias childfree dianggap sebagai penyimpangan dari norma budaya.
Meski begitu, di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tren childfree meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam penelitian Tomas Frejka di tahun 2016 yang berjudul Childlessness in the US, Frejka menemukan kalau di Amerika Serikat jumlah masyarakat yang memilih childfree meningkat dari 10% di tahun 1970-an ke 20% di tahun 2000-an.
Di Australia, Biro Statistik Australia memprediksi kenaikan jumlah pasangan yang memilih child free akan meningkat dari 2023-2029. Di Asia pun sama terutama Jepang, China, dan Korea Selatan.
Tentu saja ada alasan kenapa orang-orang mulai memilih trend child free. Dalam bukunya yang berjudul Child Free and Happy Victoria Tunggono menyebutkan, ada lebih dari 50 alasan mengapa orang memilih child free.Â