Tahun ini, jika dipikirkan, lebih dari satu miliar pasangan melakukan hubungan seksual. Ide saya begini, semua pasangan ini seharusnya bebas memutuskan apakah mereka ingin mempunyai anak atau tidak, terutama perempuan, mereka adalah yang paling terkena dampak dari sebuah kehamilan dan membesarkan anak. Mulai dari mengandung, wanita harus menanggung rasa sakit, resiko penyakit, lebih buruk lagi kematian  yang harus ditanggung selama masa kehamilan dan proses melahirkan.Â
Belum lagi dampak budaya patriaki yang masih berakar dalam masyarakat kita yang menuntut seorang ibu untuk mengurus hampir semua kebutuhan anak setiap hari. Mulai dari memandikan, ganti popok, menjaga anak bermain, menenangkan saat mengangis dan banyak lainnya.Â
Ayah tidak bisa terlalu disalahkan karena harus menghabiskan banyak waktu untuk bekerja menafkahi keluarga. Dan Tanpa perencanaan ber-KB, ayah harus ekstra kerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, pasangan ini seharusnya dapat menggunakan salah satu metode kontrasepsi yang tersedia, tergantung pada keputusannya masing-masing.
Dan saya rasa akan susah sekarang untuk menemukan orang yang tidak setuju dengan kontrasepsi, lebih dari 1 miliar orang menggunakan alat dan pil kontrasepsi tanpa ragu-ragu di seluruh dunia.Â
Di Indonesia lebih dari 10 juta pengguna alat dan obat KB (Keluarga Berencana), dikutip dari data aplikasi SIGA BKKBN. Bahkan Indonesia baru saja mencetak rekor MURI, menorehkan pelayanan sejuta akseptor KB dengan jumlah akseptor lebih dari 1 juta dalam waktu sehari pada 29 Juni 2020.Â
Ini menjadi sebuah barometer bahwa masyarakat kini ingin mempunyai kontrol dalam perencanaan keluarganya dan untuk membesarkan keluarga yang lebih sehat, pandai, dan sejahtera.
Sayangnya, untuk sebuah ide yang dapat diterima masyarakat luas secara personal, KB menimbulkan banyak tentangan dalam ranah publik. Beberapa orang memandang kontrasepsi sebagai sebuah kode tentang aborsi, yang sesungguhnya bukan. Beberapa orang -- mari kita jujur -- tidak nyaman dengan topik ini karena berhubungan dengan seks. Seks masih merupakan bagian yang tabu untuk diperbincangkan.Â
Beberapa lagi khawatir jika tujuan asli dari perencanaan keluarga adalah untuk pengontrolan populasi. Ini semua masalah sampingan yang melekat pada ide awal di mana pria dan wanita seharusnya bisa memutuskan kapan untuk mempunyai anak. Alhasil, KB pernah sirna dari agenda kesehatan global pada tahun 2012. Kini, meski telah kembali ke dalam agenda kesehatan global, korban dari masalah sampingan ini masih saja ada.Â
Dan solusinya mungkin bisa ditemukan dari sebuah pembelajaran melalui sejarah dalam buku "Factfulness" oleh Hans Rosling. Selama 250 tahun, orang tua di seluruh dunia sedikit demi sedikit memutuskan untuk punya keluarga kecil.Â
Tren ini konstan selama seperempat milenia, di berbagai kebudayaan di berbagai tempat, dengan pengecualian wilayah sub Sahara Afrika dan Asia Selatan. Prancis mulai mengurangi ukuran keluarga di tengah tahun 1700-an. Selama 150 tahun berikutnya, tren ini menyebar di seluruh Eropa.Â
Mereka yang bicara satu bahasa melakukan perubahan secara bersamaan. Mereka membuat keputusan yang sama dalam keluarga, baik mereka kaya ataupun miskin.Â