Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Demokrasi Tanpa Kritik Sama Seperti Seni Tanpa Politik

18 Agustus 2021   08:20 Diperbarui: 10 Oktober 2022   18:48 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi | Sumber: shutterstock via nasional.kompas.com

Jangan pinta aku
Merangkai mobil
Tapi bukan kendaraan
Apa mungkin?

Jangan pinta aku
Merangkai puisi
Tapi bukan politik
Apa mungkin?

Pena punya suara,
suaranya punya gambar,
gambar itu punya kata,
kata itu punya pena,
dan pena...
bersuara,
jadi tolong ... dengarkan!

Tulisan di atas merupakan lantunan puisi seorang Kompasianer dengan judul "Puisi tanpa Politik, Apa Mungkin?"

Puisi tersebut merupakan ekspresi dari penulisnya yang berpendapat bahwa seni tak bisa dipisahkan dari politik. 

Latar belakang pemahaman tersebut datang dari kutipan terkenal seorang insinyur listrik Amerika bernama William C. Brown, "All art is political, all art is martial one", yang artinya kira-kira adalah, "Semua seni bersifat politis, semua seni merupakan pejuang politik". 

Kutipan tersebut sangat dalam maknanya. Saking dalamnya, hal ini menjadi perdebatan hingga sekarang. 

Banyak seniman dan pemikir yang setuju dengan kutipan Brown, namun tidak sedikit juga yang menentangnya. 

Penulis puisi di atas merupakan salah seorang yang setuju dengan pernyataan Brown. Dasarnya sederhana (saya harap) --- melalui analisa pengertian 'seni' dan 'politik'.

Pengertian 'Seni' dan 'Politik'

Ada banyak pengertian 'seni' dan 'politik' yang disimpulkan para ahli penyusun KBBI, juga para ahli sepanjang sejarah ilmu pengetahuan manusia. 

Saya pribadi yang keterbatasan kepintaran dibuat kebingungan. Tapi saya tidak menyalahkan mereka, sebab penggunaan kata 'seni' dan 'politik' sendiri berbeda-beda dalam masyarakat dunia yang juga beraneka ragam. 

Dalam KBBI sendiri, kata 'politik' dibahas dalam 1 halaman yang berisi 3 pengertian dan 17 penjelasan tambahan. 

Sedangkan kata 'seni' diberi kehormatan menempati 4 halaman, 8 pengertian, dan 25 penjelasan tambahan. 

Semua pengertian itu tentu saja tidak ada yang salah, tergantung situasi di mana kita menggunakannya. 

Karena sedang membicarakan seni untuk kritik, maka selaku penulis tidak terkenal itu, saya mengambil pengertian 'politik' klasik Aristoteles, yaitu 'politik' sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. 

Menurut saya, idealnya segala jenis usaha politik harus bertujuan menegaskan pengertian politik Aristoteles tersebut. 

Lalu untuk 'seni', saya sepakat bahwa pengertiannya adalah ekspresi pemikiran dan emosi yang dituangkan penciptanya ke dalam sebuah karya yang memiliki nilai.

Hubungan 'Seni' dan 'Politik'

Ada suatu pengertian politik yang berkembang pada zaman Yunani Kuno yang menggabungkan pengertian seni dan politik, yaitu 'politik' adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. 

Pengertian ini senada dengan pandangan politikus cantik Dewi Aryani, politisi PDIP yang sempat duduk di kursi Anggota DPR RI (2009-2014), seperti yang dikutip dari Investor daily, Dewi berkata, "Dunia politik adalah dunia seni." 

Tidak seram seperti yang dibayangkan banyak orang, dinamikanya menyenangkan, berwarna," lalu ia melanjutkan "Politic is an art, full of creativity, passion and energy." (Politik adalah sebuah seni, penuh dengan kreatifitas, gairah dan energi). 

Jadi, sebenarnya banyak orang sudah menyadari bahwa seni tidak bisa dipisahkan dari politik. 

Sedangkan menurut saya (dan mereka yang setuju pada Brown) 'seni' adalah 'politik'. Seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya, 'seni' merupakan ekspresi pemikiran dan emosi penciptanya. Dan 'politik' merupakan usaha warga negara untuk mencapai kebaikan bersama.

Dalam sistem pemerintahan yang baik, untuk mencapai kebaikan bersama pertama-tama suatu pemerintahan harus memahami pemikiran dan emosi warga negara sebelum mengambil suatu kebijakan. 

Jadi, karya seni merupakan alat yang seharusnya digunakan penentu kebijakan untuk benar-benar mengerti pemikiran dan merasakan emosi warga negara sehingga dapat mengambil kebijakan dan tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi seluruh warga negara. 

Maka dalam mengemban tugasnya, suatu instansi serta jabatan di dalamnya haruslah siap untuk terus dikritik, sekeras apapun kritik yang dilemparkan kepada mereka. 

Pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi adalah rakyat. Melarang kritikan rakyat sama dengan melarang seorang tuan untuk mengkritik pelayannya. 

Saya setuju dengan Rocky Gerung, "kritik menghidupkan demokrasi." Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi yang kehilangan segala-galanya. 

Sama, suatu negara tanpa seni dan seniman tidak dapat memiliki eksistensinya yang penuh. Negara harus menerima seni untuk kritik sebagai aset perubahan yang berharga. 

Seni untuk kritik merupakan mahakarya yang bisa digunakan sebagai pembelajaran bagi pemerintah untuk terus memperbaiki diri, bahkan merupakan dokumentasi pemikiran dan emosi rakyat yang bisa digunakan generasi mendatang sebagai bahan pembelajaran.

Bukan barang baru, kritik melalui karya seni sudah sering terjadi sejak zaman baheula. 

Lukisan Max Ernst "Europe After the Rain" misalnya, yang merupakan sebuah kecaman suram terhadap Nazisme dan mungkin peperangan pada umumnya. 

Lagu hit Bob Dylan "The Times They Are A Changin' " dan John Lennon "Give Peace a Chance" yang mengandung implikasi politik yang serupa. Atau lihat rangkaian mural Banksy di kamp pengungsi Calais, yang membuat pernyataan tegas tentang perlakuan terhadap pengungsi. 

Atau dengarkan "The Revolution Will Not Be Televised" karya Gil Scott Heron yang menampilkan sentimen bermuatan politik yang dihidupkan kembali di Black Panther produksi MCU. 

Di dalam negeri kita punya lukisan "Penangkapan Diponegoro" oleh Raden Saleh, "Tiga Orang Pengemis" oleh Affandi, lagu "Surat untuk Wakil Rakyat" oleh Iwan Fals, mural yang heboh belakangan ini, dan masih banyak lagi. 

Saya harap pemerintah lebih bijaksana dalam menyikapi kritik yang dilontarkan warga negara, bukannya refleks mengejar kritikus bagai kriminal. Termasuk para seniman. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun