Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sengkarut Bahasa Ngeblog Berguna Banget Loh!

16 Oktober 2020   00:57 Diperbarui: 4 April 2024   17:54 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya akan menulis menggunakan sebuah bahasa... Bahasa Indonesia. Karena saya mampu. Bahasa adalah salah satu kemampuan ajaib yang dimiliki manusia. Kita dapat saling menyampaikan ide yang sangat rumit. Jadi, yang saya lakukan sekarang adalah membuat informasi menjadi tulisan. Mata anda akan menangkap informasi ini, lalu mengubahnya menjadi sebuah pemikiran.

Karena kemampuan bahasa ini, kita, manusia, dapat meneruskan ide-ide kita menembus luasnya ruang dan waktu. Kita dapat menyampaikan pengetahuan ke dalam pemikiran orang lain.

Saya bisa menanamkan ide aneh baru ke kepala anda saat ini juga. Misalnya saya katakan, "Bayangkan ubur-ubur berdansa di perpustakaan, sambil memikirkan teori mekanika kuantum." 

Jika hidup anda berjalan mulus tanpa hambatan yang berarti, mungkin hal itu tak pernah terpikirkan. Tapi, saya membuat anda memikirkannya melalui bahasa. Tentu, bahasa di dunia bukan hanya satu, sekitar 7.000 bahasa digunakan di seluruh dunia. Dan semua bahasa memiliki perbedaan pada bermacam-macam hal.

Beberapa bahasa memiliki bunyi yang berbeda, kosakata yang berbeda, juga struktur bahasa yang berbeda, perbedaan struktur ini sungguh penting. Maka timbul pertanyaan: Apakah bahasa yang kita pakai membentuk cara berpikir kita? Nah, ini pertanyaan kuno. Sejak dulu, banyak orang telah berspekulasi mengenai hal ini.

Charlemagne, seorang Kaisar Romawi, berkata, "Memiliki bahasa kedua sama seperti memiliki jiwa kedua"  ini merupakan dukungan kuat bahwa bahasa membentuk realitas. Tetapi di sisi lain, Shakespeare membuat Juliet berkata, "Apalah arti sebuah nama? Mawar dengan nama lain akan tetap sama wanginya." 

Nah, mungkin artinya, bahasa tidak membentuk realitas. Perdebatan ini telah berlangsung selama ribuan tahun, karena belum ada data yang membuktikan salah satunya. Tapi Belum lama ini, para ilmuwan mulai melakukan penelitian dan kini kita punya data ilmiah untuk menjawab perdebatan tersebut. Saya akan menceritakan beberapa contoh favorit saya. 

Saya akan mulai dengan sebuah komunitas Aborigin di Australia. Mereka adalah suku Kuuk Thaayorre. Mereka tinggal di Pormpuraaw di ujung paling barat Cape York. 

Yang menarik dari Kuuk Thaayorre adalah mereka tidak menggunakan kata seperti "kiri" dan "kanan", mereka menggunakan arah mata angin untuk semua petunjuk arah: utara, selatan, timur, barat. Saat saya bilang semua, benar-benar di semua hal.

Bisa saja ada kalimat, Oh, ada semut di arah barat daya kakimu."
Atau, "Geser cangkirmu ke arah utara timur laut sedikit."
Bahkan dalam bahasa Kuuk Thaayore, untuk menyapa kita berkata, "Kamu mau ke arah mana?"
Dan balasannya adalah, "Utara timur laut nun jauh di sana. Kalau kamu?"

Jadi, bayangkan kalian sedang berjalan-jalan, dan siapapun yang kalian sapa, harus diberitahu arah perjalanan kalian. Tetapi, hal ini akan membuat anda cepat mengetahui arah, kan? Karena kalian tidak mungkin bisa bertegur sapa, jika tidak tahu arah yang kalian tuju. Bahkan, orang yang berbahasa seperti itu mengetahui arah dengan baik. Mereka tahu arah lebih baik daripada kebanyakan manusia.

Jika bahasa dan budaya membiasakan untuk melakukannya, sebetulnya, kita pun bisa. Nyatanya ada juga manusia yang tahu arah dengan baik. Misalnya, Muslim yang taat salat selalu mengetahui arah kiblat dengan baik; petualang yang selalu mengandalkan kelembaban dan lumut sebagai petunjuk arah angin; Navigator ulung di kapal laut; dsb. 

Selain daripada mereka, bisa dikatakan kita punya akurasi rendah dalam mengenali arah. Ini contoh perbedaan besar kemampuan kognitif antar bahasa. 

Ada satu kelompok dewasa seperti saya (dan mungkin anda), semua tidak tahu arah dengan pasti,  sedangkan di tempat lain, ketika bertanya ke anak 5 tahun, dia tahu.

Terdapat pula perbedaan besar mengenai persepsi akan waktu. Bayangkan anda mengurutkan beberapa foto seseorang, masing-masing adalah foto dengan umur yang berbeda-beda, dari yang paling muda sampai yang paling tua, misalnya foto ayah anda. Jika saya penutur Bahasa Indonesia merunut sesuai usia, maka saya akan menyusun dari kiri ke kanan. 

Ini terkait dengan arah penulisan.Kita menulis dari lebih kiri terlebih dahulu maka kita akan merunut foto dengan foto dengan usia paling muda di paling kiri. Untuk penutur bahasa Ibrani atau Arab, mungkin susunannya akan berlawanan arah, dari kanan ke kiri.

Tetapi bagaimana Kuuk Thaayorre, suku Aborigin tadi, mengurutkannya? Mereka tidak menggunakan arah "kiri" dan "kanan".

Begini mereka akan mengurutkannya:

Jika kita menghadapkan orang ke arah selatan, mereka akan menyusun usia foto dari kiri ke kanan.
Jika kita menghadapkan mereka ke arah utara, mereka akan merunut usia foto dari kanan ke kiri.
Jika mereka kita hadapkan ke timur, urutan usia foto akan mendekati tubuh.

Apa polanya? Timur ke Barat kah?

Bagi mereka, waktu tidak terpatok pada posisi tubuh, waktu terpatok pada lanskap. Sedangkan bagi saya (kemungkinan juga anda) , saat tubuh ke manapun, arah waktu (usia foto) adalah dari kiri ke kanan. 

Sangat egosentris karena arah waktu selalu berubah mengikuti kita setiap kali kita berpaling arah. Sedangkan bagi Kuuk Thaayorre, waktu terpatok pada lanskap. Persepsi yang sangat berbeda pada waktu.

Ada satu lagi trik cerdas manusia. Misalkan saya bertanya, ada berapa spiderman di gambar?

(ilustrasi : cnet.com)
(ilustrasi : cnet.com)
Saya tahu dengan pasti cara anda menjawabnya. Anda menghitungnya, "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam." Anda menomori mereka satu per satu dan nomor terakhir yang diucapkan adalah jumlah spidermannya. Ini adalah trik kecil yang diajarkan sedari kita kecil. Kita belajar urutan nomor dan mengaplikasikannya. Sebuah trik linguistik kecil. 

Namun, beberapa bahasa tidak begini, karena beberapa bahasa tidak punya kata untuk angka. Bahasa tersebut tidak punya. kata seperti "tujuh"... atau kata seperti "delapan." 

Bahkan, para penutur bahasa itu tidak berhitung, dan mereka kesulitan menentukan jumlah dengan tepat. Jadi, contohnya, jika saya meminta mereka untuk mencocokkan jumlah penguin dengan bebek berjumlah sama, anda mungkin bisa menghitungnya. Tetapi, mereka yang tak punya trik linguistik itu tidak bisa.

Bahasa juga berbeda dalam hal memilah spektrum warna pada dunia visual. Beberapa bahasa punya banyak kata untuk warna, beberapa hanya punya sedikit, "muda" dan "tua". Tiap bahasa berbeda dalam hal penempatan batasan antarwarna.

(ilustrasi : quora.com)
(ilustrasi : quora.com)
Contohnya, dalam bahasa Inggris, ada kata untuk biru (blue) yang mencakup semua warna yang anda lihat di atas. tetapi dalam bahasa Rusia, tidak ada kata biru. Alih-alih, penutur Rusia harus membedakan antara biru muda, "goluboy," dengan biru tua, "siniy."

Jadi orang Rusia mendapat latihan seumur hidup, melalui bahasanya, untuk membedakan kedua warna ini. Jika kita menguji kemampuan orang untuk secara perseptual membedakan warna ini, kita akan temukan bahwa penutur bahasa Rusia lebih cekatan dalam batasan linguistik ini. Mereka lebih cekatan saat membedakan antara biru muda dan tua. 

Dan jika anda mengamati otak manusia di saat mereka melihat warna, misalnya warna biru yang perlahan berubah dari biru muda ke tua, otak manusia yang menggunakan kata berbeda untuk biru muda dan tua akan menampakkan reaksi terkejut saat warna berubah dari muda ke tua, seakan, "Oh, ada sesuatu yang kategorinya berubah," sedangkan otak para penutur bahasa Inggris, misalnya, yang tak melakukan pengelompokan serupa, tidak menunjukkan reaksi terkejut, karena tak ada perubahan kategori.

Bahasa punya segala macam ciri struktur yang khas. Yang ini salah satu favorit saya. Banyak bahasa memiliki tata bahasa bergender; setiap kata benda diberikan gender, seringnya maskulin atau feminin. 

Dan gender tersebut berbeda antarbahasa. Contohnya, matahari itu feminine di bahasa Jerman,seperti halnya bunga di bahasa Indonesia. "Bunga itu cantik" tidak ada bunga yang ganteng di bahasa Indonesia, sama halnya di bahasa Jerman untuk matahari feminim, tetapi maskulin di bahasa Spanyol. Dan bulan, sebaliknya. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan cara orang berpikir?

Apakah penutur bahasa Jerman berpendapat matahari sebagai hal yang feminin, dan bulan lebih maskulin? Sebetulnya, memang demikian adanya. 

Kalau kita meminta penutur bahasa Jerman dan Spanyol mendeskripsikan jembatan, kebetulan kata "jembatan" termasuk feminine dalam bahasa Jerman, tetapi secara gramatikal maskulin dalam bahasa Spanyol.

Penutur bahasa Jerman mungkin menggunakan kata "cantik", "elegan" untuk jembatan, atau kata lain yang dianggap feminin. Sedangkan penutur bahasa Spanyol akan berpendapat bahwa "kokoh" atau "panjang" yang merupakan kata bersifat maskulin. ^_^

Bahasa juga berbeda saat digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa.

Di bahasa Inggris, akan dikatakan, "Dia memecahkan vasnya."

Dalam bahasa seperti Spanyol, mereka mungkin akan berkata, "Vasnya pecah," atau, "Vasnya pecah sendiri." Jika tak disengaja, kita takkan bilang seseorang melakukannya. 

Dalam bahasa Inggris, anehnya, kita bisa berkata seperti, "Aku mematahkan lenganku." Nah, kita di Indonesia tidak bisa memakai kalimat itu kecuali jika mengalami gangguan jiwa ... lalu mencoba mematahkan tangan sendiri dan berhasil melakukannya. 

Jika hal itu tak disengaja, susunan kalimatnya akan berbeda, "Aku tak sengaja mematahkan tanganku sendiri." Kita akan menambahkan perihal ketidaksengajaan, sedangkan bahasa Inggris tidak perlu.

Perbedaan ini ada dampaknya. Penutur bahasa yang berbeda akan memperhatikan hal yang berbeda, tergantung dari ketentuan dalam bahasa masing-masing. 

Jadi saat kita menunjukkan kecelakaan Vas yang pecah yang sama kepada penutur bahasa Inggris dan Spanyol, penutur bahasa Inggris akan mengingat siapa pelakunya, karena bahasa Inggris menuntut susunan kalimat, "Dia memecahkan vas itu." Sedangkan penutur bahasa Spanyol cenderung tidak mengingat pelakunya jika itu tidak disengaja, dan mereka cenderung lebih ingat bahwa itu adalah suatu kecelakaan.

Mereka akan lebih mengingat unsur niatnya. Jadi, dua orang melihat kejadian yang sama, menyaksikan kejahatan yang sama, tetapi mengingat hal yang berbeda dari kejadian tersebut. Hal tersebut berhubungan dengan kesaksian saksi mata. Ini juga terkait dengan tuduhan dan hukuman.

Jadi misalnya ada penutur bahasa Inggris dan kita menunjukkan seseorang memecahkan vas, lalu kita bilang, "Dia memecahkan vasnya," bukannya, "Vasnya pecah," walaupun sudah menyaksikannya bersama rekamannya, melihat kronologis pecahnya vas, kita masih harus menyebut siapa pelaku pecahnya vas, karena itu tadi, susunan bahasa Inggris menuntutnya.

Anda akan menghukum orang lebih berat dan lebih menyalahkannya jika saya berkata, "Dia memecahkan vas," dibandingkan, "Vasnya pecah." Bahasa menuntun logika kita mengenai suatu kejadian.

Nah, demikian beberapa contoh bagaimana bahasa dapat sangat membentuk cara kita berpikir, dan itu terjadi dengan berbagai cara. Jadi bahasa bisa memiliki dampak besar, misalnya pada persepsi ruang dan waktu, sehingga cara orang dalam memetakan ruang dan waktu bisa sangat berbeda.

Bahasa juga memiliki dampak yang mendalam seperti pada contoh mengenai angka. Jika bahasa memiliki kata untuk berhitung, memiliki kata untuk angka, akan membuka seluruh dunia matematika. 

Tanpa kemampuan berhitung, mustahil menguasai aljabar, serta tidak bisa melakukan apapun yang dibutuhkan untuk menciptakan perangkat yang anda untuk membaca kompasiana sekarang. Trik kecil mengenai angka ini menjadi batu loncatan menuju seluruh ranah kognitif.

Bahasa juga memiliki dampak yang sangat awal, seperti pada contoh tentang warna. Ini adalah langkah persepsi yang sederhana dan mendasar. Kita melakukannya ribuan kali setiap saat, tetapi bahasa berperan di dalamnya dan mempengaruhi keputusan perseptual yang kelihatannya sepele itu. 

Bahasa dapat memberi dampak yang luas. Persoalan gender dalam tata bahasa mungkin agak sedikit konyol, tetapi gender tersebut melekat pada semua kata benda. Itu artinya, bahasa dapat membentuk cara berpikir kita mengenai apapun yang tergolong kata benda. Dan itu mencakup banyak hal.

Akhirnya, kita telah melihat bagaimana bahasa membentuk hal-hal yang bernilai personal bagi kita. Misalnya tuduhan, hukuman, atau ingatan saksi mata. Hal ini penting dalam kehidupan sehari-hari. Indahnya keberagaman linguistik adalah, betapa ia menunjukkan betapa ulung dan lentur pikiran manusia.

Pikiran manusia menghasilkan bukan hanya satu bidang kognitif, melainkan 7.000, ada 7.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia. Dan kita bisa membuat lebih banyak lagi. 

Bahasa merupakan sesuatu yang hidup, yang dapat kita asah dan ubah untuk memenuhi kebutuhan kita. Hal yang memprihatinkan adalah, kita semakin kehilangan keberagaman bahasa sepanjang waktu. 

Satu bahasa menghilang setiap minggunya, dan diperkirakan, separuh dari bahasa dunia akan hilang dalam seratus tahun ke depan. Berita yang lebih buruknya adalah, hampir semua yang kita ketahui tentang pikiran dan otak manusia saat ini bersumber dari penelitian oleh mahasiswa penutur Bahasa Inggris Amerika di universitas. Mereka tidak dapat mewakili seluruh umat manusia, kan? 

Jadi, pengetahuan kita mengenai pikiran manusia sebenarnya sangat sempit dan bias; dan ilmu pengetahuan kita harus berusaha agar lebih baik.

Kita tahu penutur bahasa yang berbeda berpikir secara berbeda pula, jadi selain bisa mempelajari mengenai cara kita berpikir. Tentang bagaimana bahasa yang kita gunakan membentuk cara kita berpikir. Hal tersebut memberi kita kesempatan untuk bertanya,

"Mengapa saya berpikir seperti ini?"
"Bisakah berpikir dengan cara lain?"
Dan juga, "Pemikiran apa yang ingin saya buat?"

Selain itu kita juga bisa mempelajari cara berpikir orang lain. Bahasa ngeblog misalnya, memberi kita pengetahuan tentang cara berpikir orang lain, apalagi negara kita ini terdiri dari 700 lebih bahasa ibu, belum lagi logatnya, belum lagi gaya bahasanya. 

Bahasa ngeblog ini bisa menambah wawasan yang lebih luas tentang budaya dan cara berpikir saudara kita di wilayah lain. Kemampuan linguistik kita juga akan bertambah gara-gara bahasa ngeblog yang kadang sengkarutan. 

Otak kita harus berpikir lebih keras untuk memahami isi dari artikel. Jadi ekstra olahraga otot-otot otak kita. Alhasil, kemampuan untuk mengerti "grammar" orang lain bertambah, otak kita jadi lebih cepat beradaptasi dengan lelucon orang lain di tempat baru. Hal yang sangat berguna, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun