Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penyerangan Gedung Capitol AS dan Ancaman Demokrasi yang Menjadi Tantangan Biden-Haris

9 Januari 2021   02:30 Diperbarui: 9 Januari 2021   22:02 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Virus Corona dan mutasinya bukan satu-satunya masalah darurat AS. Serangan terkoordinasi di US Capitol rabu kemarin oleh gerombolan pemberontak merupakan hari yang kelam bagi demokrasi negeri Paman Sam. Serangan tersebut bukanlah protes yang dilindungi Amandemen Pertama AS, bukan juga rapat umum politik. Serangan tersebut merupakan tindakan menghasut dan pengkhianatan yang termasuk tindakan kriminal.

Sejak Inggris membakar Gedung Putih pada tahun 1814, lembaga pemerintah AS tidak pernah dikotori dengan cara yang begitu mengerikan dan buruk. Meskipun serangan itu mengejutkan, namun sebenarnya tidak terlalu mengherankan.

Dalam lima tahun sejak Donald Trump menuruni eskalator di Trump Tower dan mengumumkan pencalonannya sebagai Presiden, telah terjadi peningkatan aktivitas ekstrimis sayap kanan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat dan sekitarnya.

Dilansir dari ADL (lihat di sini), jumlah insiden anti-semit meningkat setiap tahun sejak tahun 2016 dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada 2019. Pada 2018, terjadi serangan anti-semit paling mematikan dalam sejarah AS, sekaligus bagi dunia abad-21, penembakan di sinagoga Pittsburgh Tree of Life. 

Secara keseluruhan kejahatan rasial telah meroket dalam beberapa tahun terakhir ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade, dan pembunuhan bermotif rasisme mencapai rekor tertinggi pada tahun 2019. Orang Latin menjadi sasaran dan ditembak mati di El Paso pada tahun 2019. Kejahatan kebencian anti-Asia meningkat tahun lalu, dengan hampir 1.900 insiden yang tercatat. Orang Afrika-Amerika, yang sudah menjadi target kejahatan rasial yang paling umum, melaporkan lonjakan kejahatan rasisme setelah pembunuhan George Floyd oleh polisi.

Ekstremis sayap kanan kini semakin berani dengan cara yang mengejutkan. Dari berbaris di tempat terbuka dalam aksi "Unite the Right" yang mematikan di Charlottesville pada tahun 2017 hingga menyerukan penggulingan pemerintah dalam demonstrasi "Stop the Steal", kemarahan mereka disulut oleh bahasa yang memecah belah dalam retorika berbau white supremacy Donald Trump. Trump telah membantu ekstremisme sayap kanan menjadi terlihat normal dengan cara yang dulunya tampak tidak masuk akal.

Akibatnya, kebencian berkembang di mana-mana. 28 persen orang Amerika mengalami tingkat kebencian dunia maya dan pelecehan online yang parah, menurut survei terbaru ADL. Platform media sosial dari Facebook dan Twitter hingga 4Chan dan Parler digunakan untuk memperkuat, merekrut dan memberi energi pada kelompok-kelompok sayap kanan seperti Proud Boys, teori konspirasi seperti QAnon, dan ekstremis pro-Trump.

Analis dari Pusat Ekstremisme ADL mencatat bahwa penyerangan gedung Capitol pada 6 Januari tersebut dilakukan oleh Oath Keepers, sebuah kelompok milisi bersenjata anti-pemerintah. Penganut supremasi kulit putih dan pemimpin Angkatan Darat Groyper Nick Fuentes hadir dan bergabung dengan penganut "America First" dalam nyanyian "Christ is King!" Di dekatnya, anggota supremasi kulit putih New Jersey European Heritage Association mengibarkan bendera grup mereka. Berbagai individu membawa spanduk Kekistan, negara fiksi yang diciptakan oleh ekstrimis sayap kanan di 4Chan.

Setelah kegilaan ini, tidak pernah lebih jelas lagi bahwa ekstremisme merupakan ancaman teror global, yang secara langsung membahayakan bangsa kita dan membahayakan demokrasi. Hal ini tidak berlebihan. Kita baru saja menenggelamkan HRS dan perahu FPI-nya, sebelumnya kita punya tagar Papuan Lives Matter. 

Kepresidenan Trump akan berakhir, tetapi kelompok ekstremis dan gerakan serupa yang lebih luas tidak akan hilang begitu saja. Itulah mengapa sangat penting bagi Kongres AS yang akan datang dan Pemerintahan Biden-Harris untuk bekerja sama secara proaktif, dan cepat untuk membongkar ancaman teror domestik AS yang bisa mengancam demokrasi di negara-negara yang menganut seperti negara kita ini, mengingat pengaruh AS sebagai negara adidaya kepada dunia. Apa yang terjadi di sana akan sangat berpengaruh pada dunia. Seperti yang kita alami sebelumnya, tagar BlackLivesMatter telah memicu meroketnya tagar PapuanLivesMatter di Indonesia.

Selain mengulangi seruannya untuk persatuan nasional, Presiden Terpilih Joe Biden diharapkan dapat menggunakan pidato pelantikannya untuk menegaskan secara jelas dan tegas bahwa ekstremisme sayap kanan adalah ancaman teror domestik sekaligus ancaman kemanusiaan secara global. Selain itu, Biden juga diharapkan untuk mendedikasikan kekuatan penuh pemerintah AS untuk menjinakkan dan mengalahkan ancaman mematikan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun