Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelajaran Kebhinekaan dari Kegagalan AS di Afghanistan

30 Agustus 2021   11:41 Diperbarui: 30 Agustus 2021   12:30 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejatuhan spektakuler negara Afghanistan yang didukung AS selama 20 tahun ke tangan Taliban telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh dunia. Runtuhnya Tentara Nasional Afganistan (ANA), pelarian Presiden Ashraf Ghani, dan kekacauan berikutnya pasti akan membayangi kredibilitas AS dalam konteks situasi keamanan regional yang semakin tak terduga.

Gambar-gambar putus asa dari orang-orang Afghanistan yang berusaha keluar dari Kabul minggu ini menorehkan titik penting dalam sejarah dunia. Keruntuhan pemerintahan Afghanistan yang didukung Amerika Serikat menandakan bahwa akhir era Amerika telah tiba jauh lebih pagi.

Tentu saja Paman Sam akan tetap menjadi suatu kekuatan besar selama bertahun-tahun ke depan tapi seberapa besar pengaruhnya di dunia akan tergantung pada kemampuannya untuk memperbaiki masalah internal, daripada kebijakan luar negerinya. 

Mulai dari runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 hingga ke seputaran krisis keuangan pada 2007-09 merupakan periode puncak hegemoni Amerika yang berlangsung kurang dari 20 tahun.

AS dominan dalam banyak bidang saat itu antara lain militer, ekonomi, politik, dan budaya. Puncak keangkuhan Amerika adalah invasi militer Irak pada tahun 2003, ketika itu mereka mengharapkan membantu tidak hanya Afghanistan (setelah diduduki dua tahun sebelumnya) dan Irak, tetapi seluruh Timur Tengah.

Negara adidaya ini sudah salah melebih-lebihkan efektivitas kekuatan militer untuk membawa perubahan politik yang bersifat fundamental.

Gambaran suram dari Afghanistan memproyeksikan batas kekuatan militer Amerika dan ketidaksesuaian antara tujuan dan alat yang tersedia untuk mencapainya. Amerika dilaporkan telah menghabiskan dana militer sebesar US$ 83 miliar (Rp 1.189 triliun) di Afghanistan (dikutip dari nytimes, 14/8/2021), tapi tetap saja, banyak orang yang menyatakan ketidakberhasilan AS dalam pembangunan di sana, setidaknya kenyamanan bernegara.

Namun masa depan kekuatan Amerika tidak terlalu bergantung pada kekuatan militer daripada pada perubahan demografis yang terjadi di AS sendiri. 

Jika kita menyimpulkan hasil pengamatan Hans Rosling, pria yang menghabiskan separuh hidupnya mengamati demografi dunia, maka dalam dua dekade mendatang Amerika akan berevolusi dari negara mayoritas kulit putih menjadi "negara pluralitas" yaitu sebuah negara di mana tidak ada kelompok ras atau etnis yang menjadi mayoritas. 

Amerika harus mencari cara untuk memanfaatkan manfaat besar dari keberagaman suku bangsa, atau membiarkan ketegangan demografis menghancurkannya.

Saat melihat peta arus apa pun dari dan ke AS misalnya aliran uang, barang, jasa, orang, dan data, terlihat bahwa garis paling tebalnya selalu mengarah ke Eropa. Lebih jauh, pada peta aliansi militer, atau konsulat, atau kota kembar, dan tingkat hubungan Amerika Serikat dengan Eropa akan kembali menonjol. 

Namun hal itu bukan tanpa sebab. Dalam buku berjudul "Factfulness" yang sempat saya singgung sebelumnya (lihat di sini), Rosling mengungkapkan pengamatannya terhadap demografi AS. Antara tahun 1870 dan 1900, Amerika menerima gelombang imigran. Hampir 11 juta imigran Eropa datang ke Amerika, bersamaan dengan sekitar 250.000 dari Asia (sebagian besar dari China) dan hampir 100.000 dari Amerika Tengah dan Selatan. 

Populasi Amerika pada dasarnya berlipat ganda selama periode ini, dari 38 juta jiwa menjadi 76 juta. Pada tahun 1900, jumlah itu juga mencakup sekitar 9 juta orang Amerika keturunan Afrika, hampir semuanya merupakan keturunan dari para budak yang dibawa secara paksa ke AS, sehingga sebagian besar asal-usul budak ini tidak dapat dilacak, apalagi mengembangkan hubungan ekonomi atau budaya dan membawanya kembali ke tanah air asal mereka.

Selama abad ke-20, gelombang baru imigran menetap dan terintegrasi ke dalam ekonomi dan masyarakat, menciptakan banyak prasangka (pengambilalihan tanah air) dan hambatan.

Antara tahun 1965 - 1990 gelombang besar imigran lainnya memasuki negara itu, tetapi kali ini mereka datang secara besar-besaran dari Amerika Tengah dan Selatan, Asia, dan Afrika. 

Undang-undang imigrasi bisa saja diubah-ubah, tetapi sesampainya di AS, para imigran melakukan apa yang selalu mereka lakukan yaitu mendapatkan pekerjaan, pergi ke sekolah, memiliki keluarga, mencalonkan diri untuk jabatan, dan mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan.

Sepanjang waktu itu, mereka menjangkau kerabat, teman, dan kontak dari manapun negara asal mereka, mempertebal untaian jaringan komersial, budaya, dan sipil. 

Sebuah studi dari tahun 2017 (lihat di sini)menyimpulkan bahwa peningkatan 10% pada imigran baru-baru ini ke negara bagian Amerika meningkatkan impor dari negara asal mereka sebesar 1,2% dan ekspor ke negara tersebut sebesar 0,8%. 

Sebuah studi National Bureau of Economic Research pada tahun 2015 (lihat di sini) lebih lanjut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan satu poin persentase imigran dari negara tertentu ke pasar tenaga kerja lokal membuat perusahaan di daerah itu mengekspor 6% hingga 10% lebih banyak layanan ke negara tersebut.

Kembali lagi ke pengamatan Rosling, suatu saat di tahun 2040-an Amerika secara keseluruhan akan menjadi negara tanpa mayoritas ras atau etnis. 

Sebagai sebuah bangsa, Amerika akan memiliki distribusi keluarga dan budaya yang jauh lebih merata ke setiap benua dan akan menjadi jalur potensial pertumbuhan ekonomi dan pengaruh diplomatik dan budaya. 

Namun, untuk memanfaatkan sepenuhnya keuntungan menjadi negara pluralitas, orang Amerika harus berpikir secara berbeda tentang identitas dan kekuasaan. 

Menurut Rosling, kunci sukses AS di abad ke-21, di dalam dan luar negeri yang bisa dijadikan pelajaran bagi bangsa lain, adalah mendefinisikan identitas Amerika sebagai identitas plural. Orang Amerika bisa menjadi plures et unum, menjadi banyak dan satu pada saat yang sama. 

Konsep identitas yang luas itu akan memungkinkan AS untuk terhubung ke seluruh dunia dan merayakan keberagaman budaya sambil secara bersamaan bangga terhadap suatu negara yang cukup besar untuk menampung berbagai suku bangsa.

Dan saya pikir, hal ini juga sama dengan yang dibayangkan Soekarno dkk sewaktu membentuk NKRI. Baca kembali kepanjangannya "Negara Kesatuan Republik Indonesia", pendiri bangsa pun bermimpi agar kita menjadi bangsa yang besar yang dapat menampung berbagai suku bangsa.

Untuk membuat retorika ini menjadi kenyataan, setiap negara (paling tidak negara adidaya) harus membayangkan dan menerapkan kebijakan migrasi abad ke-21 yang tidak hanya untuk imigran tetapi juga untuk emigran dan orang-orang yang memiliki tempat tinggal di banyak negara.

Tujuannya adalah untuk menarik potensi SDM tetapi juga untuk berbagi potensi itu dengan negara asal, untuk memungkinkan warga negara dan penduduknya bergerak bolak-balik ke negara lain, untuk bekerja dan hidup, dan untuk melengkapi kehidupan digital dengan kehadiran fisik. 

Visi ini mungkin tampak seperti mimpi terburuk konservatif Amerika yang menjadi ketakutan Donald Trump dan pendukungnya sehingga menjadi begitu brutal. 

Saya teringat mantan perdana menteri Inggris, Theresa May pernah mencemooh dengan mengatakan: 

"Jika Anda percaya bahwa Anda adalah warga dunia, Anda adalah warga negara mana pun." 

Salah satu kesalahan besar yang dilakukan oleh para peminat globalisasi adalah merangkul yang global dengan mengorbankan yang lokal. 

Kenyataan sekarang adalah bahwa sangat mungkin dan perlu untuk merayakan dan mendukung identitas lokal yang berakar pada satu atau lebih komunitas fisik. 

Jadi setiap orang bisa datang "dari suatu tempat", sementara juga mendapat manfaat dari tinggal dan bekerja di mana saja, baik di ruang digital dan fisik secara bersamaan. 

Jadi, cemoohan Theresa May mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah kutipan yang berkonotasi positif sekarang. 

Seperti yang ditunjukkan oleh pandemi, kita dapat hidup dan berinvestasi di satu tempat, dan bekerja di tempat lain, secara bersamaan. 

Dan itu bisa saja menjadi kompas kebijakan negara-negara di dunia sekarang. 

"Akhirnya, bisa kita lihat bahwa Kebhinekaan merupakan aset terbesar suatu bangsa dan dunia."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun